Mengenal Tasawuf Rasulullah; Representasi Ajaran al-Qur’an dan Sunnah


- Version
- Download 296
- File Size 1 MB
- File Count 1
- Create Date Mei 22, 2021
- Last Updated Mei 24, 2021
Perkembangan tasawuf belakangan ini hampir menyentuh semua tingkatan masyarakat. Sudah sangat banyak orang yang mengenal tasawuf, bahkan tidak sedikit yang secara praktis masuk dalam medan tasawuf. Tentu ini menggembirakan, ada nilai-nilai positif yang bisa mereka dapatkan. Namun, di saat yang sama juga timbul berbagai macam kekhawatiran, setidaknya bagi penulis. Di antaranya;
(Satu); Sangat mengkhawatirkan ketika tasawuf disentuh oleh lapisan masyarakat yang sama sekali tidak mengetahui ilmu agama. Seorang yang tidak mengetahui tuntunan thahârah (bersuci), Istinjâ’, Istibrâ’, atau tidak mengetahui tatacara wudlu’ yang benar, air yang harus dipergunakan, hal-hal yang membatalkan wudlu, atau yang terkait dengan masalah shalat, serta praktek ibadah lainnya, tentu saja bila orang semacam ini masuk dalam wilayah tasawuf tidak akan mandapatkan banyak manfa’at. Gejala inilah yang belakangan terjadi di sebagian masyarakat kita. Tidak sedikit dari mereka yang hanya ikut-ikutan ingin dibaiat untuk dzikir dalam sebuah tarekat sementara ia belum bisa membereskan tatacara bersucinya. Lebih parah lagi yang membaiat (mursyid) orang-orang awam tersebut juga tidak memiliki ilmu agama yang cukup.
(Dua); Sesungguhnya di dalam tasawuf, kaum sufi itu terbagi kepada dua bagian; kaum sufi sejati (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn) dan kaum sufi gadungan (Ghair al-Muhaqqiqîn). Pembagian semacam ini umumnya juga berlaku pada disiplin keilmuan atau komunitas lainnya. Realitas inilah yang mendorong salah seorang sufi besar di masanya, yaitu al-Hâfizh Abu Nu’aim menuliskan sebuah karya besar tentang biografi kaum sufi sejati dengan ajaran-ajarannya yang berjudul Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beliau sendiri di permulaan kitab tersebut bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab ini adalah untuk membedakan antara kaum sufi sejati dan kaum sufi gadungan. Bahkan Ungkapan-ungkapan al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam menyerang kaum sufi gadungan cukup keras. Beliau menamakan mereka sebagai orang-orang pemalas, karena tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang mulhid berakidah hulûl, ittihâd atau kaum Ibâhiyyah (kaum yang menghalalkan segala sesuatu). Beliau juga mengatakan bahwa menyebutkan kesesatan-kesesatan kaum sufi gadungan dan menghindarkan diri dari mereka adalah kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atas setiap orang muslim. Karena hanya dengan demikian kemurnian ajaran Islam dapat terjaga. Juga hanya dengan cara ini, orang-orang yang saleh dari para wali Allah dapat diposisikan secara proporsional dengan tidak mencapuradukan antara mereka dengan kaum sufi gadungan yang notabene orang-orang sesat[1].
Demikian pula Imam al-Qusyairi dengan kitab tasawuf fenomenalnya, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, beliau mengatakan bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab tersebut adalah untuk membedakan antara sifat-sifat kaum sufi sejati dari kaum sufi gadungan. Pada pembukaan kitabnya ini Imam al-Qusyairi menulis sebuah sub judul; “Dawâfi’ Ta’lîf Hâdzihi ar-Risâlah (Sebab-sebab yang mendorong dituliskan risalah ini)”, bahwa salah satunya untuk tujuan tersebut.[2] Bahkan sebelum datang Imam al-Qusyairi, Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam karya besarnya, al-Luma’ telah menjelaskan bahwa keberadaan sufi gadungan di masa beliau hidup sudah mulai merebak di kalangan orang-orang Islam. Tentang kondisi ini, dalam kitab al-Luma’ Imam as-Sarraj berkata: “Ketahuilah bahwa di zaman kita ini banyak orang-orang yang telah terjerumus dalam ilmu-ilmu kelompok ini (kaum sufi). Dan telah banyak pula orang yang mengaku-aku ahli tasawuf. Mereka seakan dapat memberikan petunjuk kepada ilmu-ilmu tasawuf dan dapat menjawab segala permasalahan-permasalahannya. Setiap orang dari mereka seakan memiliki rujukan kitab bagi dirinya yang ia banggakan, atau memiliki perkataan-perkataan yang sudah sangat akrab dengan dirinya, padahal mereka sama sekali tidak memahami hakekat tasawuf tersebut. Padahal para ulama sufi terdahulu (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn) yang berbicara dalam masalah tasawuf ini dengan segala kandungan-kandungan bijak di dalamnya, mereka hanya berbicara setelah melewati berbagai rintangan dalam menjalani tasawuf itu sendiri (Qath’a al-‘Alâ’iq), mengalahkan berbagai hawa nafsu dengan mujâhadah, riyâdlah dan lainnya. Artinya, bahwa mereka masuk dalam medan tasawuf setelah mereka benar-benar mengetahui ilmu-ilmu agama dan telah beramal dengannya”.[3]
(Tiga); Dalam bahasan tasawuf hampir dipastikan menyinggung akidah hulûl dan al-wahdah al-Muthlaqah. Kajian tasawuf tidak akan lepas dari bahasan itu, karena segala aspek yang terkait dengan dua akidah tersebut biasanya timbul dalam wilayah tasawuf. Tidak sedikit dari orang-orang yang tidak mumpuni Ilmu Tauhid, karena ia masuk secara praktis dalam ajaran tasawuf lalu ia meyakini dua keyakinan tersebut; hulûl dan al-wahdah al-Muthlaqah. Tentu kesesatan dua akidah ini telah disepakati oleh para ulama, dari masa ke masa.
