Kedua Orang Tua Rasulullah Penduduk Surga; Membela Kedua Orang Tua Rasulullah Dari Tuduhan Keji Kaum Wahabi Yang Mengkafirkan Keduanya


- Version
- Download 314
- File Size 2 MB
- File Count 1
- Create Date Mei 24, 2021
- Last Updated Mei 24, 2021
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas pimpinan kita, nabi Muhammad, segenap keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang-orang yang senantiasa di atas ajarannya hingga hari akhir.
Saudaraku, ada banyak ulah kaum Wahabi dalam menyakiti Rasulullah, di antaranya seperti mengingkari bacaan-bacaan shalawat yang telah beratus tahun diamalkan oleh para ulama saleh, --semacam bacaan shalawat Burdah, shalawat Nariyah, shalawat Munjiyah, shalawat Thibbil Qulub, shalawat al-Fatih, shalawat Badr, dan lainnya--, mengingkari penambahan kata “sayyidina” bagi Rasulullah dalam bacaan shalawat, mengingkari tawassul dengan Rasulullah, mengingkari tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, mengingkari memanggil nama Rasulullah dengan huruf nida’ [dengan mengatakan “Yaa Rasulallah…”, “Yaa Muhammad…” atau semacamnya], mengingkari bacaan shalawat setelah kumandang adzan, mengatakan peringatan maulid nabi bid’ah sesat, bahkan ada di antara orang Wahabi yang mengatakan bahwa makanan yang dijadikan jamuan dalam peringatan maulid nabi lebih haram dari pada daging babi, dan berbagai ajaran aneh lainnya. Na’udzu billah. Termasuk salah satunya yang sering mereka propagandakan adalah mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah termasuk orang-orang kafir. Hasbunallah.
Penulis sama sekali tidak ingin mengutip “di mana?”, atau “dalam buku apa?”, atau “mana link dan web-nya?” bahwa itu semua adalah ajaran-ajaran Wahabi, karena penulis khawatir justru akan “menjual dagangan” mereka. Sesungguhnya ajaran-ajaran mereka, di antaranya seperti yang kita sebutkan di atas bukan “barang rahasia”. Tuduhan takfir dan tabdi’ (tuduhan kafir dan ahli bid’ah) yang sering dilontarkan orang-orang Wahabi terhadap orang-orang Islam banyak tertulis dalam buku-buku mereka yang dibagi-bagikan secara gratis, bahkan dalam selebaran-selebaran “liar” yang kadang berserakan di berbagai masjid dan musholla, atau bahkan dipinggiran jalan-jalan umum.
Benar, kaum Wahabi seringkali menuduh bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang menunjukan pengagungan terhadap baginda Rasulullah adalah perkara kufur dan syirik. Mereka menuduh siapapun yang melakukan itu maka sama saja ia telah beribadah kepada Rasulullah. Disadari oleh mereka atau tidak, maka dengan demikian seakan mereka telah men-cap diri mereka sendiri di hadapan dunia Islam bahwa mereka telah membuat permusuhan dengan Rasulullah; mereka tidak senang jika Rasulullah diagungkan dan muliakan. Sebaliknya; seakan mereka bersuka cita jika kehormatan Rasulullah dihinakan.
Anda dapat lihat, betapa mereka “ngotot” mengatakan kedua orang tua Rasulullah sebagai orang kafir. Untuk itu mereka mencetak berjuta buku demi “memaksakan” ajaran mereka terhadap orang-orang Islam supaya berkeyakinan kedua orang tua Rasulullah sebagai orang kafir, lalu buku-buku tersebut mereka bagi-bagikan secara gratis. Padahal, prihal keadaan kedua orang tua Rasulullah bukan merupakan masalah pokok dalam akidah bagi setiap orang Islam. Seandainya, seorang muslim tidak tahu tentang keadaan kedua orang tua Rasulullah di akhirat maka dia tidak akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah. Bila dia berkeyakinan kedua orang tua Rasulullah masuk surga (mukmin); walaupun ternyata seandainya keduanya masuk neraka (kafir), maka Allah tidak akan menyiksannya atas kesalahannya ini. Justru sebaliknya, jika ia berkeyakinan kedua orang tua Rasulullah masuk neraka (kafir), padahal ternyata keduanya masuk surga (mukmin), maka tentu orang seperti ini telah merugi dengan prasangka buruknya ini, disamping berpendapat semacam itu jelas menyakiti Rasulullah.
