Bagian 10 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat
Pernyataan Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah Tentang Kekufuran Orang Yang Menetapkan Tempat Bagi Allah
Berikut ini adalah adalah pernyataan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam menetapkan kekufuran orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada tempat dan arah. Seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di arah atas, atau bertempat/berada di langit, atau berada/ bertempat/ bersemayam di atas Arsy. Termasuk mereka yang mengatakan bahwa Allah berada di semua tempat, atau mengatakan ada di mana-mana.
Berikut ini adalah perkataan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam karya mereka masing-masing dalam kekufuran orang yang menetapkan tempat bagi Allah. Dan apa yang kita sebutkan di sini hanya sebagian kecil saja; dari sekian banyak penyataan mereka.
﴾ 1 ﴿
(Pernyataan Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Absath)
Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi (w 150 H), al-Imam agung perintis madzhab Hanafi, dalam salah satu karyanya berjudul al-Fiqh al-Absath menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada di langit telah menjadi kafir, beliau menuliskan sebagai berikut:
مَنْ قالَ لا أعْرفُ رَبّي أفِي السّمَاءِ أوْ فِي الأرْضِ فقَدْ كفَر، وكذَا مَنْ قالَ إنّهُ علَى العَرْشِ وَلا أدْرِي العَرْشَ أفِي السّمَاءِ أوْ فِي الأرْض
[Maknanya]: “Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah ia berada di langit atau berada di bumi?!”, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula telah menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas Arsy, dan saya tidak tahu apakah Arsy berada di langit atau berada di bumi?!”[1].
﴾ 2 ﴿
(Pernyataan al-‘Izz ibn Abdis-Salam dalam Hall ar-Rumuz)
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas lalu dijelaskan oleh al-Imam Syekh al-‘Izz ibn Abdissalam (w 660 H) dalam karyanya berjudul Hall ar-Rumuz sekaligus disepakatinya bahwa orang yang berkata demikian itu telah menjadi kafir, adalah karena orang tersebut telah menetapkan tempat bagi Allah. Al-Imam al-Izz ibn Abdis-Salam menuliskan:
لأن هذا القول يوهم أن للحق مكانًا، ومن توهم أن للحق مكانًا فهو مُشَبِّه. اهـ
[Maknanya]: “Hal itu menjadikan dia kafir karena perkataan demikian memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka dia adalah seorang Musyabbih (Seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)”[2].
Pemahaman pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Izz ibn Abdissalam telah dikutip pula oleh Syekh Mulla Ali al-Qari’ (w 1014 H) dalam karyanya Syarh al-Fiqh al-Akbar sekaligus disetujuinya. Tentang hal ini beliau menuliskan sebagai berikut:
ولا شك أن ابن عبد السلام من أجلّ العلماء وأوثقهم، فيجب الاعتماد على نقله. اهـ
[Maknanya]: “Tidak diragukan lagi kebenaran apa yang telah dinyatakan oleh al-Izz Ibn Abdis-Salam (dalam memahami maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah), beliau adalah ulama terkemuka dan sangat terpercaya. Dengan demikian wajib berpegang teguh dengan apa yang telah beliau nyatakan ini”[3].
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah di atas seringkali disalahpahami oleh kaum Wahhabiyyah untuk menyokong keyakinan sesat mereka bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Mereka mengatakan bahwa al-Imam Abu Hanifah telah sangat jelas menetapkan bahwa Allah bertempat di atas Arsy. Rujukan mereka dalam pemahaman yang tidak benar ini adalah Ibnul Qayyim al-Jawziyyah; murid Ibn Taimiyah.
Ibnul Qayyim mencari ulama Salaf yang dapat menyokong akidah tasybih-nya sendiri dan akidah tasybih gurunya; Ibn Taimiyah. Tapi ia tidak mendapatkan siapapun dari ulama Salaf yang sepaham dengannya, kecuali orang yang telah disepakati oleh para ulama Salaf sendiri sebagai orang-orang yang sesat. Lalu Ibnul Qayyim mendapatkan perkataan al-Imam Abu Hanifah di atas, maka ia “pelintir” pemahamannya agar sejalan dengan akidah tasybih-nya. Lihat catatan lengkap tentang ini dalam kitab Ghawts al-‘Ibad Bi Bayan ar-Rasyad karya al-‘Allamah Syekh Abu Sayf al-Hamami.
