Penjelasan Hadits Jibril; Memahami Pondasi Iman Yang Enam


- Version
- Download 238
- File Size 2 MB
- File Count 1
- Create Date Mei 22, 2021
- Last Updated Mei 24, 2021
Dalam sebuah hadits sahih yang dikenal dengan nama hadits Jibril, Rasulullah bersabda:
الايْمَانُ أنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ (رَوَاهُ البُخَارِي وَمُسْلِمٌ)
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir dan Qadar (Ketentuan Allah) yang baik dan buruk”. (HR. al-Bukhari[1] dan Muslim[2])
Dasar-dasar iman yang enam ini wajib di ketahui oleh setiap mukallaf. Seorang mukallaf ialah yang baligh, berakal dan telah mendengar bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dasar-dasar iman yang enam ini adalah bagian dari ‘Ilmuddin al-Dharury; artinya termasuk pokok-pokok agama yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf.
Pondasi akidah Islam yang paling mendasar adalah Ma’rifatullah (mengenal Allah) dan Ma’rifatu Rasulih (mengenal rasul-Nya). Ma’rifatullah adalah mengetahui bahwa Allah Maujud (Maha Ada) dan tidak ada permulaan bagi-Nya. Allah berfirman:
أفِي اللهِ شَكٌّ (ابراهيم: 11)
“Adakah keraguan tentang (adanya) Allah?!”. (QS. Ibrahim: 11)
Ayat di atas berupa pertanyaan yang mengandung arti bahwa tidak ada keraguan tentang adanya Allah[3]. Dalam ayat lain Allah berfirman:
هُوَ الأوَّلُ (الحديد:4)
“(Hanyalah) Dia (Allah) al-Awwal (yang tidak ada permulaan bagi-Nya)”. (QS. Al-Hadid: 4)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin al-Hushain bahwa suatu ketika Rasulullah didatangi oleh segolongan orang dari Yaman. Mereka berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah kami datang kepadamu untuk mendalami ajaran Islam dan untuk bertanya tentang permulaan alam ini, apakah ia?”. Rasulullah menjawab:
كَانَ اللهُ وَلَـمْ يَكُنْ شَيءٌ غَيْرُهُ (رَوَاهُ البُـخَارِي وَالبَيْهـَقِي وَابْنُ الجَـارُوْد)
“Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada apapun selain-Nya. Dan Arsy-Nya (Arsy diciptakan oleh Allah) berada di atas air”. (HR. al-Bukhari[4], al-Baihaqi[5], dan Ibn al-Jarud[6]).
Hadits ini memberi penjelasan kepada kita bahwa sebagian penduduk Yaman tersebut datang kepada Rasulullah untuk bertanya kepadanya tentang awal pemulaan alam ini. Tetapi Rasulullah terlebih dalulu menjawabnya dengan sesuatu yang lebih penting dari apa yang mereka tanyakan. Rasulullah menjelaskan kepada mereka bahwa Allah ada pada azal. Artinya bahwa Allah ada tanpa permulaan. Pada azal tidak ada sesuatu apapun bersama Allah, tidak ada waktu, tidak ada tempat, tidak ada arah, serta tidak ada benda apapun. Setelah itu kemudian Rasulullah menjelaskan kepada mereka bahwa air dan Arsy adalah makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah sebelum makhluk-makhluk lainnya. Dan air terlebih dahulu diciptakan dari pada Arsy[7].
Ma’rifaturrasul adalah mengetahui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menyampaikan ajaran-ajarannya dari Allah. Bahwa beliau adalah seorang yang jujur dalam segala apa yang ia sampaikannya dari Allah, baik dalam perkara yang berupa perintah, larangan, berita tentang umat-umat terdahulu, atau hal-hal yang akan terjadi di hari kemudian, baik di dunia, alam barzakh, maupun akhirat kelak.
Seorang yang telah mengetahi dan meyakini sepenuhnya dua hal di atas tanpa ada keraguan sedikitpun maka ia telah beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Dan orang ini dikatakan pula sebagai orang yang telah mengetahui Allah dan telah mengetahui Rasul-Nya (‘Arif Billah Wa Bi Rasulih). Baik apakah ia mengetahui dalil akal (argumen rasional) atas dua hal tersebut ataupun tidak.