Sekali lagi, tentang keadaan kedua orang tua Rasulullah ini bukan perkara pokok akidah yang berakibat fatal. Bagi kita yang tidak tahu, -misalkan-, cukup dengan hanya mengatakan “tidak tahu” maka selesai perkara, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Yang menjadi masalah adalah; mengapa kaum Wahabi dalam berbagai kesempatan “ngotot” mengatakan kedua orang tua Rasulullah kafir?! Seakan mereka mengatakan: “Seseorang tidak dihukumi mukmin jika ia masih berkeyakinan kedua orang tua Rasulullah mukmin”. Nyatalah apa yang kita katakan di atas bahwa kaum Wahabi tidak senang jika Rasulullah dan orang-orang mulia di dekatnya diagungkan dan dimuliakan.
* * *
Ada pelajaran sangat penting untuk kita petik; Suatu ketika di hadapan salah seorang pengikut Syawdzab --(Syawdzab adalah pemuka kaum Khawarij)-- Khalifah Umar ibn Abdil Aziz mengakui bahwa di antara kerabatnya dari Bani Umayyah ada yang telah berbuat zalim kepada orang banyak. Maka pengikut Syawdzab ini berkata: “Kalau begitu mengapa engkau tidak melaknat mereka [Bani Umayyah] secara keseluruhan dan menyatakan diri bahwa engkau terbebas dari mereka?”, Khalifah Umar menjawab: “Kapankah engkau berjanji bahwa engkau akan selalu melaknat Iblis dan menyatakan diri bahwa engkau terbebas darinya?”, pengikut Syawdzab berkata: “Aku tidak pernah mengingat itu”, Umar berkata: “Terhadap Iblis saja, yang merupakan makhluk Allah yang paling terlaknat, Allah tidak pernah mewajibkan bagimu untuk melaknatnya, juga tidak pernah mewajibkan bagimu untuk menyatakan diri bahwa engkau terbebas darinya; lalu apakah aku harus melaknat dan membebaskan diri dari kerabat-kerabat-ku itu, padahal mereka orang-orang Islam?”. Pengikut Syawdzab terdiam[1].
Dalam banyak riwayat, Rasulullah telah melarang kita mencaci maki orang-orang yang telah meninggal, di antaranya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam al-Bukhari, dan Imam an-Nasa’i, dari Sayyidah Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian mencaci-maki orang-orang yang telah meninggal, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”[2].
* * *
Hampir seluruh ulama terkemuka di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah berpedapat bahwa kedua orang tua Rasulullah selamat, di akhirat kelak keduanya akan masuk surga. Mereka, para ulama terkemuka tersebut adalah orang-orang paling paham terhadap pendapat-pendapat yang menyalahi pendapat mereka, mereka adalah orang-orang yang hafal terhadap hadits-hadits nabi dan berbagai atsar, mereka adalah orang-orang yang paham dan hafal dalil-dalil dan paham bagaimana metode ber-dalil (istidlal). Al-Hafizh as-Suyuthi berkata:
“Seorang yang ingin sampai kepada kesimpulan yang benar dalam masalah ini (tentang kedua orang tua Rasulullah) setidaknya ada empat pondasi yang harus ia kuasai untuk menjadi metodologi penelitian-nya, tiga pondasi; kaedah kalamiyyah, kaedah Ushuliyyah, kaedah Fiqhiyyah, dan satu pondasi terkait kaedah himpunan antara hadits dan Ushul fiqh. Bekal itu tentu belum cukup, itu semua harus ditambah dengan keluasan hafalan terhadap hadits-hadits nabi, memiliki metode kritik hadits yang mumpuni, dan memiliki ketelitian serta pengetahuan yang sangat luas terhadap pendapat-pendapat para imam terkemuka, lalu mampu melakukan sinkronisasi di antara pendapat-pendapat para imam yang “berserakan” tersebut (Jam’u mutafarriqat kalam al-a-immah). Dengan demikian janganlah berprasangka bahwa para imam terkemuka tersebut tidak mencermati hadits-hadits yang mereka jadikan dalil, --Na’udzu Billah, kita berlindung dengan Allah dari prasangka buruk semacam ini--. Sungguh para imam agung tersebut telah mendalami setiap dalil yang mereka kemukakan, menyelami berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, dan mereka telah menjawab segala permasalahan [dalam urusan agama ini] dengan jawaban yang bukan “asal-asalan”, tetapi dengan jawaban yang sangat valid; yang bagi seorang moderat dan adil (munshif) jawaban-jawaban para imam tersebut tidak dapat ditolak. Benar, jawaban para imam tersebut didasarkan kepada argumen-argumen yang sangat kuat; [naqliyyah dan aqliyyah], seperti kuatnya gunung-gunung pada pancang-nya”[3].
