Al-Hamdu Lillah, Wa ash-Shalatu Wa as-Salamu ‘Ala Rasululillah.
Secara garis besar penyakit masyarakat kita dalam masalah pengetahuan atau ilmu-ilmu agama di akhir zaman ini ada dua; tidak mau belajar dan salah belajar.
(Pertama); Tidak mau belajar. Tentu akibatnya fatal, kita semua mengetahui itu. Dan sesungguhnya kebodohan atau ketidaktahuan dalam urusan ilmu-ilmu agama yang pokok secara syari’at tidak dimaafkan. Karena itulah ada banyak teks-teks al-Qur’an (QS. az-Zumar: 9, QS. al-Mujadilah: 11) dan hadist yang menetapkan kewajiban belajar ilmu-ilmu agama (HR. Al-Bayhaqi dan lainnya). Yang dimaksud wajib dalam teks-teks tersebut adalah mempelajari ilmu pokok-pokok agama (Dlaruruiyyat ‘Ilm ad-Din), bukan seluruh ilmu agama.
(Ke dua); Salah belajar. Problem ke dua ini adalah laksana bola salju, ia menggelinding semakin besar. Masyarakat kita banyak yang tidak lagi peduli dengan metode belajar ilmu-ilmu agama yang baik dan benar sesuai tuntunan syari’at itu sendiri. Masyarakat modern dikenal instan dalam setiap tatanan kehidupannya. Termasuk dalam memahami ilmu-ilmu agama, kebanyakan mereka instan untuk mengetahui sesuatu dengan hanya dengan membuka internet, searching google, atau alat pencari lainnya. Ini di satu sisi. Di sisi lainnya, ada sebagian masyarakat yang nyata-nyata salah dalam belajarnya, walaupun ia belajar kepada seorang guru. Oleh karena guru yang dijadikan gurunya itu adalah orang yang tidak memiliki sanad, tidak kapabel, tidak tsiqah, dan tidak memiliki sifat ‘adalah. Sehingga guru semacam ini bukan memperbaiki tetapi justru menjerumuskan.
Dua problem ini memiliki akibat negatif yang sangat besar. Dua problem ini tidak hanya akan merusak pribadi-pribadi secara individual, bahkan juga dapat merusak tatanan keidupan secara menyeluruh. Timbulnya berbagai faham, aliran dan sekte; seperti sinkretisme, skularisme, hingga teroroisme tidak lepas dari dua problem di atas; tidak mau belajar atau salah belajar.
Masalah “menghadiahkan pahala kebaikan bagi orang-orang mukmin yang telah meninggal” termasuk tema yang “korban” di dalamnya adalah karena salah satu dua problem di atas; karena tidak mau belajar, atau karena salah belajar. Hingga kemudian si korban ini berfaham ekstrim; ia menyesatkan umat Islam yang mempraktekan menghadiahkan pahala bagi mayit. Karena itu maka kebutuhan mempelajari dalil-dalil terkait tema ini sangat mendesak. Dalil-dalil Naqliyyah dan ‘Aqliyyah sudah seharusnya dipelajari dengan baik dari para ahli dan dengan dengan referensi yang mu’tabar.
Buku sederhana ini memuat banyak dalil Ahlussusunnah Wal Jama’ah dalam menetapkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an --dan amal kebaikan secara umum-- dari orang hidup jika diperuntukan bagi orang yang telah meninggal. Banyak memuat dalil, bukan artinya semuanya. Bahkan yang dikutip dalam buku ini mungkin hanya sebagian kecil saja dari berlimpahnya catatan para ulama terkait tema tersebut. Tentu sangat tidak cukup berpangku tangan kepada buku semacam ini. Kita semua butuh belajar kepada para ulama saleh yang kapabel. Namun, setidaknya buku ini dapat memberikan gambaran umum atau “kulit luar”dari tema besar di atas.
Akhirnya, Semoga buku kecil ini dapat memberikan kontribusi kesegaran, pencerahan dan manfaat, khususnya bagi keluarga penulis, kerabat, teman-teman, serta umat Islam secara umum. Segala kebaikan di dalamnya semoga menjadi manfaat, dan terhadap segala kekeliruan di dalamnya semoga Allah mengampuninya. Amin.
Kholil Abu Fateh
Al-Asy’ari al-Syafi’i al-Rifa’i al-Qadiri