﴾ 3 ﴿
(Pernyataan Abu Ja’far ath-Thahawi dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah)
Al-Imam al-Hafizh al-Faqih Abu Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam risalah akidahnya; al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, yang sangat terkenal sebagai risalah akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, menuliskan sebagai berikut:
ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر. اهـ
[Maknanya]: “Barangsiapa mensifati Allah dengan satu sifat saja dari sifat-sifat manusia maka orang ini telah menjadi kafir”[4].
Al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi adalah salah seorang Ulama Salaf terkemuka. Dengan tegas beliau mengkafirkan orang yang mensifati Allah dengan sifat-sifat manusia atau benda. Seperti gerak, diam, turun, naik, bertempat, duduk, bersemayam, memiliki arah, memiliki bentuk dan ukuran, serta lainnya. Dengan demikian bila ada orang di zaman kita sekarang mengaku diri “salafi”, tetapi ia menetapkan sifat-sifat benda bagi Allah maka sesungguhnya ia bukan salafi, tetapi perusak akidah Salaf.
﴾ 4 ﴿
(Pernyataan Abu al-Qasim al-Qusyairi Dalam ar-Risalah)
Salah seorang sufi terkemuka, al-‘Arif Billah al-Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H) dalam karya fenomenalnya berjudul ar-Risalah al-Qusyairiyyah menuliskan sebagai berikut:
سمعتُ الإمام أبا بكر ابن فورك رحمه الله تعالى يقول: سمعتُ أبا عثمان المغربي يقول: كنتُ أعتقدُ شيئًا من حديث الجهة، فلما قدِمتُ بغداد زال ذلك عن قلبي فكتبتُ إلى أصحابنا بمكة: إني أسلمتُ الآن إسلامًا جديدًا. اهـ
[Maknanya]: “Aku telah mendengar al-Imam Abu Bakr ibn Furak berkata: Aku telah mendengar Abu Utsman al-Maghribi berkata: Dahulu aku pernah berkeyakinan sedikit tentang adanya arah bagi Allah, namun ketika aku masuk ke kota Baghdad keyakinan itu telah hilang dari hatiku. Lalu aku menulis surat kepada teman-temanku yang berada di Mekah, aku katakan kepada mereka bahwa aku sekarang telah memperbaharui Islamku”[5].
﴾ 5 ﴿
(Pernyataan an-Nasafi Dalam kitab Tabshirah al-Adillah)
Teolog terkemuka di kalangan Ahlussunnah al-Imam Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-Nasafi al-Hanafi (w 508 H) dalam kitab Tabshirah al-Adillah menuliskan sebagai berikut:
والله تعالى نفى المماثلة بين ذاته وبين غيره من الأشياء، فيكون القول بإثبات المكان له ردًّا لهذا النص المحكم، أي قوله تعالى: (ليس كمثله شىء) الشورى: 11، الذي لا احتمال فيه لوَجْهٍ ما سوى ظاهره، ورادُّ النص كافر، عصمنا الله عن ذلك. اهـ
[Maknanya]: “Allah telah menafikan keserupaan antara Dia sendiri dengan segala apapun dari makhluk-Nya. Dengan demikian pendapat yang menetapkan adanya tempat bagi Allah adalah pendapat yang telah menentang ayat muhkam; yaitu firman-Nya: “Laysa Kamitslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Ayat ini sangat jelas pemaknaannya dan tidak dimungkinkan memiliki pemahaman lain (takwil). Dan barangsiapa menentang ayat-ayat al-Qur’an maka ia telah menjadi kafir. Semoga Allah memelihara kita dari kekufuran”[6].
﴾ 6 ﴿
(Pernyataan Ibnu Nujaim Dalam al-Bahr ar-Ra-iq)
Syekh al-‘Allamah Zainuddin Ibnu Nujaim al-Hanafi (w 970 H) dalam karyanya berjudul al-Bahr ar-Ra-iq Syarh Kanz ad-Daqa-iq berkata:
ويكفر بإثبات المكان لله تعالى، فإن قال: الله في السماء، فإن قصد حكاية ما جاء في ظاهر الأخبار لا يكفر، وإن أراد المكان كفر. اهـ
[Maknanya]: “Seseorang menjadi kafir karena berkeyakinan adanya tempat bagi Allah. Adapun jika ia berkata “Allah Fi as-Sama’” untuk tujuan meriwayatkan apa yang secara zahir terdapat dalam beberapa hadits maka ia tidak kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan tempat bagi Allah maka ia telah menjadi kafir”[7].