* * *
Dalam pembukaan risalah Nasyr al-‘Alamain al-Munifain, al-Hafizh as-Suyuthi menuliskan mukadimah sangat berharga[4]. Berikut ini kita kutip beberapa bagian pokok untuk kita jadikan pelajaran, yang dasar semua itu adalah firman Allah dalam menceritakan perkataan Rasulullah: “Wahai kaum-ku, sungguh aku mengajak kalian menuju keselamatan, tapi mengapa kalian mengajak-ku menuju ke neraka” (QS. Ghafir: 41). As-Suyuthi menegaskan, setidaknya ada dua poin mendasar mengapa risalah seperti ini harus ditulis, yaitu;
(Pertama); Agar manusia manahan diri dari terjerumus dalam mempermasalahkan kedua orang tua Rasulullah. Bahasan masalah ini adalah “lahan” yang sulit, tidak seharusnya bagi siapapun berkata-kata “keji” dan “se-enak-nya” (mengkafirkan) terhadap kedua orang tua Rasulullah, karena demikian itu jelas dapat menyakiti Rasulullah –sebagaimana dinyatakan oleh para ulama--.
Imam as-Suhaili dalam kitab ar-Rawdl al-Unuf, setelah mengutip hadits riwayat Muslim dan beberapa hadits lainnya tentang keadaan kedua orang tua Rasulullah, berkata: “Tidak boleh bagi kita mengatakan demikian itu [kata-kata keji], karena Rasulullah sendiri telah bersabda: “Janganlah kalian menyakiti orang-orang yang hidup dengan mencaci-maki orang-orang yang telah meninggal dari [kerabat] mereka”, dan Allah telah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memusuhi Allah dan menyakiti Rasul-Nya mereka dilaknat di dunia dan di akhirat” (QS. al-Ahzab:57)[5].
Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, --salah seorang imam terkemuka dalam madzhab Maliki--, saat ditanya tentang hukum orang yang mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah di neraka, beliau berkata: “Orang tersebut terlaknat, karena Allah telah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memusuhi Allah dan menyakiti Rasul-Nya mereka dilaknat di dunia dan di akhirat” (QS. al-Ahzab: 57). Ibnul Arabi berkata: “Dan sesungguhnya tidak ada perkara yang lebih besar yang dapat menyakiti hati Rasulullah dari mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah di neraka”[6].
Imam al-Qadli Iyadl al-Maliki dalam kitab asy-Syifa meriwayatkan bahwa ada salah seorang sekretaris khalifah Umar ibn Abdil Aziz berkata di hadapan beliau bahwa kedua orang tua Rasulullah kafir, maka kemudian khalifah Umar sangat murka kepadanya, dan sekretarisnya itu langsung dilepas dari jabatannya. Umar berkata kepadanya: “Mulai saat ini, dan selamanya engkau jangan menulis apapun bagiku”[7]. Riwayat lengkap peristiwa ini diceritakan oleh al-Hafizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah al-Awliya’ dan imam al-Harawi dalam kitab Dzamm al-Kalam.
(Ke dua); Agar hati orang-orang mukmin menjadi tenang dan lapang. Karena bila seseorang mendengar bahwa para ulama telah menetapkan bahwa kedua orang tua Rasulullah selamat dan keduanya masuk surga; yang itu didasarkan kepada dalil-dalil [naqliyyah dan aqliyyah] serta didasarkan kepada kaedah-kaedah istidlal yang kuat; maka orang tersebut akan tenang hatinya, lapang dadanya, senang dan bersuka-cita menerimanya.
* * *
Berbagai argumen yang akan anda temui dalam buku ini sangat kuat, lebih dari cukup --insya Allah-- untuk membantah ajaran sesat Wahabi prihal keadaan kedua orang tua Rasulullah. Kebanyakan catatan, atau hampir keseluruhannya penulis himpun dan terjemahkan dari berbagai risalah al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi yang beliau tulis khusus untuk membela kedua orang tua Rasulullah dari tuduhan-tuduhan keji yang tidak berdasar, di antaranya; risalah Masalaik al-Hunfa, ad-Duraj al-Munifah, Nasyr al-‘Alamain, as-Subul al-Jaliyyah, al-Maqamat as-Sundusiyyah, at-Ta’dzim wa al-Minnah, dan tentu beberapa karya ulama besar lainnya. Orang-orang wahabi dalam mengkafirkan kedua orang tua Rasulullah hanya berdalil dengan hadits riwayat Imam Muslim, --tentunya itu-pun dengan dasar pemahaman “se-enak perut” mereka-- maka dalam buku ini kita akan membaca ada banyak ayat-ayat al-Qur’an yang oleh para ulama kita dijadikan dalil bahwa kedua orang tua Rasulullah termasuk orang-orang mukmin selamat yang kelak di akhirat akan menjadi penghuni surga.
