• Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qu’ran Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah | Shadaqah Jariyah Donasi Pembebasan Lahan Untuk Pondok Pesantren Nurul Hikmah Terima kasih. Baaraka Allahu fiik!
Minggu, 28 Mei 2023

AQIDAH IMAM EMPAT MADZHAB

Bagikan
JUDUL : AQIDAH IMAM EMPAT MADZHAB
PENULIS : Kholilurrohman
PENERBIT : Nurul Hikmah Press
HAL : 160
JUMLAH : 10

1. Imam Abû Hanîfah al-Nu’mân ibn Tsâbit, salah seorang ulama salaf perintis madzhab Hanafi, dalam risalahnya yang berjudul al-Fiqh al-Akbar, berkata: “Dan Allâh akan dilihat di akhirat. Dia akan dilihat oleh orang-orang mukmin, ketika mereka di surga, dengan mata kepala mereka masing-masing. Dilihat dengan tanpa ada keserupaan, bukan merupakan benda, dan tidak ada jarak anatara Allâh dengan mereka (artinya Allâh tanpa arah dan tanpa tempat)”[1].

Dalam risalah karya beliau yang lain; al-Washiyyah, Imam Abû Hanîfah berkata: “Dan pertemuan penduduk surga dengan Allâh adalah haq (kebenaran yang wajib diimani), terjadi tanpa disifati dengan sifat-sifat benda, tanpa adanya keserupaan dan tanpa arah”[2].

Dalam risalah ini, beliau juga berkata:

“Dan kita menetapkan bahwa Allâh, -sebagaimana dalam firman-Nya-, ‘Alâ al-‘Arsy Istawâ, dari tanpa Dia membutuhkan kepada ‘arsy dan tidak bertempat di atasnya. Dia Allâh yang memelihara ‘arsy dan lainnya dengan tanpa membutuhkan sedikitpun kepadanya. Karena bila Allâh membutuhkan maka Ia tidak akan sanggup menciptakan alam ini dan mengaturnya, Dia akan seperti seluruh makhluk-Nya. Jika Allâh membuthkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan ‘arsy di manakah Dia?! Maha suci Allâh dari –keyakinan- semacam ini dengan kesucian yang agung”[3].

Pernyataan Imam Abû Hanîfah ini adalah penjelasan yang sangat kuat dalam menetapkan bahwa Allâh ada tanpa tempat, sekaligus sebagai bantahan terhadap akidah kaum Musyabbihah; seperti kaum Wahhabiyah di masa sekarang, yang menetapkan bahwa Allâh bersemayam di atas ‘arsy. Imam Abû Hanîfah adalah salah seorang pemuka ulama Salaf yang telah belajar langsung kepada para ulama dari kalangan tabi’in. Sementara para ulama kalangan tabi’in adalah orang-orang yang telah belajar langsung kapada para sahabat Rasûlullâh. Dengan demikian tidak ada celah untuk meragukan kapabilitas Imam Abû Hanîfah dalam hal ini. Orang yang meragukkan kapabilitas Abû Hanîfah maka ia harus meragukan cara beragamanya sendiri, karena mata rantai keilmuan dalam ajaran Islam di antaranya lewat Imam Abû Hanîfah ini.

 

2. Imam al-Syâfi’i Muhammad ibn Idrîs, seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syâfi’i, berkata: “Sesungguhnya Allâh ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh atas-Nya berubah pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya”[4].

Setelah Imam al-Syâfi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, menetapkan dengan pernyataannya ini bahwa Allâh ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi pendapat Imam mujtahid seperti Imam al-Syâfi’i ini. Bahkan seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.

 

3. Keyakinan Allâh ada tanpa tempat dan tanpa arah juga dipegang teguh oleh Syaikh al-Muhadditsîn Imam al-Bukhâri, penulis kitab al-Jâmi’ al-Shahîh; kitab yang telah dinilai para ulama sebagai kitab yang paling shahih setelah al-Qur’ân.

Syekh ‘Ali ibn Khalaf al-Mâliki yang dikenal dengan Ibn Baththâl (w 449 H), salah seorang pembuat syarah kitab al-Bukhâri, berkata:

“Tujuan al-Bukhâri dalam membuat bab ini adalah untuk membantah faham kaum Jahmiyyah Mujassimah yang berpegang teguh dengan zhahir teks-teks tersebut (ayat mutasyâbihât). Padahal telah ditetapkan (baik dengan dalil Naqli maupun ‘Aqli) bahwa Allâh bukan benda, karenanya Dia tidak membutuhkan kepada tempat. Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, demikian pula setelah Dia menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Adapun penisbatan “al-Ma’ârij” (tempat-tempat naik kepada-Nya) bukan dalam pengertian Allâh bertempat, tapi dalam pengertian tempat-tempat yang dimuliakan (Idlâfah al-Tasyrîf). Dan makna “naik kepada-Nya” artinya kepada kemuliaan dan keagungannya. Adapun Allâh Dia Maha Suci dari tempat”[5].