Perhatikan catatan dengan garis bawah di atas. Jelas, bahwa orang yang menetapkan tempat bagi Allah ia dihukumi kafir.
﴾ 7 ﴿
(Pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Minhaj al-Qawim)
Syekh al-‘Allamah Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad al-Mishri asy-Syafi’i al-Asy’ari (w 974 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya berjudul al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah menuliskan sebagai berikut:
واعلم أن القَرَافي وغيره حكوا عن الشافعي ومالك وأحمد وأبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة والتجسيم، وهم حقيقون بذلك. اهـ
[Maknanya]: “Ketahuilah bahwa al-Qarafi dan lainnya telah meriwayatkan dari al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Malik, al-Imam Ahmad dan al-Imam Abu Hanifah bahwa mereka semua sepakat mengatakan bahwa seorang yang menetapkan arah bagi Allah dan mengatakan bahwa Allah adalah benda maka orang tersebut telah menjadi kafir. Mereka semua (para Imam madzhab) tersebut telah benar-benar menyatakan demikian”[8].
Perhatikan dengan seksama catatan Ibn Hajar di atas. Beliau mengutip perkataan al-Qarafi yang telah meriwayatkan dari para Imam Mujtahid yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal; bahwa mereka semua sepakat dalam menetapkan kekufuran orang yang menetapkan tempat bagi Allah.
﴾ 8 ﴿
(Pernyataan Ali Mulla al-Qari Syarh al-Fiqh al-Akbar)
Dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar yang telah disebutkan di atas, Syekh Ali Mulla al-Qari menuliskan sebagai berikut:
فمن أظلم ممن كذب على الله أو ادعى ادعاءً معينًا مشتملاً على إثبات المكان والهيئة والجهة من مقابلة وثبوت مسافة وأمثال تلك الحالة، فيصير كافرًا لا محالة. اهـ
[Maknanya]: “Maka barangsiapa yang berbuat zalim dengan melakukan kedustaan kepada Allah dan mengaku dengan pengakuan-pengakuan yang berisikan penetapan tempat bagi-Nya, atau menetapkan bentuk, atau menetapkan arah; seperti arah depan [atau lainnya], atau menetapkan jarak, atau semisal ini semua, maka orang tersebut secara pasti telah menjadi kafir”[9].
Masih dalam kitab yang sama, Syekh Ali Mulla al-Qari juga menuliskan sebagai berikut:
من اعتقد أن الله لا يعلم الأشياء قبل وقوعها فهو كافر وإن عُدّ قائله من أهل البدعة، وكذا من قال: بأنه سبحانه جسم وله مكان ويمرّ عليه زمان ونحو ذلك كافر، حيث لم تثبت له حقيقة الإيمان. اهـ
[Maknanya]: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui segala sesuatu sebelum kejadiannya maka orang ini benar-benar telah menjadi kafir, sekalipun orang yang berkata semacam ini dianggap ahli bid’ah saja. Demikian pula orang yang berkata bahwa Allah adalah benda yang memiliki tempat, atau bahwa Allah terikat oleh waktu, atau semacam itu, maka orang ini telah menjadi kafir, karena tidak benar keyakinan iman -yang ada pada dirinya-”[10].
Dalam kitab karya beliau lainnya berjudul Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, Syaikh Ali Mulla al-Qari’ menuliskan sebagai berikut:
بل قال جمع منهم ـ أي من السلف ـ ومن الخلف إن معتقد الجهة كافر كما صرح به العراقي، وقال: إنه قول لأبي حنيفة ومالك والشافعي والأشعري والباقلاني. اهـ
[Maknanya]: “Bahkan mereka semua (ulama Salaf) dan ulama Khalaf telah menyatakan bahwa orang yang menetapkan adanya arah bagi Allah maka orang ini telah menjadi kafir, sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh al-Iraqi. Beliau (al-Iraqi) berkata: Klaim kafir terhadap orang yang telah menetapkan arah bagi Allah tersebut adalah pernyataan al-Imam Abu Hanifah, al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Baqillani”[11].
