Mengungkap Kerancuan Pembagian Tauhid Kepada Uluhiyyah Rububiyyah dan al-Asma’ Wa ash-Shifat


- Version
- Download 271
- File Size 2 MB
- File Count 1
- Create Date Mei 24, 2021
- Last Updated Mei 24, 2021
Pembagian tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat sebenarnya dibuat pertama kali oleh Ibnu Taimiyah. Tidak ada siapapun dari para ulama sebelumnya yang telah membagi tauhid kepada tiga bagian tersebut. Dengan kreasinya ini, Ibnu Taimiyah lalu mengkafirkan umat Islam hanya karena mereka melakukan tawassul dan tabarruk dengan para Nabi atau dengan orang-orang saleh. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka adalah orang-orang yang tidak paham tauhid Uluhiyyah. Mereka, para pelaku tawassul dan tabarruk, menurut Ibnu Taimiyah, hanya memahami tauhid Rububiyyah saja, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, nihil dari tauhid Uluhiyyah. Padahal, --masih menurut Ibn Taimiyah--, pengakuan terhadap tauhid Rububiyyah seperti itu tidak hanya oleh orang-orang Islam saja, tapi juga diakui oleh orang-orang kafir dan orang-orang Musyrik[1].
Adapun kreasi Ibnu Taimiyah dalam menetapkan adanya istilah tauhid yang ke tiga, disebut dengan tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat; tujuan utamanya adalah untuk menegaskan bahwa teks-teks mutasyabihat, baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits-hadits Nabi tidak boleh dipahami dengan takwil. Tetapi teks-teks tersebut menurut Ibnu Taimiyah wajib dipahami dalam makna literalnya atau makna zahirnya. Karena itu ada istilah berkembang di kalangan para pengikut Ibnu Taimiyah mengatakan “al-Mu’awwil Mu’ath-thil”; artinya orang yang melakukan takwil adalah orang yang telah menafikan, mengingkari, atau mendustakan teks-teks syari’at. Dan orang yang mengingkari teks-teks syari’at adalah seorang yang kafir. Para pengikut Ibnu Taimiyah dikenal sangat gigih menentang pemberlakuan takwil.
Wal hasil, dengan dasar kreasinya ini, Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya kemudian mengkafirkan seluruh orang-orang Islam. kecuali kelompok mereka sendiri yang sepaham dan sejalan dengan pembagian tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah, dan al-Asma’ wa ash-Shifat tersebut.
Kreasi pembagian tauhid dari Ibnu Taimiyah di atas sepenuhnya diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab; perintis gerakan yang kenal dengan nama Wahabiyah. Muhammad bin Abdul Wahhab ini bahkan juga menghidupkan berbagai kotroversi dan faham-faham ekstrim Ibnu Taimiyah lainnya. Dalam hampir setiap langkah bahkan setiap jengkal; Muhammad bin Abdul Wahhab ini mengikuti faham Ibnu Taimiyah. Keadaan ini ditambah lagi dengan faham-faham ekstrim dari Muhammad bin Abdil Wahhab sendiri.
Para pengikut Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab (kita sebut at-Taimiyyun, dan atau Wahhabiyyah) mengatakan bahwa orang-orang kafir musyrik adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah dari segi tauhid Rububiyyah, mereka hanya tidak mentauhidkan Allah dari segi tauhid Uluhiyyah saja. Maka, menurut at-Taimiyyun orang-orang kafir musyrik adalah para ahli tauhid Rububiyyah. Adapun bahwa mereka disebut kafir --menurut at-Taimiyyun-- adalah karena mereka membuat wasilah-wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah; yaitu dengan cara menyembah kepada berhala-berhala. Lalu, --dan di sinilah faham ekstrimnya-- dengan dasar pemahaman ini, at-Taimiyyun kemudian mengatakan bahwa orang-orang mukmin yang membuat wasilah-wasilah kepada Allah dengan jalan mencari berkah kepada para Nabi atau para Wali mereka semua juga sama; adalah orang-orang kafir musyrik. Orang-orang penyembah berhala kafir musyrik karena mereka menjadikan berhala-berhala sesembahan mereka sebagai wasilah kepada Allah. Sementara orang-orang yang bertawassul dengan para Nabi atau para Wali juga kafir musyrik karena menjadikan para Nabi dan Wali sebagai wasilah kepada Allah. Demikian kesimpulan ekstrim at-Taimiyyun. Lalu, untuk menguatkan pemahaman ini at-Taimiyyun banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang turun tentang orang-orang kafir, lalu oleh mereka diberlakukan terhadap orang-orang Islam. sehingga at-Taimiyyun biasa menempatkan ayat-ayat bukan pada tempatnya.