 

4. al-Hâfizh al-Mujtahid Imam Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Thabari ( w 310 H) berkata:

“Dengan demikian maka jelas bahwa Allâh Yang Maha Qadîm adalah Pencipta segala sesuatu. Hanya Dia Allâh yang ada sebelum segala sesuatu ada. Dan Dia Allâh tetap ada setelah segala seuatu ada. Dia Allâh al-Awwal; ada sebelum segala sesuatu ada dan ada tanpa permulaan. Dia Allâh al-Âkhir; ada tanpa penghabisan. Dia Allâh ada sebelum segala sesuatu ada, Dia ada tanpa waktu, tanpa zaman, tanpa malam, tanpa siang, tanpa gelap, tanpa cahaya, tanpa langit, tanpa bumi, tanpa matahari, tanpa bulan dan tanpa bitang-bintang. Segala sesuatu selain Allâh adalah baharu, di atur oleh Allâh dan merupakaan ciptaan-Nya. Hanya dia Allâh Pencipta seluruh makhluk-Nya tersebut, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada penolong dan tidak ada penentang. Dia Allâh Maha Suci, Maha Kuasa dan Maha menundukkan”[6].

 

5.  al-Hâfizh al-Faqîh Imam Abû Ja’far al-Thahâwi dalam risalah akidah Ahlussunnah Wal jama’ah yang dikenal dengan Risâlah al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah, berkata:

“Dia Allâh Maha Suci dari batasan-batasan (artinya Allâh bukan benda), penghabisan-penghabisan, sisi-sisi, anggota badan besar (seperti kepala, tangan, kaki dan lainnya) dan anggota badan kecil (seperti anak jari, lidah dan lainnya). Dia Allâh tidak diliputi oleh arah yang enam (atas, bawah, depan, belakang, kanan dan kiri), tidak seperti setiap makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah tersebut”[7].

Abû Ja’far al-Thahâwi adalah salah seorang ulama salaf terkemuka. Lahir tahun 227 H dan wafat tahun 321 H. Risâlah al-‘Aqîdah al-Thahâwiyyah yang beliau tulis sangat terkenal di dunia Islam. Hampir setiap pelajar muslim dipastikan mengenal risalah ini. dalam permulaan risalah tertulis: “Hâdzâ Dzikr Bayân ‘Aqîdah Ahl al-Sunnah Wa al-Jamâ’ah… (Ini adalah penyebutan penjelasan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah)”. Artinya apa yang dimuat dalam risalah ini merupakan akidah para ulama salaf dari kalangan Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ al-Tâbi’în.

Risalah ini walau disusun hanya dalam beberapa lembar saja, namun cukup komprehensif dalam menjelaskan akidah Ahlussunnah secara menyeluruh. Risalah ini telah di-syarah oleh kurang lebih sepuluh ulama terkemuka yang juga beraliran Ahlusunnah, kecuali kitab syarah yang telah ditulis oleh Ibn Abî al-‘Izz. Kitab syarah al-Aqîdah al-Thahâwiyyah hasil karya Ibn Abî al-‘Izz ini penuh dengan akidah-akidah tasybîh yang telah ia adopsi dari faham-faham Ibn Taimiyah. Bahkan tidak hanya akidah tasybîh, faham-faham kontroversi Ibn Taimiyah lainnya juga ikut dikutip dan disepakati oleh Ibn Abî al-‘Izz. Di antaranya pendapat Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa neraka akan punah dan seluruh penduduk yang ada di dalamnya akan keluar dari tempat tersebut, tanpa terkecuali[8]. Termasuk yang juga dikutip dan disepakati Ibn Abî al-‘Izz dari Ibn Taimiyah adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa seluruh makhluk Allâh tidak memiliki permulaan dilihat dari jenisnya[9].

 

6. Imam Abû al-Hasan al-Asy’ari, Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, berkata: “Allâh ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Dia menciptakan ‘arsy dan kursi, dan Dia tidak membutuhkan kepada tempat. Setelah Dia menciptakan tempat, Dia tetap seperti sediakala sebelum menciptakan tempat; ada tanpa tempat”[10].