(Empat); Tidak sedikit dari orang-orang awam yang tidak faham akidah tanzîh (kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya) yang merupakan keyakinan mayoritas umat Islam dari masa ke masa, dan dari berbagai generasi ke genarasi. Sesungguhnya akidah tanzîh inilah keyakinan umat Islam dari masa ke masa, tidak terkecuali kaum sufi yang notabene orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya, mereka semua meyakini akidah tanzîh.
Walaupun masalah tanzîh ini cukup luas, karena sebenarnya menyangkut pembahasan sifat-sifat Allah dalam berbagai teks al-Qur’an dan Hadits, namun dengan tanpa mengabaikan urgensi pembahasan itu semua, penjelasan “Allah ada tanpa tempat” adalah yang sangat pokok dan paling urgen untuk penulis diungkap di sini. Kecenderungan timbulnya akidah-akidah tasybîh (akidah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) belakangan ini semakin meluas di sebagian masyarakat kita. Karena semakin menyusutnya pembelajaran terhadap ilmu-ilmu agama pokok, terutama masalah akidah, disadari atau tidak disadari ada beberapa orang yang telah keluar dari agama Islam karena keyakinan rusaknya.
Al-Imâm al-Qâdlî Iyadl al-Maliki dalam asy-Syifâ Bi Ta’rîf Huqûq al-Musthafâ mengatakan bahwa ada dari orang-orang Islam yang keluar dari Islam-nya (menjadi kafir), sekalipun ia tidak bertujuan keluar dari agama Islam tersebut. Ungkapan-ungkapan semacam; “Terserah Yang Di atas”, “Tuhan tertawa, tersenyum, menangis” atau “Mencari Tuhan yang hilang”, dan lain sebagainya adalah gejala tasybîh yang semakin merebak belakangan ini. Tentu saja kesesatan akidah tasybîh adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama kita, dari dahulu hingga sekarang. Terkait dengan masalah ini Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi (w 725 H)[4], dalam kitab Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî, h. 588, mengutip perkataan sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai berikut:
سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هذِه الأمّةِ عِنْدَ اقْتِرَابِ السّاعَةِ كُفّارًا، قَالَ رَجُلٌ: يَا أمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ، كُفْرُهُمْ بِمَاذَا أبِالإحْدَاثِ أمْ بِالإنْكَارِ؟ فَقَالَ: بَلْ بِالإنْكَارِ، يُنْكِرُوْنَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِالجِسْمِ وَالأعْضَاء (رَواهُ ابنُ المُعلِّم القُرَشيّ فِي كِتابه نَجْم المُهْتَدِي وَرَجْمُ المُعْتَدِيْ)
“Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya: “Wahai Amîr al-Mu’minîn apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran? Sahabat Ali ibn Abi Thalib menjawab: “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta meraka (Allah) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan”. (Diriwayatkan oleh Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi, h. 588).
Inilah beberapa alasan, disamping karena tanggung jawab ilmiyah dan ghîrah terhadap kesucian ajaran agama yang mulia; mengapa penulis berkeinginan kuat untuk membuat catatan-catatan dan membukukannya hingga sampai di tangan anda. Semoga ikut memberikan pencerahan dan mafaat. Amin.
Khadim al-‘Ilm Wa al-‘Ulama
Kholilurrohman Abu Fateh
al-Asy’ari al-Syafi’i al-Rifa’i al-Qadiri
[1] Lihat Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, j. 1, h. 3-5.
[2] Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 27-28. Tentang pembagian dua kelompok kaum sufi baca pula karya al-Hâfizh Ibn al-Jawzi (w 579 H), dalam kitabTalbîs Iblîs, h. 165-175
[3] as-Sarraj, al-Luma’, h. 19-20
[4] lihat biografinya dalam ad-Durar al-Kâminah, karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani, j. 4, h. 198