Iman kepada Allah dan rasul-Nya adalah kewajiban yang paling utama dan yang paling mulia. Perkara ini adalah Ahsan al-Hasanat (Sebaik-baiknya kebaikan) dan Afdhal al-A’mal (Amal yang paling utama), sebagaimana dinyatakan Rasulullah dalam haditsnya:
أفْضَلُ الأعْمَالِ إيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُولِهِ (رَوَاهُ البُخَاري)
“Sebaik-baiknya perbuatan adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. al-Bukhari[8])
Iman adalah syarat diterimanya amal kebaikan. Seorang yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya, maka ia tidak akan memperoleh pahala sedikitpun di akhirat kelak dari segala kebaikan yang telah ia perbuat di dunia. Allah berfirman:
مَثلُ الّذِيْنَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيْحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ (ابراهيم: 18)
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhan mereka (Allah), -maka- amal pebuatan mereka bagaikan abu ditiup oleh angin yang keras pada suatu hari yang berangin kencang”.(QS. Ibrahim: 18)
Ayat ini menujukan bahwa orang kafir tidak akan mendapat sedikipun di akhirat dari perbuatan baik yang pernah ia lakukan di dunia. Walaupun seandainya ia sering menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, berderma kepada yang membutuhkan, aktif di bidang sosial, dan lain sebagainya. Perbuatan baik orang kafir tersebut laksana abu yang ditiup angin keras pada hari yang berangin kencang. Angin tersebut tidak akan menyisakan abu sedikitpun. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bahwa orang kafir akan mendapatkan balasan dari perbuatan baiknya di akhirat kelak adalah bertentangan dengan kandungan ayat di atas[9].
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُلئِكَ يَدْخُلُوْنَ الجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا (النساء :124)
“Barang siapa mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia seorang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga, dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun”.(QS. An-Nisa: 124)
Oleh karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perkara yang sangat penting, maka seluruh Nabi dan Rasul, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad menjadikan hal tersebut sebagai misi utama mereka dalam berdakwah. Hal ini terangkum dalam syahadat umat Nabi-Nabi terdahulu. Syahadat pertama berisi pengakuan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah, dan syahadat ke dua adalah pengakuan terhadap terhadap Rasul yang di utus pada masa itu[10].
Demikian pula yang dilakukan oleh Rasulullah, beliau datang dengan membawa misi tauhid, dan seruan bahwa beliau adalah utusan Allah. Misi ini pula ketika sebagian sahabat Rasulullah yang hendak diutus untuk berdakwah ke beberapa daerah sebagai misi pokok mereka. Seperti pesan Rasulullah kepada sahabat Muadz ibn Jabal ketika hendak diutus ke wilayah Yaman, Rasulullah bersabda:
إنَّكَ سَتَقْدُمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أهْلِ الكِتَابِ فَلْيَكُنْ أوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إلَيْهِ تَوْحِيْدُهُ تَعَالَى فإذَا عَرَفُوا ذلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ بِأنَّ اللهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى اليَومِ وَاللَّيلَةِ (رَوَاهُ البُخَاري)
“Sesungguhnya engkau (wahai Mu’adz) akan datang (berdakwah) kepada Ahl al-Kitab (Orang-orang Yahudi dan Nashrani), maka hendaklah hal pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah mentauhidkan Allah. Apa bila mereka sudah mengetahui hal tersebut, beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima kali shalat dalam sehari semalam”. (HR. al-Bukhari[11])
Dalam hadits ini Rasulullah menyebutkan secara eksplisit tentang Ahl al-Kitab; yaitu Yahudi dan Nasrani, bahwa mereka adalah kaum yang tidak mengetahui Allah sebagaimana mestinya. Mereka tidak meyakini tentang Allah seperti keyakinan yang diajarkan oleh agama Islam, yang merupakan agama semua Nabi dan Rasul. Mereka tidak beriman kepada Allah sebagaimana tuntunan para Nabi; Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, Nabi Muhamad dan semua Nabi lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang Yahudi meyakini adanya Allah, akan tetapi mereka mensifati-Nya dengan sifat-sifat makhluk, mereka meyakini bahwa Allah adalah Jism (benda yang mempunyai bentuk dan ukuran) yang duduk di atas Arsy. Sementara orang-orang Nasrani meyakini adanya tiga tuhan, dengan interpretasi mereka bahwa sifat-sifat Allah menjelma pada dua hamba-Nya (‘Isa dan Maryam)[12].