Beliau juga berkata:

“Adapun dasar penafian gerak (al-harakah) dan diam (al-sukûn) –dari Allâh– dan penjelasan dalam masalah ini memiliki dasar dalam al-Qur’ân yang hal tersebut merupakan salah satu masalah pokok tauhid. Demikian juga dengan penafian berkumpul (al-ijtimâ’) dan terpisah (al-iftirâq). Allâh berfirman dalam al-Qur’ân tentang Nabi Ibrâhîm: (Maka ketika ia -bulan- hilang, dia (Nabi Ibrâhîm) berkata: Sesungguhnya saya tidak menyenangi sesuatu yang menghilang). QS. al-An’am: 76. Ayat ini dalam mengisahkan tentang menghilangnya baintang-bintang, matahari dan bulan dan bergeraknya benda-benda tersebut dari satu tempat ke tampat yang lain. Ini menunjukan bahwa Allâh tidak boleh memiliki sifat semacam itu. Dan apapun yang menghilang atau bergerak dari atu tempat ke tempat yang lain maka ia tidak pantas dituhankan”[11].

 

7. Imam Abû Manshûr al-Mâturîdi, Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam Kitâb al-Tauhîd berkata: “Allâh ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Dia tetap seperti sediakala tanpa tempat. Dia Maha Suci dari berubah dan mustahil berpindah”[12].

Dalam menetapkan keyakinan bahwa Allâh di akhirat kelak akan dilihat oleh orang-orang mukmin, dalam kitab yang sama Imam Abû Manshûr al-Mâturîdi berkata:

“Jika dikatakan: Bagaimana Dia Allâh dilihat? Jawab: Dengan tanpa dikatakan “bagaimana”!. Sebab “bagaimana” hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk. Dia Allâh dilihat dengan tanpa disifati dengan berdiri, duduk, terlentang, terkait, menempel, terpisah, berhadap-hadapan, membelakangi, pendek, panjang, sinar, gelap, diam, bergerak, menyentuh, menjauh, luar, dalam, karena Allâh tidak dapat dipikirkan oleh akal. Dia Maha Suci dari itu semua”.[13]

 

8. Imam al-hâfizh Muhammad ibn Hibbân (w 354 H), penulis kitab hadits yang sangat terkenal; al-Ihsân Bi Tartîb Shahîh Ibn Hibbân, dalam pembukaan kitabnya; al-Tsiqât, menuliskan sebagai berikut: “Segala puji bagi Allâh yang tidak memiliki bentuk hingga Ia tidak memiliki batasan. Dia tidak terikat oleh ajal hingga Ia tidak punah. Dia tidak diliputi oleh suatu tempat atau semua tempat. Dia tidak dicakup oleh perputaran zaman…”[14].

Pada halaman lain dalam kitab yang sama beliau berkata: “Allâh ada tanpa permulaan. Dia ada sebelum ada zaman dan tempat…”[15].

Demikian pula dalam memahami Hadits al-Nuzûl tidak diambil dalam pengertian sifat-sifat benda, Ibn Hibbân berkata: “Demikian pula dengan makna “Yanzil” -pada hak Allâh- bukan dengan alat (anggota badan atau lainnya), bukan dalam pengertian bergerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lainnya”[16].

Hadits al-Nuzûl adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Muslim dan lainnya. Dalam lafazh al-Bukhâri sebagai berikut[17]; dari sahabat Abû Hurairah bahwa Rasûlullâh bersabda:

ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبفى ثلث الليل الآخر يقول: من يدعوني فأستجيب له ومن يسألني فأعطيه ومن يستغفرني فأغفر له (رواه البخاري)

Hadits ini tidak boleh dipahami secara zhahirnya dengan menetapkan adanya sifat turun bagi Allâh dari arah atas ke arah bawah.

Dalam menjelaskan hadits ini, al-hâfizh Imam Abû Zakariya Muhy al-Dîn Yahyâ ibn Syaraf al-Nawawi ( w 676 H) dalam Syarh Shahîh Muslim berkomentar sebagai berikut:

“Hadits ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allâh. Dalam memahaminya terdapat dua metode yang sangat mashur dari para ulama.