﴾ 9 ﴿
(Pernyataan al-Bayyadli dalam Isyarat al-Maram)
Syekh al-‘Allamah Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam karyanya berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam, sebuah kitab akidah dalam menjelaskan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:
فقال ـ أي أبو حنيفة ـ (فمن قال: لا أعرف ربي أفي السماء أم في الأرض فهو كافر) لكونه قائلاً باختصاص البارىء بجهة وحيّز وكل ما هو مختص بالجهة والحيز فإنه محتاج محدَث بالضرورة، فهو قول بالنقص الصريح في حقه تعالى (كذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض) لاستلزامه القول باختصاصه تعالى بالجهة والحيز والنقص الصريح في شأنه سيما في القول بالكون في الأرض ونفي العلوّ عنه تعالى بل نفي ذات الإله المنزه عن التحيز ومشابهة الأشياء. وفيه اشارات: الأولى: أن القائل بالجسمية والجهة مُنكِر وجود موجود سوى الأشياء التي يمكن الإشارة إليها حسًّا، فمنهم منكرون لذات الإله المنزه عن ذلك، فلزمهم الكفر لا محالة. وإليه أشار بالحكم بالكفر. الثانية: إكفار من أطلق التشبيه والتحيز، وإليه أشار بالحكم المذكور لمن أطلقه، واختاره الإمام الأشعري، فقال في النوادر: من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه وإنه كافر به، كما في شرح الإرشاد لأبي قاسم الأنصاري
[Maknanya]: “Beliau (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Barangsiapa berkata: Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi maka orang ini telah menjadi kafir”. Hal ini karena orang yang berkata demikian telah menetapkan tempat dan arah bagi Allah. Dan setiap sesuatu yang memiliki tempat dan arah maka secara pasti ia adalah sesuatu yang baharu (yang membutuhkan kepada yang menjadikannya pada tempat dan arah tersebut). Pernyataan semacam itu jelas merupakan cacian bagi Allah.
Beliau (al-Imam Abu Hanifah) berkata: “Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allah berada di atas Arsy, namun saya tidak tahu Arsy, apakah berada di langit atau berada di bumi”. Hal ini karena orang tersebut telah menetapkan adanya tempat bagi Allah, menetapkan arah, juga menetapkan sesuatu yang nyata sebagai kekurangan bagi Allah, terlebih orang yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas, atau menfikan keagungan-Nya, atau menafikan Dzat Allah yang suci dari arah dan tempat, atau mengatakan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya. Dalam hal ini terdapat beberapa poin penting:
Pertama: Orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah bentuk yang memiliki arah maka orang ini sama saja dengan mengingkari segala sesuatu yang ada kecuali segala sesuatu tersebut dapat diisyarat (dengan arah) secara indrawi. Dengan demikian orang ini sama saja dengan mengingkari Dzat Allah yang maha suci dari menyerupai makhluk-Nya. Oleh karena itu orang semacam ini secara pasti adalah seorang yang telah kafir. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imam Abu Hanifah dalam perkataannya di atas.
Kedua: Pengkafiran terhadap orang yang menetapkan adanya keserupaan dan tempat bagi Allah. Inilah yang diisyaratkan oleh al-Imam Abu Hanifah dalam perkataannya di atas, dan ini berlaku umum. (Artimya yang menetapkan keserupaan dan tempat apapun bagi Allah maka ia telah menjadi kafir). Dan ini pula yang telah dipilih oleh al-Imam al-Asy’ari, sebagaimana dalam kitab an-Nawazdir beliau (al-Imam al-Asy’ari) berkata: “Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah benda maka orang ini tidak mengenal Tuhannya dan ia telah kafir kepada-Nya”. Sebagaimana hal ini juga dijelaskan dalam kitab Syarh al-Irsyad karya Abu al-Qasim al-Anshari”[12].