Kesimpulan puncak at-Taimiyyun; mengatakan bahwa orang-orang Islam yang melakukan tawassul (mencari wasilah), atau istighatsah (meminta pertolongan) dengan para Nabi, para Wali, dan orang-orang saleh, serta tabarruk (mencari berkah) dengan mereka adalah orang kafir. Bahkan at-Taimiyyun memandang kekufuran meraka jauh lebih parah dari pada kekufuran Abu Lahab, Fir’aun, Haman, dan lainya[2]. Na’udzu billah.
Baik, Sebelum kita masuk lebih jauh ke dalam bahasan judul besar buku kita ini, berikut ini adalah catatan ringkas, semacam kesimpulan kecil, dalam bantahan sederhana, tetapi kuat dan sangat logis, terhadap faham pembagian tauhid kepada tiga macam di atas. Kita catat per poin sebagai berikut;
(Satu): Sebelum Ibnu Taimiyah tidak pernah dikenal adanya pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat. Logikanya, orang-orang mukmin sebelum abad tujuh hijriyah; --yaitu masa sebelum datangnya Ibnu Taimiyah sendiri--, adalah orang-orang yang tidak mengenal pembagian tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat ini. Itu artinya dalam pandangan Ibn Taimiyah mereka adalah orang-orang yang tidak benar dalam keimanannya, karena mereka tidak membeda-bedakan tauhid Uluhiyyah dan tauhid Rububiyyah. Tentu logika seperti ini tidak sehat.
(Dua): Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam madzhab Hanbali, --di mana Ibnu Taimiyah dan pengikutnya (at-Taimiyyun) mengaku bermadzhab Hanbali-- tidak pernah mengatakan bahwa tauhid terbagi kepada tiga macam; Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat. Al-Imam Ahmad tidak pernah mengatakan bahwa orang-orang musyrik adalah orang-orang ahli tauhid dari segi tauhid Rububiyyah. Al-Imam Ahmad juga tidak pernah mengatakan bahwa orang-orang mukmin yang tidak mengetahui tauhid Uluhiyyah maka mereka sama dengan orang-orang musyrik kafir. Sesungguhnya akidah Al-Imam Ahmad telah dibukukan oleh para pengikutnya dari orang-orang alim terkemuka dan orang-orang saleh. Silahkan anda periksa, misal kitab Manaqib al-Imam Ahmad karya al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi, atau kitab-kitab lainnya dari ulama madzhab Hanbali terkemuka sebelum Ibnu Taimiyah; anda tidak akan mendapatkan satupun pernyataan al-Imam Ahmad yang menetapkan tauhid terbagi kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat.
(Tiga): Para sahabat Rasulullah, --yang notebene orang-orang yang hidup bersama Rasulullah, mereka mendengar dan melihat apa yang diajarkan oleh Rasulullah--, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bahwa tauhid terbagi kepada tiga macam; Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat. Silahkan anda periksa seluruh kitab-kitab hadits. Anda tidak akan menemukan seorangpun dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Abu Lahab, --seorang yang dilaknat oleh Allah dalam al-Qur’an-- adalah sebagai orang yang mengetahui tauhid Rububiyyah. Sebaliknya, yang ada dalam hadits adalah ketika sahabat Mu’ad ibn Jabal diutus oleh Rasulullah untuk berdakwah di wilayah Yaman, Rasulullah berkata kepadanya:
ادْعُهُمْ إلَى شهَادَةِ أنْ لا إلهَ إلاّ اللهُ وأنَّ محمّدًا رَسُولُ الله (رواه البُخَاريّ وغيْرُه)
“Ajaklah mereka untuk bersaksi “La Ilaha Illallah” (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah). (HR. al-Bukhari dan lainnya).
Rasulullah tidak berkata kepada sahabat Mu’adz; “Suruhlah mereka juga bersaksi “La Rabba Illallah”. Rasulullah tidak pernah berkata kepada Mu’adz; “Hendaklah mereka bersaksi dengan dua tauhid sekaligus; tauhid Uluhiyyah dan tauhid Rububiyyah. Karena tidak cukup hanya dengan salah satu tauhid saja, tetapi juga harus dengan keduanya”. Demikian pula Rasulullah tidak berkata kepada Mu’adz: “Mereka adalah para ahli tauhid Rububiyyah, maka yang hendaknya engkau serukan kepada mereka hanya tauhid Uluhiyyah”.
