Memahami Makna Bid’ah Secara Komprehensif


- Version
- Download 266
- File Size 2 MB
- File Count 1
- Create Date Mei 22, 2021
- Last Updated Mei 24, 2021
Segala puji bagi Allah, hanya Dia Tuhan yang berhak disembah. Shalawat dan salam semoga senantisa tercurah atas Rasulullah, keluarga, para sahabat dan para pengikutnya sampai hari akir kelak.
Dalam mukadimah buku ini ada beberapa poin penting yang hendak penulis ungkapkan, terkait dengan metode yang benar dalam belajar ilmu agama, supaya tidak jatuh dalam berbagai faham/ajaran ekstrim. Karena sebenarnya, timbulnya faham-faham ekstrim dalam memahami ajaran agama; --dari mulai mudahnya menuduh ahli bid’ah kepada orang lain, mengkafirkan (at-takfir), hingga menebar terror secara fisik (al-irhab), seperti meledakan bom (at-tafjir) dan lainnya--; adalah berangkat dari belajar yang salah, baik kesalahan pada materi ajar maupun kesalahan pada metode/cara yang digunakan dalam belajar. Berikut ini penulis tuangkan sedikit terkait tema mukadimah di atas;
(Satu): Rasulullah adalah seorang guru (Mu’allim), dan Rasulullah adalah sebaik-baiknya guru. Rasulullah adalah yang menetapkan ajaran-ajaran syari’at (syari’), sehingga dalam apa yang disampaikan oleh beliau kepada umatnya tidak mengandung kekeliruan sedikitpun. Setiap apa yang disampaikan olehnya dari ajaran-ajaran hingga hukum-hukum adalah kebenaran mutlak. Dengan demikian metode yang dipergunakan oleh Rasulullah dalam menyampaikan ajaran-ajarannya tersebut adalah juga sebaik-baiknya metode. Itulah metode yang akan senantiasa sesuai bagi setiap zaman dan tempat. Metode yang akan terus kekal sampai kiamat sekekal ajaran-ajaran Rasulullah itu sendiri.
(Dua): Rasulullah menurunkan ajaran-ajaran Islam kepada para sahabatnya, lalu para sahabat menurunkan itu semua kepada orang-orang di bawah mereka dari kalangan Tabi’in, kemudian para Tabi’in menurunkan itu semua kepada orang-orang di bawah mereka dari kalangan Tabi’i at-Tabi’in, demikian seterusnya turun-temurun antar generasi. Terkait dengan materi yang disampaikan diriwayatkan dari sahabat Abullah ibn Umar bahwa beliau berkata: “Ilmu-ilmu dalam Islam ini ada tiga, yaitu al-Qur’an, al-Hadits, dan perkataan “la adri” (aku tidak tahu). (HR. At-Thabarani). Perkataan Abdullah ibn Umar ini memberikan penjelasan bagi kita betapa besar kewajiban memegang teguh amanat syari’at. Jika dalam masalah dunia sesama kita dituntut untuk saling memegang teguh amanat, maka tuntutan tersebut lebih besar lagi bila menyangkut ajaran-ajaran dalam syari’at ini.
(Tiga): Secara garis besar penyakit masyarakat kita dalam masalah pengetahuan atau ilmu-ilmu agama di zaman modern ini ada dua; tidak mau belajar dan salah belajar. (Pertama); tidak mau belajar, tentu akibatnya fatal, ialah memelihara kebodohan. Dan sesungguhnya kebodohan dalam urusan ilmu-ilmu agama yang pokok tidak dimaafkan. Karena itulah ada banyak teks-teks al-Qur’an (QS. az-Zumar: 9, QS. al-Mujadilah: 11) dan hadist yang menetapkan kewajiban belajar ilmu-ilmu agama (HR. al-Bayhaqi dan lainnya). Yang dimaksud wajib dalam teks-teks tersebut adalah mempelajari ilmu pokok-pokok agama (Dlaruruiyyat ‘Ilm ad-Din), bukan seluruh ilmu agama. (Kedua); Salah belajar. Problem ke dua ini telah benar-benar menggejala di masyarakat kita. Penyakit masyarakat modern adalah keinginan serba instan, apapun harus cepat dan “siap saji”. Termasuk dalam memahami ilmu-ilmu agama. Sehingga terjadilah belajar ilmu agama tanpa guru. Mereka hanya terpaku kepada google, atau mesin pencari lainnya. Dan orang yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan. Demikian dikatakan oleh para ulama kita.