﴾ 10 ﴿
(Pernyataan Abdul Ghani an-Nabulsi dalam al–Fath ar-Rabbany)
Syekh al-‘Allamah Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam karyanya berjudul al–Fath ar-Rabbany Wa al-Faydl ar-Rahmany menuliskan sebagai berikut:
وأما أقسام الكفر فهي بحسب الشرع ثلاثة أقسام ترجع جميع أنواع الكفر إليها، وهي: التشبيه، والتعطيل، والتكذيب، وأما التشبيه: فهو الاعتقاد بأن الله تعالى يشبه شيئًا من خلقه، كالذين يعتقدون أن الله تعالى جسمٌ فوق العرش، أو يعتقدون أن له يدَين بمعنى الجارحتين، وأن له الصورة الفلانية أو على الكيفية الفلانية، أو أنه نور يتصوره العقل، أو أنه في السماء، أو في جهة من الجهات الست، أو أنه في مكان من الأماكن، أو في جميع الأماكن، أو أنه ملأ السموات والأرض، أو أنَّ له الحلول في شىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أنه متحد بشىء من الأشياء، أو في جميع الأشياء، أو أن الأشياء منحلَّةٌ منه، أو شيئًا منها. وجميع ذلك كفر صريح والعياذ بالله تعالى، وسببه الجهل بمعرفة الأمر على ما هو عليه
[Maknanya]: “Kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian. Segala macam bentuk kekufuran kembali kepada tiga macam kufur ini, yaitu at-Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Ta’thil (menafikan Allah atau sifat-sifat-Nya), dan at-Takdzib (mendustakan). Adapun at-Tasybih adalah keyakinan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, atau yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam pengertian anggota badan, atau bahwa Allah berbentuk seperti si fulan atau memiliki sifat seperti sifat-sifat si fulan, atau bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan dalam akal, atau bahwa Allah berada di langit, atau barada pada semua arah yang enam atau pada suatu tempat atau arah tertentu dari arah-arah tersebut, atau bahwa Allah berada pada semua tempat, atau bahwa Dia memenuhi langit dan bumi, atau bahwa Allah berada di dalam suatu benda atau dalam seluruh benda, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatau dengan suatu benda atau semua benda, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Allah, semua keyakinan semacam ini adalah keyakinan kufur. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at atasnya”[13].
﴾ 11 ﴿
(Pernyataan Muhammad ibn Illaisy Minah al-Jalil)
Syekh al-‘Allamah Muhammad ibn Illaisy al-Maliki (w 1299 H) dalam menjelaskan perkara-perkara yang dapat menjatuhkan seseorang di dalam kekufuran dalam kitab Minah al-Jalil Syarh Mukhtashar al-Khalil menuliskan sebagai berikut:
وكاعتقاد جسمية الله وتحيّزه، فإنه يستلزم حدوثه واحتياجه لمحدِث. اهـ
[Maknanya]: “Contohnya [artinya termasuk perkara yang menjatuhkan dalam kekufuran] seperti orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda [artinya; memiliki bentuk dan ukuran] atau berkayakinan bahwa Allah berada pada arah. Karena pernyataan semacam ini sama saja dengan menetapkan kebaharuan bagi Allah, dan [sama dengan] menetapkan-Nya membutuhkan kepada yang menjadikan-Nya dalam kebaharuan tersebut”[14].
Ini artinya bahwa orang yang berkeyakinan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk, ukuran, anggota-anggota badan, tempat dan arah; maka ia telah keluar dari Islam.
﴾ 12 ﴿
(Pernyataan al-Qawuqji Dalam Risalah al-I’timad Fi al-I’tiqad)
Al-‘Allamah al-Muhaddits al-Faqih Syekh Abul Mahasin Muhammad al-Qawuqji ath-Tharabulsi al-Hanafi (w 1305 H) dalam risalah akidah berjudul al-I’timad Fi al-I’tiqad menuliskan sebagai berikut:
ومن قال لا أعرِفُ الله في السماء هو أم في الأرض كفَر ـ لأنه جعل أحدُهما له مكانًاـ
[Maknanya]: “Barangsiapa berkata: “Saya tidak tahu apakah Allah berada di langit atau berada di bumi”; maka orang ini telah menjadi kafir. (Ini karena ia telah menetapkan tempat bagi Allah pada salah satu dari keduanya)”[15].
﴾ 13 ﴿
(Pernyataan Dalam al-Fatawa al-Hindiyyah)
Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, sebuah kitab yang memuat berbagai fatwa dari para ulama Ahlussunnah terkemuka di daratan India, tertulis sebagai berikut:
يكفر بإثبات المكان لله تعالى، ولو قال: الله تعالى في السماء فإن قصد به حكاية ما جاء فيه ظاهر الأخبار لا يكفر وإن أراد به المكان يكفر. اهـ
[Maknanya]: “Seseorang menjadi kafir karena menetapkan tempat bagi Allah. Jika ia berkata Allah Fi as-Sama’ untuk tujuan meriwayatkan lafazh zahir dari beberapa hadits yang datang maka ia tidak menjadi kafir. Namun bila ia berkata demikian untuk tujuan menetapkan bahwa Allah berada di langit maka orang ini menjadi kafir”[16].