(Empat): Tidak ada satupun hadits Rasulullah menetapkan pembagian tauhid kepada tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat. Sebaliknya, ada banyak hadits-hadits Rasulullah yang memberikan pemahaman bahwa kata al-Ilah memiliki makna yang sama dengan kata ar-Rabb. Dalam sebuah hadits mutawatir yang sangat populer, Rasulullah bersabda:
أُمِرْتُ أن أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أن لا إلهَ إلاّ الله وأني رَسولُ الله (روَاهُ البُخاري وَغيرُه)
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah (Ilah) kecuali Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah”. (HR. al-Bukhari dan lainnya).
Tidak ada satupun hadits mengatakan bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah sebagai orang-orang ahli tauhid dari segi tauhid Rububiyyah, mereka hanya tidak mengetahui tauhid Uluhiyyah. Juga tidak ada satupun hadits menetapkan bahwa orang-orang kafir tersebut sama dengan orang-orang Mukmin dari segi tauhid Rububiyyah.
(Lima): Jika seorang kafir hendak masuk Islam maka jalannya hanyalah satu. Mengucapkan dua kaliamat syahadat dengan mulutnya dan meyakini maknanya dengan hatinya. Seorang yang semula kafir dengan hanya mengucapkan:
أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إلا الله وأشْهَدُ أنّ محمدا رَسُولُ الله
maka ia dihukumi Mukmin Muslim. demikian pula seandainya ia mengucapkan “La Rabba Illallah...” maka syahadat-nya dapat dianggap cukup. Demikian dikatakan oleh para Ulama kita. Oleh karena kata Ilah dan kata Rabb memiliki makna yang sama. Al-Ilah artinya; Tuhan yang berhak disembah. Demikian pula makna al-Rabb. Dalam pada ini, tidak dikatakan kepada orang kafir yang mau masuk Islam tersebut; ber-syahadat-lah engkau dari segi tauhid Uluhiyyah saja, tidak usah ber-syahadat dari segi tauhid Rububiyyah, karena engkau telah meyakininya”.
(Enam): Dalam sebuah hadits sahih disebutkan bahwa di antara bentuk fitnah kubur adalah pertanyaan dua Malaikat Munkar dan Nakir kepada mayit. Di antara yang ditanyakan oleh Malaikat terhadap mayit di dalam kubur adalah “Man Rabbuka?”. (HR. Abu Dawud, Ahmad dan lainnya). Dipahami dari hadits ini beberapa perkara; (1). Seandainya semua orang, baik yang mukmin maupun yang kafir, sama-sama telah meyakini tauhid Rububiyyah, seperti yang diyakini oleh at-Taimiyyun, maka pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir; “Man Rabbuka?” di dalam kubur menjadi sia-sia, tidak bermanfaat (Tahshil al-Hashil). Untuk apa? Bukankah semuanya telah mentauhidkan Allah dari segi tauhid Rububiyyah? Bukankah seharusnya Munkar dan Nakir bertanya; Man Ilahuka? Tentu pemahaman semacam ini rusak. (2). Di atas keyakinan at-Taimiyyun, seandainya-pun Malaikat Munkar dan Nakir bertanya dengan; “Man Rabbuka?”, maka berarti itu tidak cukup. Tetapi juga seharusnya bertanya dengan; “Man Ilahuka?”. Karena menurut at-Taimiyyun kata Rabb dan kata Ilah memiliki makna yang berbeda. Tetapi tidak ada satupun hadits yang meriwayatkan dengan pertanyaan ganda seperti itu. (3). Jawaban mayit mukmin saleh terhadap pertanyaan tersebut adalah; “Allah Rabbi”. Jawaban ini tidak dibantah oleh Munkar dan Nakir. Misalkan, dengan dikatakan kepada mayit tersebut; “Itu hanya tauhid Rububiyyah! Mana tauhid Uluhiyyah-nya?”. Munkar dan Nakir tidak berkata: “Jawabanmu terkait dengan tauhid Rububiyyah, keyakinan itu semua orang memilikinya. Engkau seharusnya menjawab Allah Ilahi!!”. Munkar dan Nakir juga tidak meminta dari mayit tersebut untuk mengucapkan dua-duanya sekaligus; “Allah Rabbi, Allah Ilahi”. Karena Rabbi dan Ilahi itu memiliki makna yang sama.