Hadits Rasulullah di atas secara jelas memberi kesaksian bagi kita bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak mengetahui Allah sebagaimana yang diwajibkan. Mereka tidak mentauhidkan Allah, yang karenanya mereka bukan sebagai orang-orang muslim mukmin. Mereka bukan orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi Musa dan Nabi ‘Isa dengan benar. Karena itu, Nabi Muhammad datang mengajak mereka untuk masuk ke dalam agama Islam.
Dengan demikian bila ada orang atau golongan yang memiliki keyakinan seperti keyakinan Yahudi dan Nasrani, berkeyakinan tasybih dan tajsim; artinya meyakini bahwa Allah serupa dengan makhluk-makhluk-Nya; seperti berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang bertempat atau bersemayam di atas Arsy, maka hukumnya sama seperti mereka. Orang ini bukan seorang muslim dan bukan seorang mukmin yang benar-benar mengikuti ajaran Rasulullah, sekalipun ia mengaku beragama Islam. Dalam konteks ini al-Imam al-Junaid al-Baghdadi; pemuka kaum Sufi, berkata:
التَّوْحِيْدُ هُوَ إفرَادُ القَدِيْمِ مِنَ المُحْدَثِ (رَوَاهُ القُشَيْري فِي الرِّسَالَة)
“Tauhid adalah mengesakan dan mensucikan Dzat yang Maha Qadim (Allah) dari yang baharu (makhluk)”. (Diriwayatkan oleh al-Qusyairi dalam al-Risalah al-Qusyairiyah[13]).
Enam perkara yang disebut dalam hadits di awal bab ini di kalangan orang-orang Islam dikenal dengan Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang merupakan bagian dari dasar-dasar keyakinan dalam Islam. Orang-orang yang dengan konsisten memegang teguh enam dasar tersebut dikenal dengan sebutan Ahlissunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka; yaitu mayoritas umat Muhammad, baik dari para ulama terkemuka maupun golongan awam dari kalangan yang bermadzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali, yang notabene mereka adalah kaum Asy’ariyyah dan Maturidiyyah[14].
Adapun mereka yang mengingkari salah satu dari dasar keimanan yang enam tersebut, atau menyalahi tuntutan-tuntutan pemahamannya sesuai yang telah diajarkanoleh Rasulullah, maka mereka adalah golongan yang menyempal dari mayoritas umat. Mereka adalah golongan-golongan kecil yang dikenal dengan nama Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij dan lain-lain. Dari segi nama mereka memang banyak, tapi sebenarnya jumlah mereka secara keseluruhan sangat sedikit bila di banding dengan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Adapun bahwa dasar-dasar keimanan yang enam di atas tidak disebutkan secara bersamaan dalam satu rangkaian ayat al-Qur’an, bukan berarti bahwa sebagian boleh diimani dan sebagiannya boleh tidak diimani. Karena hadits tentang enam dasar keimanan di atas adalah hadits Masyhur, di samping setiap dasar dari enam perkara tersebut didukung oleh banyak nash al-Qur’an dan hadits yang tak terhitung jumlahnya. Walaupun itu semua dalam penyebutannya secara terpisah.
Dalam hal ini para ulama menyatakan bahwa enam perkara tersebut sebagai Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar keyakinan) dalam agama Islam yang bersifat Qath’i (pasti) dan merupakan perkara Ma’lum Min ad-Din Bi ad-Dharurah (perkara yang wajib diketahui semua orang Islam mukallaf tanpa terkecuali) yang sama sekali tidak boleh diingkari. Hukum orang yang mengingkari salah satunya saja sama dengan hukum yang mendustakan agama secara keseluruhan, yang mengakibatkan orang tersebut keluar dari Islam (Murtad)[15].
Ushul al-Iman al-Sittah tersebut secara ringkas sebagai berikut:
- Iman kepada Allah. Yaitu meyakini bahwa Allah Maha Ada, dan tidak ada permulaan bagi keberadaan-Nya. Allah pemilik al-Matsal al-A’la; artinya pemiliki Sifat-Sifat yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya. Seperti dijelaskan al-Qur’an dalam surat QS. al-Ikhlas.
- Iman kepada para Malaikat Allah. Artinya wajib beriman dengan adanya para Malaikat tersebut. Mareka adalah hamba-hamba Allah yang mulia, bukan laki-laki dan bukan perempuan. Mereka tidak makan, tidak minum, tidak tidur dan tidak nikah. Mereka tidak bermaksiat kepada Allah, dan mereka selalu menjalankan apa yang Allah perintahkan.