﴾ 14 ﴿
(Pernyataan Khaththab as-Subki Dalam Ithaf al-Ka-inat)
Syekh Mahmud ibn Muhammad ibn Ahmad Khaththab as-Subki al-Mishri (w 1352 H) dalam kitab karyanya berjudul Ithaf al-Ka-inat Bi Bayan Madzhab as-Salaf Wa al-Khalaf Fi al-Mutasyabihat, menuliskan sebagai berikut:
سألني بعض الراغبين في معرفة عقائد الدين والوقوف على مذهب السلف والخلف في المتشابه من الآيات والأحاديث بما نصه: ما قول السادة العلماء حفظهم الله تعالى فيمن يعتقد أن الله عز وجل له جهة وأنه جالس على العرش في مكان مخصوص ويقول ذلك هو عقيدة السلف ويحمل الناس على أن يعتقدوا هذا الاعتقاد، ويقول لهم: من لم يعتقد ذلك يكون كافرًا مستدلاً بقوله تعالى: (الرحمن على العرش استوى)، وقوله عز وجل: (ءأمنتم من في السمآء) سورة الملك: 16، أهذا الاعتقاد صحيح أم باطل؟ وعلى كونه باطلاً أيكفر ذلك القائل باعتقاده المذكور ويبطل كل عمله من صلاة وصيام وغير ذلك من الأعمال الدينية وتبين منه زوجه، وإن مات على هذه الحالة قبل أن يتوب لا يغسل ولا يصلى عليه ولا يدفن في مقابر المسلمين، وهل من صدّقه في ذلك الاعتقاد يكون كافرًا مثله؟ فأجبت بعون الله تعالى، فقلت: بسم الله الرحهمن الرحيم الحمد لله الهادي إلى الصواب، والصلاة والسلام على من أوتي الحكمة وفصل الخطاب، وعلى ءاله وأصحابه الذين هداهم الله ورزقهم التوفيق والسداد. أما بعد: فالحكم أن هذا الاعتقاد باطل ومعتقِدُه كافر بإجماع من يعتد به من علماء المسلمين، والدليل العقلي على ذلك قِدَم الله تعالى ومخالفته للحوادث، والنقلي قوله تعالى: (ليس كمثله شىء وهو السميع البصير) سورة الشورى: 11، فكل من اعتقد أنه تعالى حلّ في مكان أو اتصل به أو بشىء من الحوادث كالعرش أو الكرسي أو السماء أو الأرض أو غير ذلك فهو كافر قطعًا، ويبطل جميع عمله من صلاة وصيام وحج وغير ذلك، وتبين منه زوجه، ووجب عليه أن يتوب فورًا، وإذا مات على هذا الاعتقاد والعياذ بالله تعالى لا يغسل ولا يصلى عليه ولا يدفن في مقابر المسلمين، ومثله في ذلك كله من صدَّقه في اعتقاده أعاذنا الله تعالى من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا. وأما حمله الناس على أن يعتقدوا هذا الاعتقاد المكفر، وقوله لهم: من لم يعتقد ذلك يكون كافرًا، فهو كفر وبهتان عظيم. اهـ
[Maknanya]: “Telah berkata kepadaku sebagian orang yang menginginkan penjelasan tentang dasar-dasar akidah agama dan ingin berpijak di atas pijakan para ulama Salaf dan ulama Khalaf dalam memahami teks-teks Mutasyabihat, mereka berkata: Bagaimana pendapat para ulama terkemuka tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada pada arah, atau bahwa Dia duduk satu tempat tertentu di atas Arsy, lalu ia berkata: Ini adalah akidah Salaf, kita harus berpegang teguh dengan keyakinan ini. Ia juga berkata: Barangsiapa tidak berkeyakinan Allah di atas Arsy maka ia telah menjadi kafir. Ia mengambil dalil untuk itu dengan firman Allah: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” (QS. Thaha: 5) dan firman-Nya: “A-amintum Man Fi as-Sama’ (QS. al-Mulk: 16). Orang yang berkeyakinan semacam ini benar atau batil? Dan jika keyakinannya tersebut batil, apakah seluruh amalannya juga batil, seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya dari segala amalan-amalan keagamaannya? Apakah pula menjadi tertalak pasangannya (suami atau istrinya)? Apakah jika ia mati dalam keyakinannya ini dan tidak bertaubat dari padanya, ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin? Kemudian seorang yang membenarkan keyakinan orang semacam itu, apakah ia juga telah menjadi kafir?