Buku ini mudah-mudahan bisa memberikan manfaat besar; (1) Sebagai pembelaan terhadap kemuliaan Rasulullah, keluarga beliau dan seluruh moyang-moyangnya. Demi Allah penulis tidak ridla bila kemuliaan Rasulullah dicederai sedikitpun, (2) Sebagai bukti cinta yang sangat tulus dari kita --khususnya penulis-- terhadap Rasulullah, walaupun tentu cinta kita tidak akan pernah sampai kepada keagungan cinta Rasulullah terhadap umatnya sendiri, (3) Sebagai sarana untuk “mendekatkan diri” (taqarrub) kepada Rasulullah[8], (4) Agar bagi siapapun yang membacanya dapat tumbuh subur rasa cintanya yang tulus kepada Rasulullah, cinta suci yang terus berkembang, lalu berbunga dengan harum semerbak, khususnya bagi penulis dan keluarga penulis, (5) Dapat memberikan kontribusi untuk memperbaiki akhlak dan adab kita, terutama adab kita kepada Allah dan Rasul-Nya, (6) Sebagai upaya untuk bisa bergabung dalam barisan Rasulullah di bawah benderanya yang agung di hari kiamat kelak, (7) Sebagai usaha untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah di akhirat nanti; di saat kita berada di “hari setiap orang berpaling lari dari saudaranya, ibunya, ayahnya, pasangannya, dan terhadap anak-anaknya” (QS. Abasa: 34).
Selain beberapa poin di atas, sebenarnya ada banyak harapan dan manfaat besar dari dituliskannya buku seperti ini, akan membutuhkan banyak lembaran bila semua itu harus kita ungkapkan, di antaranya, --dan yang terutama--; “Semoga buku ini memberikan kontribusi besar dalam meredam kesesatan-kesesatan ajaran Wahabi, khususnya terkait dengan tema kedua orang tua Rasulullah; di mana orang-orang Wahabi yang dengan tanpa rasa malu, tanpa sungkan, dan tanpa adab, bahkan mungkin tidak “bergetar” sedikitpun hati mereka ketika mereka mengatakan “kedua orang tua Rasulullah termasuk orang-orang kafir”. Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil.
Semoga usaha kita ini bermanfaat bagi agama Islam dan bagi orang-orang Islam, khususnya bagi penulis dan keluarga. Amin. Wa Allah A’lam Bi ash-Shawab.
Kholilurrohman Abu Fateh
asy-Syafi’i al-Asy’ari ar-Rifa’i al-Qadiri
[1] Bara-ah al-Asy’ariyyin Min ‘Aqa-id al-Mukhalifin, Muhammad Arabi at-Tabban, 1/176.
[2] Shahih al-Bukhari, bab. 97, hadits nomor 1393, dari Aisyah. Lihat pula Musnad Ahmad, 6/180, dan Sunan an-Nasa-i, 4/53.
[3] Ad-Duraj al-Munifah, as-Suyuthi, h. 2-3
[4] Nasyr al-‘Alamain, as-Suyuthi, h. 2-4
[5] Riwayat dari imam as-Suhaili ini dikutip oleh as-Suyuthi dalam hampir seluruh risalah yang beliau tulis dalam pembelaan terhadap kedua orang tua Rasulullah yang mulia. Lihat di antaranya dalam as-Subul al-Jaliyyah, h. 16, Nasyr al-Alamain al-Munifain, h. 2-3, dan ad-Duraj al-Munifah, h. 16
[6] Riwayat ini dikutip oleh as-Suyuthi dalam hampir seluruh risalah pembelaan terhadap kedua orang tua Rasulullah yang mulia. Lihat di antaranya dalam Nasyr al-Alamain al-Munifain, h. 3, dan ad-Duraj al-Munifah, h. 16
[7] Asy-Syifa Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, al-Qadli ‘Iyadl, 2/208
[8] Sayyid Muhammad ibn Rasul al-Barzanji al-Husaini (w 1103 H) menulis risalah dalam membela kedua orang tua Rasulullah berjudul Sadad ad-Din Wa Sidad ad-Dain Fi Itsbat an-Najat Wa ad-Darajat Li al-Walidain. Dalam mukadimah-nya beliau berkata: “Tidak diragukan, bahwa pembelaan terhadap Rasulullah dengan cara seperti ini adalah metode yang paling cepat untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Rasulullah”. Lihat Sadad ad-Din, h. 29. [Muhammad ibn Rasul al-Barzanji adalah kakek dari Sayyid Ja’far, w 1177 H; Ja’far ibn Hasan ibn Abdil Karim ibn Muhammad ibn Rasul al-Barzanji, shahib Mawlid al-Barzanji]. Bahkan al-Hafizh as-Suyuthi, imam mujtahid abad 9 hijriah, seakan telah mengerahkan seluruh ilmu dan kemampuannya untuk membela kedua orang tua Rasulullah hingga beliau menulis enam risalah khusus untuk itu sebagaimana telah kita sebutkan di atas. Benar, demikianlah kecintaan para ulama dan orang-orang saleh terhadap Rasulullah.