Pertama, madzhab mayoritas ulama salaf dan sebagian ahli teolog (al-Mutakallimîn) menyatakan bahwa hal ini merupakan kebenaran yang wajib diimani sesuai bagi keagungan Allâh. Makna yang dimaksud dalam hadits tersebut bukan sesuatu yang berlaku pada hak makhluk. Juga hadits tersebut tidak dibicarakan makna takwilnya (artinya tidak mengkhususkan makna teretntu) dengan mengimani bahwa Allâh Maha Suci dari sifat-sifat makhluk. Dia Maham Suci dari berpindah -dari satu tempat ke tempat lain-, Suci dari gerakan, dan Suci dari segala sifat-sifat makhluk-Nya.

Kedua, madzhab mayoritas ahli teolog dan beberapa orang dari para ulama salaf, seperti yang diriwayatkan dari Imam Malik dan Imam al-Auza’i dalam mentakwil hadits-hadits semacam itu sesuai tempatnya. Dalam pada ini para ulama menyatakan ada dua takwil terkait dengan hadits di atas. Pertama; Takwil Malik ibn Anas dan lainnya bahwa yang dimaksud adalah turunnya rahmat Allâh dan para malaikat dengan perintah-Nya. Kalimat semacam ini biasa digunakan -dalama bahasa Arab-, seperti bila dikatakan “Fa’ala al-Shulthân Kadzâ…”, maka yang dimaksud adalah pekerjaan yang dilakukan oleh para bawahan raja atau para pengikutnya, bukan raja sendiri yang melakukan pekerjaan tersebut. Kedua; makna hadits tersebut dalam pengertian metafor (Isti’ârah) yang maknanya bahwa Allâh mengabulkan segala permintaan orang-orang yang berdoa”[18].

Pernyataan Imam al-Nawawi di atas sangat jelas dan memberian pelajaran yang sangat berharga dalam metode memahami ayat-ayat maupun hadits-hadits tentang sifat Allâh. Pernyataan beliau juga sekaligus merupakan bahtahan atas keyakinan kaum Musyabbihah; yang berkeyakinan Allâh bersemayam di atas ‘arsy atau bertempat di langit.

Pada bagian lain dalam kitab yang sama, Imam al-Nawawi berkata: “Sesungguhnya Allâh tidak menyerupai suatu apapun. Dia Maha Suci dari pada bentuk, berpindah, memiliki arah serta Maha Suci dari segala sifat-sifat makhluk”[19].

Termasuk yang dapat membatalkan keyakinan kaum Musyabbihah tentang Hadits al-Nuzûl ini adalah bahwa sebagian para perawi hadits riwayat al-Bukhâri di atas memberikan harakat pada lafazh “Yanzil” dengan men-dlammah-kan huruf Yâ’ dan men-kasrah-kan huruf Zây, maka lafazhnya menjadi “Yunzil”. Dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah turunnya para malaikat dengan perintah Allâh, yang kemudian para malaikat tersebut menyeru dari Allâh: “Siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku kabulkan ia…”[20].

al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya dalam tafsir QS. Ali ‘Imrân: 17, setelah menyebutkan beberapa pendapat tentang Hadits al-Nuzûl, berkata:

“Pendapat yang paling bagus tentang hal ini adalah penafsiran yang datang dalam kitab al-Nasâ’i, dari riwayat sahabat Abû Hurairah dan sahabat Abû Sa’îd al-Khudzri berkata: Bersabda Rasûlullâh:

إن الله عز وجل يمهل حتى يمضي شطر الليل الأول ثم يأمر مناديا فيقول: هل من داع يستجاب له، هل من مستغفر يغفر له، هل من سائل يعطى

Sesungguhnya Allâh mendiamkan malam hingga berlalu separuh malam pertama. Kemudian -setelah itu- Allâh memerintah malaikat penyeru, maka malaikat tersebut berkata: Adakah orang yang meminta maka ia akan dikAbûlkan, adakah orang yang meminta ampunan maka ia akan diampuni, adakah orang yang meminta maka ia akan diberi. Dishahihkan oleh Abû Muhammad ‘Abd al-Haq. Hadits riwayat ini menghilangkan segala permasalahan dan menjelaskan segala perbedaan. Adapaun riwayat yang pertama adalah dalam makna dihilangkan mudlâf-nya, yang artinya; “turun malaikat Tuhan kita”. Telah diriwayatkan pada pula lafazh “Yanzil” dengan di-dlammah-kan huruf  ya-nya. Riwayat ini juga memperjelas apa yang telah kami sebutkan”[21].