Jawaban yang aku tuliskan adalah sebagai berikut: Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Keyakinan semacam ini adalah keyakinan batil, dan hukum orang yang berkeyakinan demikian adalah kafir, sebagaimana hal ini telah menjadi Ijma’ (konsensus) ulama terkemuka. Dalil akal di atas itu adalah bahwa Allah maha Qadim; tidak memiliki permulaan, ada sebelum segala makhluk, dan bahwa Allah tidak menyerupai segala makhluk yang baharu tersebut (Mukhalafah Li al-Hawadits). Dan dalil tekstual di atas itu adalah firman Allah: “Laysa Kamitaslihi Syai’” (QS. asy-Syura: 11). Dengan demikian orang yang berkayakinan bahwa Allah berada pada suatu tempat, atau menempel dengannya, atau menempel dengan sesuatu dari makhluk-Nya seperti Arsy, al-Kursy, langit, bumi dan lainnya maka orang semacam ini secara pasti telah menjadi kafir. Dan seluruh amalannya menjadi sia-sia, baik dari shalat, puasa, haji dan lainnya. Demikian pula pasangannya (suami atau istrinya) menjadi tertalak. Ia wajib segera bertaubat dengan masuk Islam kembali (dan melepaskan keyakinannnya tersebut). Jika ia mati dalam keyakinannya ini maka ia tidak boleh dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dimakamkan dipemakaman orang-orang Islam. Demikian pula menjadi kafir dalam hal ini orang yang membenarkan keyakinan batil tersebut, semoga Allah memelihara kita dari pada itu semua. Adapun pernyataannya bahwa setiap orang wajib berkeyakinan semacam ini, dan bahwa siapapun yang tidak berkeyakinan demikian adalah sebagai seorang kafir maka itu adalah kedustaan belaka, dan sesungguhnya justru penyataannya yang merupakan kekufuran”[17].
﴾ 15 ﴿
(Pernyataan Zahid al-Kawtsari Dalam Maqalat al-Kawtsari)
Al-Muhaddits al-‘Allamah Syekh Muhammad Zahid al-Kawtsari (w 1371 H), Wakil perkumpulan para ulama Islam pada masa Khilafah Utsmaniyyah Turki dalam Kitab Maqalat al-Kawtsari, menuliskan:
إن القول بإثبات الجهة له تعالى كفر عند الأئمة الأربعة هداة الأمة كما نَقل عنهم العراقي على ما في شرح المشكاة لعلي القاري. اهـ
[Maknanya]: “Perkataan yang menetapkan bahwa Allah berada pada tempat dan arah adalah kakufuran. Ini sebagaimana dinyatakan oleh para Imam madzhab yang empat, seperti yang telah disebutkan oleh al-Iraqi -dari para Imam madzhab tersebut- dalam kitab Syarh al-Misykat yang telah ditulis oleh Syekh Ali Mulla al-Qari”[18].
Demikian pula, di atas telah kita kutip ketetapan demikian dari para Imam Mujtahid yang empat yang telah dikutip oleh Ibn Hajar al-Haitami dari al-Imam al-Qarafi.
﴾ 16 ﴿
(Pernyataan Abdullah al-Harari Dalam ash-Shirath al-Mustaqim)
Al-Muhaddits al-Faqih al-Imam al-‘Allamah Syekh Abdullah al-Harari yang dikenal dengan sebutan al-Habasyi dalam banyak karyanya menuliskan bahwa orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat dan arah maka ia telah menjadi kafir, di antaranya beliau sebutkan dalam karyanya berjudul ash-Shirath al-Mustaqim sebagai berikut:
وحكم من يقول:”إنّ الله تعالى في كل مكان أو في جميع الأماكن” التكفير إذا كان يفهم من هذه العبارة أنَّ الله بذاته منبثٌّ أو حالٌّ في الأماكن، أما إذا كان يفهم من هذه العبارة أنه تعالى مسيطر على كل شىءٍ وعالمٌ بكل شىء فلا يكفر. وهذا قصدُ كثير ممن يلهج بهاتين الكلمتين، ويجب النهي عنهما في كل حال. اهـ
[Maknanya]: “Hukum orang yang berkata: “Allah Fi Kulli Makan” atau berkata “Allah Fi Jami’ al-Amakin” (Allah berada pada semua tempat) adalah dikafirkan; jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Dzat Allah menyebar atau menyatu pada seluruh tempat. Adapun jika ia memahami dari ungkapannya tersebut bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu maka orag ini tidak dikafirkan. Pemahaman yang terakhir ini adalah makna yang dimaksud oleh kebanyakan orang yang mengatakan dua ungkapan demikian. Namun begitu, walau bagaimanapun dan dalam keadaan apapun kedua ungkapan semacam ini harus dicegah”[19].