(Empat): Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijal). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu dalam Islam memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh penetap ajaran syari’at itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul-Nya.
(Lima): Di antara sebab kebal ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh Nabi-Nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu keistimewaaan yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat[1].
(Enam): Terkait dengan tradisi mencari Sanad Aly. Sanad Aly adalah sanad yang jumlah orang-orang terlibat dalam mata rantainya lebih sedikit dan kesemua orang tersebut adalah orang-orang terpercaya (tsiqah). Kebalikannya disebut Sanad Nazil; ialah bahwa orang-orang yang terlibat dalam mata rantainya lebih banyak[2]. Sanad Aly memiliki potensi lebih kecil dari kemungkinan adanya kesalahan dalam mata rantai itu sendiri, atau dalam redaksi (informasi) yang dibawa oleh mata rantai tersebut. Sementara Sanad Nazil tidak sekuat sanad Aly.
Tradisi mulia ini telah diceritakan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “Mencari sanad Aly adalah adalah tradisi dari para ulama Salaf, karena para sahabat Abdullah ibn Umar mengadakan perjalanan dari Kufah ke kota Madinah hanya untuk belajar dan mendengar dari Umar ibn al-Khaththab, --padahal mereka telah mendengar/belajar dari putranya Umar sendiri; yaitu Abdullah ibn ‘Umar--”[3].
(Tujuh): Tradisi at-Talaqqi Bi al-Musyafahah. Sudah menjadi kesepakatan ulama Salaf dan Khalaf bahwa ilmu agama tidak diperoleh dengan hanya membaca sendiri beberapa literatur agama, melainkan dengan belajar langsung (talaqqi) kepada seorang alim yang terpercaya (tsiqah) yang pernah berguru kepada seorang alim terpercaya, dan demikian seterusnya hingga berujung kepada Sahabat Rasulullah. Al-Hafizh Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi berkata: “Ilmu agama tidak dapat diambil kecuali dari lisan Ulama”.
(Delapan): Tradisi at-Tahammul dalam meraih ilmu. Ada delapan metode at-Tahammul dalam meraih ilmu agama. Ini tidak dikhususkan hanya belaku dalam bidang hadits saja, tapi berlaku bagi berbagai disiplin ilmu agama; Fiqh, Tafsir, Tasawwuf, dan lainnya. Metode at-Tahammul ini biasanya sering dibahas dalam bidang hadits saja adalah karena titik konsentrasi hadits itu berupa kajian terhadap sanad dan matan. Dari segi matan dituntut tidak ada redaksi yang asing atau cacat. Sementara dari segi sanad dituntut adanya mata rantai yang berkesinambungan, lalu semua perawinya orang-orang terpercaya (tsiqah), orang-orang adil, dan orang-orang kapabel (dlabith).
Delapan metode at-Tahammul tersebut adalah dengan susunan berikut ini; (1) Mendengar lafazh (pelajaran) syekh atau guru (Sama’ Lafzh asy-Syaikh), (2) Membaca di hadapan syekh (al-Qira’ah ‘Ala asy-Syaikh), (3) Al-Ijazah, (4) al-Munawalah, (5) Al-Kitabah, (6) Al-I’lam, (7) al-Washiyyah, dan (8) al-Wijadah. Dengan demikian tingkatan yang paling tinggi adalah Sama’ Lafzh asy-Syaikh[4].
(Sembilan): Masalah Mujtahid dan Muqallid. Mujtahid adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad, serta menguasai betul bahasa Arab dengan sehingga hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al-Qur’an. Juga harus mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli Ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka. Karena jika tidak mengetahui hal tersebut maka dimungkinkan ia akan menyalahi ijma’ (konsensus) para ulama sebelumnya.
Lebih dari syarat-syarat tersebut ini, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam ber-Ijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.
Sedangkan Muqallid adalah orang yang belum sampai kepada derajat Mujtahid tersebut di atas. Syarat untuk mencapai derajat Mujtahid sangat berat, dan sangat ketat. Tidak setiap orang mampu mancapai derajat tersebut. Dengan demikian kita harus tahu posisi kita, yang bahkan membaca al-Qur’an-pun banyak yang tidak beres, apa lagi untuk memahami kandungan maknanya. Siapa kita?!