al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalâni dalam Syarh Shahîh al-Bukhâri berkata: “Sebagian orang yang menetapkan adanya tempat -bagi Allâh- mengambil dalil dari hadits ini; yaitu arah atas. Namun pendapat ini ditentang oleh mayoritas ulama, karena pendapat semacam itu berarti menetapkan adanya arah bagi Allâh, dan Allâh Maha Suci dari hal itu. Terdapat perbedaan pendapat ulama dalam mengartikan makna al-Nuzûl dalam hadits tersebut”[22]. Kemudian Ibn Hajar berkata:

“Dan Abû Bakr ibn Fûrak telah meriwayatkan bahwa sebagian para ulama membuat harakat (lafazh Yanzil) dengan di-dlammah-kan huruf -nya, dan membuang maf’ûl-nya; yaitu para malaikat. Pendapat ini dikuatkan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan al-Nasâ’i dari sahabat Abû Hurairah dan Abû Sa’îd dengan lafazh: [Innallâh Yumhilu Hattâ Yamdlî…]. Juga dikuatkan dengan hadits ‘Utsmân Ibn Abî al-‘Ash dengan lafazh: [Yunâdî Munâdin; Hal min Dâ’in…]. al-Qurthubi berkata: Dengan demikian hilanglah segala permasalahan -tentang Hadits al-Nuzûl ini-”[23].

Dalam tinjauan Imam Badr al-Dîn ibn Jamâ’ah terdapat beberapa alasan mengapa Hadits al-Nuzûl ini tidak boleh dipahami sesuai makna zhahirnya. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama: Bahwa turun merupakan salah satu sifat benda dan sifat segala yang baharu. Sifat semacam ini membutuhkan kepada tiga hal; benda yang pindah itu sendiri (al-Muntaqil), tempat benda tersebut berasal (al-Muntaqal ‘Anhu) dan tempat kemana benda tersebut akan pindah dan (al-Muntaqal Ilaih). Ini semua tentu mustahil atas Allâh.

Kedua: Jika al-nuzûl dalam hadits tersebut bermakna Dzat Allâh benar-benar turun, maka berarti pekerjaan Allâh tidak lain hanya terus-menerus memperbaharui gerakan antara turun dan naik antara satu tempat ke tempat yang lain, hingga Ia mendatangi seluruh sepertiga malam terakhir di setiap bagian dari bumi ini. Karena sepertiga malam akhir di setiap bagian bumi ini berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Dengan demikian berarti Allâh selalu berpindah-pindah di langit dunia ini (langit paling rendah) antara siang dan malam dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Dan pada saat yang sama setiap saat Dia pulang pergi ke ‘arsy. Pendapat semacam ini sedikitpun tidak akan pernah diungkapkan oleh orang yang memiliki akal sehat.

Ketiga: Mereka yang berkeyakinan bahwa Allâh bertempat di atas ‘arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin kemudian langit dunia dapat mencukupi-Nya?!. Padahal luas langit di banding luasnya ‘arsy tidak ubahnya laksana sebutir kerikil di banding padang pasir yang luas. Dengan demikian, sesuai pendapat mereka, hal ini tidak lepas dari salah satu dari dua perkara; Pertama, bahwa langit setiap saat selalu berubah menjadi sangat besar hingga dapat menampung Allâh. Atau kedua; Dzat Allâh berubah menjadi sangat kecil hingga langit mencukupinya. Dan kedua hal ini tentunya tidak akan pernah kita imani[24].

  1. al-Faqîh al-Mutakllim Imam Abû al-Muzhaffar al-Isfirâyini (w 471 H) dalam kitabnya; al-Tabshîr Fi al-Dîn, berkata: “Bab ke lima belas; Penejelasan tentang akidah Ahlussunnah; Adalah berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang memiliki bentuk, penghabisan, tempat, arah, diam dan gerak, maka itu semua mustahil atas Allâh. Sebab segala hal yang menunjukan kebaharuan mustahil atas Allâh”[25].
  2. Imam Abû Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli, sosok yang tidak asing lagi dalam dunia Islam, dalam kitab penomenalnya; Ihyâ’ Ulûm al-Dîn berkata: “Allâh Maha Suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia Maha Suci dari dibatasi oleh waktu. Tatapi Dia Allâh sebelum menciptakan tempat dan waktu ada tanpa tempat dan tanpa waktu. Dan Dia sekarang –setelah menciptakan tempat dan waktu– ada seperti sediakala tanpa tempat dan tanpa waktu”[26].