- Iman kepada kitab-kitab Allah. Yaitu meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab terhadap beberapa orang Nabi-Nya. Diantara kitab-kitab tersebut, empat yang sangat terkenal, yaitu Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an.
- Iman kepada Rasul-Rasul Allah. Artinya wajib beriman dengan adanya utusan-utusan Allah. Mereka itu adalah para Nabi Allah, baik yang sekaligus menyandang predikat Rasul atau yang hanya Nabi saja. Nabi ialah seorang yang diberi wahyu oleh Allah, dan datang dengan mengikuti syari’at Rasul sebelumnya. Sedangkan Rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah, dan datang dengan membawa syari’at yang baru. Keduanya, baik Nabi maupun Rasul diperintah untuk tabligh, artinya diperintah untuk menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka. Nabi dan Rasul pertama adalah Adam dan yang terakhir adalah Muhammad.
- Iman kepada hari akhir. Yaitu meyakini bahwa Allah akan mengembalikan hamba-hamba-Nya yang sudah mati ke suatu kehidupan yang kekal, yang tidak ada kematian setelahnya. Hari kehidupan kembali ini adalah hari pembalasan atas segala perbuatan masing-masing manusia di dunia.
- Iman kepada Qadar atau ketentuan Allah. Yaitu meyakini bahwa segala apa yang terjadi, baik atau buruk, adalah dengan taqdir Allah yang azali. Perbuatan baik dari seorang hamba terjadi dengan Taqdir Allah, dengan kecintaan-Nya (Mahabbah), dan dengan keridlaan-Nya. Sementara perbuatan buruk dari seorang hamba terjadi dengan taqdir Allah, tetapi tidak dengan kecintaan-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya[16]. Allah berfirman:
إنَّا كُلَّ شَيءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (القمر:49)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran (yang telah Kami tentukan)”.(QS. al-Qamar: 49)
Dalam buku ini akan kita bahas secara rinci setiap bagian dari dasar-dasar keimanan yang enam tersebut. Termasuk akan kita bahas beberapa penyimpangan akidah dari beberapa firqah sempalan dan bantahan-bantahannya terhadap mereka. Semoga ikut memberikan manfaat dan pencerahan bagi umat Islam. Amin.
Kholil Abu Fateh
Al-Asy’ari al-Syafi’i al-Rifa’i al-Qadiri
aboufaateh@yahoo.com
[1] Shahih al-Bukhari, dari hadits Abu Hurairah, no. 4777
[2] Shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah, no. 10.
[3] Dalam berbagai kitab tafsir mu’tabar, lihat al-Qurthubi, j. 9, h. 303, al-Baghawi, j. 4, h. 339, dan lainnya.
[4] Shahih al-Bukhari, dari hadits Imran ibn al-Hushain, no. 3191
[5] Al-Baihaqi, al-Asma’ Wa ash-Shifat, dari hadits Imran ibn al-Hushain, h. 478
[6] Ibn al-Jarud, al-Muntaqa, h.
[7] Penjelasan konprehensif lihat al-Habasyi, ash-Shirath al-Mustaqim, h. 44
[8] Shahih al-Bukhari, dari hadits Abu Hurairah, no. 1519
[9] Al-Qurthubi, j. 9, h. 309, ath-Thabari, j. 16, h. 553, dan lainnya.
[10] al-Habasyi, ash-Shirath al-Mustaqim, h. 24
[11] Shahih al-Bukhari, dari hadits Abdullah ibn Abbas, no. 7372
[12] Lihat tafsir al-Fakhr ar-Razi, at-Tafsir al-Kabir, tafsir QS. Qaf: 38, h. 159, ath-Thabari, j. 22, h. 376, dan lainnya.
[13] Ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 300
[14] Lihat asy-Syirazi, Thabaqat asy-Syafi’iyyah, j. 3, h. 376, al-Jalal ad-Dawani, Syarh al-Aqa-id al-Adludiyyah, j. 1, h. 34, dan lainnya.
[15] Lebih komprehensif lihat al-Habasyi, Qawa-id Muhimmah, h. 7
[16] Lebih rinci baca bab Iman dengan Qadla dan Qadar dari buku ini.