(Tujuh): Kitab suci al-Qur’an yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun tidak pernah mencatatkan pembagian tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat. Tidak ada penyebutan dalam al-Qur’an bahwa Fir’aun dan Haman, dua manusia yang sangat durhaka, telah meyakini tauhid Rububiyyah. Atau sebaliknya, bahwa orang yang tidak mengetahui tauhid Uluhiyyah maka ia sama kafirnya dengan Fir’aun dan Haman atau lebih parah dari keduanya. Kalimat tauhid yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah “La Ilaha Illah”, yaitu dalam QS. Muhammad: 19. Allah berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لآإِلَهَ إِلاَّاللهُ (سورة محمد: 19)
Dalam ayat ini Allah memerintah Nabi kita; Muhammad untuk menetap dan memegang tegung keyakinan tauhid bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Kata “fa’lam” dalam ayat ini adalah dalam makna “fatsbut”; artinya “Tetaplah engkau”. Kata “La Ilaha Illallah” maknanya sama dengan kata “La Rabba Illallah”. Karena itu, di dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang menyebutkan bahwa kalimat “La Ilaha Illallah” saja tidak cukup, tetapi harus diikutkan dengan kalimat “La Rabba Illallah”. Dan ini berlaku dalam seluruh ayat-ayat tauhid.
(Delapan): Dalam ayat lain tentang bahwa seluruh para Nabi dan Rasul menyeru kepada kalimat tauhid, Allah berfirman:
وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّنُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ (سورة الأنبياء: 25)
“Dan tidaklah Kami (Allah) mengutus dari sebelumu (wahai Muhammad) dari seorang Rasul kecuali Kami mewahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Aku, maka hendaklah kalian beribadah kepada-Ku” (QS. al-Anbiya: 25).
Itulah kalimat tauhid; La Ilaha Illallah. Sangat jelas dalam ayat ini bahwa seruan seluruh para Nabi kepada umat manusia ini adalah agar meyakini La Ilaha Illallah. Yang juga maknanya adalah La Rabba Illallah. Karena kata al-Ilah dan kata ar-Rabb bagi Allah memiliki makna yang sama; yaitu “Yang disembah dengan haq” (al-Ma’bud Bi Haqq).
(Sembilan): Para pengikut Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdil Wahhab adalah orang-orang yang paling getol menyematkan kata “bid’ah” (tabdi’), “sesat” (tadzlil), “fasiq” (tafsiq) terhadap perkara apapun; hanya karena perkara tersebut tidak ada di zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Tidak segan mengatakan bahwa semua perkara semacam itu tempatnya adalah neraka. Saklek, mereka mengatakan setiap pelaku bid’ah adalah orang sesat, dan setiap orang sesat bertempat di neraka. Timbul pertanyaan sederhana; apakah mereka berani mengatakan Ibnu Taimiyah seorang yang sesat? Bukankah Ibnu Taimiyah orang yang pertamakali merintis pembagian tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat?
Lebih luas akan kita bahas dalam buku ini sesungguhnya apa yang menjadi latar belakang Ibnu Taimiyah membuat pembagian tauhid kepada tiga bagian ini. Sesungguhnya tumpuan dan pondasi pokok dari ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah adalah berangkat dari pemahaman tiga tauhid ini. Faham ekstrim apapun dari Ibnu Taimiyah, seperti pernyataannya bahwa Allah punya bentuk dan ukuran, Allah bersifat dengan sifat-sifat benda; seperti gerak, turun, naik, datang, bertempat, duduk, dan lainnya, lalu pernyataannya bahwa Allah memiliki anggota-anggota badan, kemudian pernyataan ektrim lainnya; seperti bahwa perjalanan (safar) untuk tujuan ziarah ke makam Rasulullah adalah perjalanan maksiat sehingga tidak boleh melakukan qashar shalat karenanya, juga pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa tawassul dan tabarruk dengan para Nabi atau para Wali adalah perbuatan syirik, dan berbagai faham ekstrim lainnya; semua itu sesungguhnya kembali kepada pemahaman pembagian tauhid kepada Uluhiyyah, Rububiyyah dan al-Asma’ wa ash-Shifat ini.
Para ulama kita yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab, atau yang datang sesudah keduanya, telah banyak menuliskan bantahan terhadap faham-faham ekstrim keduanya. Seandainya para ulama kita dahulu mengetahui betapa besar akibat dari faham yang dirintis oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab di kemudian hari setelah masa mereka; maka tulisan-tulisan bantahan dari para ulama kita akan jauh lebih banyak dan lebih kuat lagi terhadap berbagai faham dua orang kotroversial ini.
Allah A’lam.
Kholil Abu Fateh
(Al-Asy’ari asy-Syafi’i ar-Rifa’i al-Qadiri)
[1] Ibnu Taimiyah, Fatawa Ibn Taimiyah, j. 14, h. 380
[2] Salah seorang pemuka Wahabi bernama Muhammad Ahmad Basyamil menulis buku berjudul Kayfa Nafham at-Tauhid. Di dalamnya ia menuliskan: “Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak nilai tauhidnya dan lebih murni imannya dengan Allah dari pada orang-orang Islam yang ber-tawassul dengan para wali dan orang-orang saleh. h. 16