Tentang bahasan masalah bahwa Allâh ada tanpa tempat bahkan al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ ini mengupasnya dengan sangat detail. Beliau mengatakan bahwa setiap arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allâh dengan terciptanya benda-benda. Seperti manusia, dengan diciptakan tubuh manusia oleh Allâh maka tercipta pula arah-arah yang meliputinya. Allâh menciptakan manusia dalam dua bagian; bagian yang menghadap ke arah bumi yaitu kakinya dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan pembagian ini maka terjadilah arah; bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap di atas langit-langit rumah, walaupun kita melihat tubuhnya terbalik, namun baginya arah atas adalah bagian yang ke arah kepalanya dan arah bawah adalah bagian yang ke arah kakinya.

Kemudian Allâh menciptakan dua tangan yang pada umumnya salah satu dari keduanya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan, sementara bagian lainnya yang berlawanan dengannya disebut tangan kiri. Dengan demikian terjadi pula penamaan arah, bagi yang berada di sebelah tangan kanan disebut arah kanan, dan bagi yang di sebelah tangan kiri disebut arah kiri.

Demikian pula Allâh menciptakan manusia dalam dua sisi. Pada satu sisinya Allâh menciptakan manusia dengan dapat melihat dan ia bergerak ke arah penglihatannya tersebut. Sementara bagian sisi yang lainnya ia tidak dapat melihatnya dan tidak bergerak menuju arahnya. Dari sini kemudian dikenal panamaan arah; bagi arah yang dilihatnya dan ia bergerak ke arah tersebut dinamakan dengan arah depan. Sementara arah lawannya yang tidak ia lihat dan tidak bergerak ke arahnya disebut dengan arah belakang. Karena itu semua arah yang enam tersebut adalah baharu, ia menjadi ada dengan diciptakannya manusia oleh Allâh.

Jika telah jelas bagi kita bahwa seluruh arah tersebut adalah sesuatu yang baharu dan hanya berlaku bagi benda-benda, maka bagaimana mungkin ia dinisbatkan kepada Allâh?! Adalah suatu yang mustahil pula jika dikatakan sebelum Allâh menciptakan makhluk-makhluk-Nya Dia memiliki tempat atau memiliki arah. Sebab bila demikian berarti Allâh memiliki bagian-bagian. Jika makhluk-makhluk Allâh berada di atas-Nya berarti Allâh memiliki bagian kepala yang merupakan bagian atas-Nya. Atau jika makhluk-makhluk tersebut berada di bawah-Nya berarti Allâh memiliki bagian kaki yang merupakan bagian bawah-Nya. Demikian pula dengan arah-arah lainnya, ia menjadi disebut sebagai arah karena ia terkait dengan benda yang diliputinya[27].

 

9. al-Muhaddits Imam Abû Hafsh ‘Umar ibn Muhammad al-Nasafi (w 537 H) dalam risalah akidah Ahlussunnahnya yang dikenal dengan Risâlah al-‘Aqîdah al-Nasafiyyah, berkata:

“Pencipta alam; yaitu Allâh, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak memiliki permulaan, Maha Hidup, Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Berkehendak. Dia bukan sifat benda (al-‘ardl), bukan benda (al-jism), bukan atom; bagian-bagian dari benda (al-jauhar), tidak dapat digambarkan, tidak memiliki ukuran, tidak dihitung, tidak terbagi-bagi, tidak memiliki arah, tidak tersusun, tidak habis, tidak boleh dinisbatkan kepada-Nya hal-hal kebendaan (al-mâhiyah) dan tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda (al-kaifiyyah), Dia ada tanpa tempat, tidak berlaku atasnya waktu, tidak menyerupai apapun dan tidak ada suatu apapun yang keluar dari pengetahuan dan kekuasaan-Nya”[28].

Juga berkata tentang masalah melihat Dzat Allâh bagi penduduk surga: “Telah banyak dalil-dalil sam’iy (dari al-Qur’ân dan hadits) tentang keharusan melihatnya orang-orang mukmin terhadap Dzat Allâh di akhirat kelak. Maka Dia akan dilihat tanpa berada pada suatu tempat, bukan berada pada arah depan, dilihat bukan karena terkena sinar juga tanpa adanya jarak antara Allâh dan antara orang-orang yang melihat-Nya”[29].