(Sepuluh): Mengapa harus empat madzhab? Dari sekian banyak imam Mujtahid, yang secara formulatif dibukukan hasil-hasil Ijtihad-nya, dan hingga kini madzhab-madzhab-nya masih eksis hanya empat imam saja, yaitu; Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufy (w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, Imam Malik ibn Anas (w 179 H) sebagai perintis madzhab Maliki, Imam Muhammad ibn Idris Syafi’i (w 204 H) sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai perintis madzhab Hanbali.
Sudah tentu para Imam Mujtahid yang empat ini memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secara sharih, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Rasulullah. Bagi kita para Muqallid tidak ada jalan lain kecuali mengikuti hasil ijtihad para imam Mujtahid tersebut.
(Sebelas): Ada sebagian orang di masyarakat kita yang getol menjual “pepesan kosong”. Mereka berkata: “Kami tidak butuh kepada pendapat para ulama”, atau “Kami dapat memahami teks-teks syari’at sendiri”, atau: “Kami tidak membutuhkan madzhab”, atau: “Madzhab kami hanya al-Qur’an dan Sunnah”, atau kadang mereka berkata: “Kita manusia dan mereka (para ulama) juga manusia, kita bisa salah mereka-pun bisa salah”, atau: “Sumber kita murni; al-Qur’an dan Sunnah, kita tidak mengambil dari karya-karya para ulama (kitab kuning)”. Bahkan ada yang lebih parah dari itu semua dengan mengatakan bahwa Taqlid kepada para Imam madzhab adalah perbuatan syirik.[5]
Perkataan orang-orang semacam ini justru menegaskan bahwa mereka tidak paham terhadap kandungan al-Qur’an dan Sunnah. Tegasnya, mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak mau belajar dengan benar. Segala praktek ibadah dan keyakinan orang-orang semacam ini patut dipertanyakan. Dari manakah mereka memahami teks-teks Syari’at? Siapakah yang telah membawa teks-teks syari’at tersebut hingga turun kepada mereka? Apakah mereka merasa lebih paham terhadap ajaran agama ini dibanding para ulama? Penulis khawatir, jangan-jangan mereka yang sangat anti terhadap madzhab tidak mengetahui berapa rukun wudlu?!
Wa Allah A’lam Bi as-Shawab.
Kholil Abu Fateh
Al-Asy’ari asy-Syafi’i al-Qadiri ar-Rifa’i
[1] Penjelasan ini diungkapkan dalam hampir seluruh kitab-kitab Musthalah al-Hadits, lihat di antaranya; an-Nawawi (w 676 H) dalam at-Taqrib, j. 2, h. 94, as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, j. 2, h. 93, Ibn ash-Shalah dalam al-Muqaddimah, h. 239, al-‘Iraqi dalam at-Taqyid wa al-Idlah, h. 239, al-‘Iraqi dalam Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, h. 308
[2] Ini adalah definisi global. Lebih rinci ada yang disebut sanad ‘ali muthlaq dan ada sanad ‘ali nisbi; yang parameternya bukan kepada jumlah para perawi, tetapi kepada siapa yang meriwayatkan, jika para perawinya imam-imam terkemuka atau semacamnya. Lihat kitab-kitab Musthalah al-hadits.
[3] as-Suyuthi, Tadrib ar Rawi, j. 2, h. 95
[4] Untuk mengenal definisi masing-masing istilah ini silahkan merujuk kepada kitab-kitab Musthalah, seperti an-Nawawi dengan at-Taqrib, as-Suyuthi dengan Tadrib ar-Rawi, Ibn ash-Shalah dengan al-Muqaddimah, al-Iraqi dengan at-Taqyid wa al-Idlah, dan Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, serta Ibn Hajar al-Asqalani dengan Nukhbah al-Fikar, serta lainnya.
[5] Di antaranya seperti ditulis oleh salah seorang pemuka kaum Wahabi, bernama al-Qanuji dalam karyanya berjudul ad-Din al-Khalish, menuliskan: “Taqlid kepada salah satu dari empat madzhab adalah syirik (kufur)”. Lihat j. 1, h. 140.