Dalam kitab yang sama, al-Imam al-Hafizh Syekh Abdullah juga menuliskan sebagai berikut:
ويكفر من يعتقد التحيُّز لله تعالى، أو يعتقد أن الله شىءٌ كالهواء أو كالنور يملأ مكانًا أو غرفة أو مسجدًا، ونسمّي المساجد بيوت الله لا لأن الله يسكنها بل لأنها أماكن يُعْبَدُ الله فيها. وكذلك يكفر من يقول (الله يسكن قلوب أوليائه) إن كان يفهم الحلولَ. وليس المقصود بالمعراج وصول الرسول إلى مكان ينتهي وجود الله تعالى إليه ويكفر من اعتقد ذلك، إنما القصدُ من المعراج هو تشريف الرسول صلى الله عليه وسلم باطلاعه على عجائب في العالم العلويّ، وتعظيمُ مكانته ورؤيتُه للذات المقدس بفؤاده من غير أن يكون الذات في مكانٍ. اهـ
[Maknanya]: “Orang yang berkeyakinan Allah berada pada tempat maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir orang yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda seperti udara, atau seperti sinar yang menempati suatu tempat, atau menempati ruangan, atau menempati masjid. Adapaun bahwa kita menamakan masjid-masjid dengan “Baitullah” (rumah Allah) bukan berarti Allah bertempat di dalamnya, akan tetapi dalam pengertian bahwa masjid-masjid tersebut adalah tempat menyembah (beribadah) kapada Allah.
Demikian pula menjadi kafir orang yang berkata: “Allah Yaskun Qulub Awliya-ih” (terj. Allah bertempat di dalam hati para wali-Nya) jika ia berpaham hulul. Adapun maksud dari Mi’raj bukan untuk tujuan Rasulullah sampai ke tempat di mana Allah berada padanya. Orang yang berkeyakinan semacam ini maka ia telah menjadi kafir. Sesungguhnya tujuan Mi’raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan keajaiban-keajaiban yang ada di alam atas, dan untuk tujuan mengagungkan derajat Rasulullah dengan diperlihatkan kepadanya akan Dzat Allah yang maha suci dengan hatinya dari tanpa adanya Dzat Allah tersebut pada tempat”[20].
[1] al-Fiqh al-Absath, h. 12 (Lihat dalam kumpulan risalah al-Imam Abu Hanifah yang di-tahqiq oleh al-Muhaddits Muhammad Zahid al-Kawtsari)
[2] Dikutip oleh Syekh Mulla Ali al-Qari dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198
[3] Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 198
[4] Lihat matn al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah dengan penjelasannya; Izh-har al-‘Aqidah as-Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah karya al-Hafizh al-Habasyi, h. 124
[5] ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 5
[6] Tabshirah al-Adillah Fi Ushuliddin, j. 1, h. 169
[7] al-Bahr ar-Ra-iq, j. 5, h. 129
[8] al-Minhaj al-Qawim ‘Ala al-Muqaddimah al-Hadlramiyyah, h. 224
[9] Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 215
[10] Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 271-272
[11] Mirqat al-Mafatih, j. 3, h. 300
[12] Isyarat al-Maram, h. 200
[13] al-Fath ar-Rabbany, h. 124
[14] Minah al-Jalil, j. 9, h. 206
[15] al-I’timad Fi al-I’tiqad, h. 5
[16] al-Fatawa al-Hindiyyah, j. 2, h. 259
[17] Ithaf al-Ka’inat, h. 3-4
[18] Maqalat al-Kawtsari, h. 321
[19] ash-Shirat al-Mustaqim, h. 26
[20] ash-Shirat al-Mustaqim, h. 26