 

10. al-Hâfizh al-Mufassir Imam ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Ali al-Hanbali yang dikenal dengan Ibn al-Jauzi (w 597 H) dalam kitab Daf’u Syubah al-Tasybîh berkata: “Yang wajib atas kita adalah meyakini bahwa Dzat Allâh tidak diliputi oleh tempat dan tidak disifati dengan perubahan dan perpindahan”[30].

al-Hâfizh Ibn al-Jauzi adalah ulama terkemuka di kalangan madzhab Hanbali. Kitab yang beliau tulis; Daf’u Syubah al-Tasybîh Bi Akaff al-Tanzîh, adalah kitab yang sangat berharga dalam membersihkan madzhab Hanbali dari tuduhan-tuduhan tasybîh. Kitab ini walau sangat ringkas namun sangat konprehensif dalam mengungkap takwil ayat-ayat dan hadits-hadits mutasyâbihât, sekaligus sebagai pembelaan Ibn al-Jauzi terhadap madzhab Hanbali. Karenya Ibn al-Jauzi termasuk salah seorang ulama yang berjasa besar terhadap madzhab Hanbali. Seperti diketahui bahwa sejarah madzhab ini cukup banyak melewati perjalan yang sangat pahit, karena paling banyak mendapatkan tudingan sebagai madzhab yang berfaham tasybîh. Imam Ahmad ibn Hanbal sendiri, sebagai perintis madzhab ini adalah seorang ulama mujtahid yang sangat kuat memegang teguh akidah tanzih. Namun dengan berlalunya waktu, beberapa orang yang berakidah tasbih satu persatu masuk ke dalam madzhab ini dan mencoreng kesucian akidahnya. Tudingan akidah tasybîh terhadap madzhab ini terus menerus, bahkan hingga masa sekarang ini. Terlebih pada masa sekarang madzhab ini dipeluk kaum Wahhabiyah yang notabene Ahl al-Tasybîh. Maka kerusakan madzhab ini karena sebagian orang yang mengaku madzhab Hanbali semakin menjadi-jadi, kecuali mereka yang diselamatkan oleh Allâh dengan taufik dan hidayah-Nya.

Dalam kitab karya beliau lainnya yang berjudul Shaid al-Khâthir, Ibn al-Jauzi berkata:

“Engkau melihat beberapa kaum ketika mereka mendengar teks-teks tentang sifat Allâh mereka memahaminya secara indrawi. Seperti pernyataan mereka bahwa Allâh turun dan berpindah dengan Dzat-Nya ke langit dunia. Ini adalah pemahaman yang buruk. Karena yang dinamakan berpindah mesti berasal dari satu tempat ke tempat yang lain. Ini juga menuntut keharusan tampat tersebut lebih besar dari yang menempati, kemudian keharusan adanya gerakan. Semua ini adalah sesuatu yang mustahil pada hak Allâh”[31].

 

11. al-Mufassir Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî (w 606 H) dalam kitab tafsirnya; al-Tafsîr al-Kabîr, dalam menafsirkan firman Allâh:

وهو العلي العظيم (الشورى: 4)

Berkata:

“Tidak boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-‘Aliyy” dalam ayat tersebut maknanya Allâh Maha tinggi dalam pengertian arah dan tempat. Karena telah banyak dalil yang menjelaskan kerusakan makna yang sedemikian itu. Juga tidak boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-‘Azhîm” dalam ayat tersebut meknanya Allâh Maha Besar dalam pengertian tubuh dan bentuk. Karena hal seperti itu menuntut dari dari adanya susunan-susunan dan bagian-bagian. Dan hal ini jelas menyalahi firman Allâh: (Katakan Dia Allâh tidak ada sekutu bagi-Nya). QS. al-Ikhlash: 1. Dengan demikian wajib memaknai “al-‘Aliyy” bahwa Dia Allâh Maha tinggi dalam pengertian Suci dari menyerupai segala makhluk yang baharu. Dan makna “al-‘Azhîm” bahwa Dia Allâh Maha Agung dalam pengertian kekuasaan, sifat menundukan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”[32].

 

[1] Abû Hanîfah, al-Fiqh al-Akbar, lihat ‘Ali Mullâ al-Qâri, Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 136-137

[2] Abû Hanîfah, al-Washiyyah, h. 4. Lihat pula kutipan ‘Ali Mullâ al-Qâri dalam Syarh Fiqh al-Akbar, h. 138

[3] Lihat al-Habasyi dalam al-Dalîl al-Qawîm mengutip dari al-Washiyyah karya Abû Hanîfah yang ditahqiq oleh Muhammad Zâhid al-Kautsari, h. 54. Lihat pula ‘Ali Mullâ al-Qâri, al-Fiqh al-Akbar, h. 70, dalam penjelasan “Yad adalah sifat Allâh, bukan merupakan anggota tubuh”. h. 70

[4] al-Zabîdi, Ithâf al-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24

[5] Lihat al-‘Asqalâni, Fath al-Bâri, j. 13, h. 416. Pernyataan ini dikutip oleh Ibn Hajar al-‘Asqalâni dan dikuatkannya, artinya sekaligus ini juga merupakan persetujuan dan ketetapan dari Ibn Hajar sendiri.

[6] al-Thabari, Tarikh al-Thabari, j. 1, h. 26

[7] Lihat al-Habasyi, al-Durrah al-Bahiyyah…, h. 117.

[8] Lihat Ibn Abî al-‘Izz dalam kitab Syarah-nya dalam penjelasan pernyataan al-Thahâwi: “Wa al-Jannah Wa al-Nâr Makhluqatân Lâ Tafnayân Wa Lâ Tabîdân… (Surga dan neraka keduanya adalah makhluk Allâh yang tidak akan punah dan tdak akan hancur). h. 427. Yang mengherankan dari penjelasan Ibn Abî al-‘Izz, dengan sekuat tenaga dan pikirannya ia hendak menetapkan bahwa neraka akan punah, padahal teks yang yang ia bahas dari Imam al-Thahâwi telah menyebutkan dengan sangat tegas bahwa keduanya tidak akan punah dan tidak akan hancur.

[9] Ibid. h. 132. Lihat dalam penjelasan teks Imam al-Thahâwi: “Laisa Ba’da Khalq al-Khalqi Istafâda Ism al-Khâliq…(Dia Allâh tidak mengambil nama al-Khâliq setelah Dia menciptakan para makhluk-Nya). Sekali lagi, dalam pernyataan Imam al-Thahâwi sebenarnya sudah sangat jelas bahwa Allâh dengan seluruh sifat-sifat-Nya adalah azali; tidak memiliki permulaan. Dan bahwa segala sesuatu selain-Nya adalah ciptaan-Nya; ada dengan permulaan, ada dari tidak ada menjadi ada. Namun, Ibn Abî al-‘Izz, dengan “memelintir” teks yang sudah sangat jelas ini menetapkan bahwa jenis alam ini adalah Qadîm; tidak memiliki permulaan. Dan untuk menetapkan ini ia benyak mengutip pernyataan Ibn Taimiyah.

[10] Dikutip oleh Ibn ‘Asâkir, Tabyîn Kadzib al-Muftarî…, h. 150

[11] al-Asy’ari, Risâlah Istihsân al-Khaudl Fi ‘Ilm al-Kalâm, h. 40

[12] al-Maturidi, Kitâb al-Tauhîd, h. 69

[13] Ibid, h. 85

[14] Ibn Hibbân, al-Tsiqât, j. 1, h. 1

[15] Ibn Hibbân, al-Ihsân Bi Tartîb Shahîh Ibn Hibbân, j. 8, h. 4

[16] Ibid, j. 2, h. 136

[17] Lihat al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri; Bab al-Du’â Wa al-Shalât Min Âkhir al-Lail. Lihat pula Muslim, Shahîh Muslim; Kitab Shalât al-Musâfirîn Wa Qashrihâ; Bâb al-Targhîb Fi al-Du’â Wa al-Dzikr Fi Âkhir al-Lail Wa al-Ijâbah Fîh.

[18] al-Nawawi, al-Minhâj…, j. 6, h. 36

[19] Ibid, j. 3, h. 19

[20] Lihat al-Habasyi, Sharîh al-Bayân…, j. 1, h. 93

[21] al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi…, j. 4, h. 39

[22] al-‘Asqalâni, Fath al-Bâri…, j. 3, h. 30

[23] Ibid.

[24] Lebih luas lihat Ibn Jamâ’ah, Idlâh al-Dalîl…, h. 164

[25] al-Isfirayini, al-Tabshîr Fî al-Dîn…, h. 161

[26] al-Ghazâli, Ihyâ’…, j. 1, h. 108

[27] Ibid, j. 1, h. 128

[28] Lihat al-Habasyi, al-Mathâlib al-Wafiyyah…, h. 164-165

[29] Ibid, h. 165

[30] Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah al-Tasybîh…, h. 58

[31] Ibn al-Jauzi, Shaid al-Khâthir…, h. 376

[32] al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr…, j. 27, h. 144

SesudahnyaPENJELASAN HADDITS JIBRIL; MEMAHAMI PONDASI IMAN YANG ENAM
Status LokasiWakaf
Tahun Berdiri2019