Bagian 2 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat
Penjelasan Hadits al-Jariyah
Dari Kitab ash-Shirath al-Mustaqim
karya al-Hafizh Abdullah al-Harari[1]
[Hadits al-Jariyah Riwayat Imam Muslim Adalah Hadits Mudltharib, Tidak Sahih Karena Dua Alasan]
Hadits al-Jariyah redaksi diriwayatkan oleh Muslim adalah sebagai berikut:
أنّ رَجُلاً جَاءَ إلى رسُولِ الله صلى الله عليه وسلم فسَألَه عنْ جَاريةٍ لهُ، قالَ: قلتُ: يا رَسولَ الله أفَلا أُعْتِقهَا، قال: ائْتِني بهَا، فأتاهُ بها، فقالَ لها: أينَ الله؟ قالتْ: فِي السّمَاءِ، قال: مَنْ أنَا؟ قالتْ: أنتَ رَسولُ الله، قال: أعْتِقْهَا فإنها مُؤْمِنَةٌ.
[Maknanya]: Bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah kemudian bertanya kepada beliau tentang budak perempuannya. Ia (perawi) berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah aku merdekakan saja ia? Rasulullah menjawab: “Datangkanlah ia kepadaku!”. Maka laki-laki itu-pun mendatangkannya kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bertaya kepada budak tersebut: “Aina Allah?”. Si budak menjawab: “Fis-sama’”. Rasulullah berkata: “Man ana?” (Siapakah aku?). Si budak menjawab: “Engkau Rasulullah”. Rasulullah berkata: “Merdekakanlah ia, maka sungguh ia seorang yang beriman”[2].
Al-Imam al-Hafizh Syekh Abdullah al-Harari menilai bahwa hadits ini tidak sahih. Karena dua alasan:
(Pertama): Terdapat idlthirab (diriwayatkan dengan beberapa versi yang saling bertentangan satu dengan lainnya dan tidak bisa dipadukan). Karena hadits al-Jariyah diriwayatkan dengan redaksi seperti di atas. Juga dengan redaksi “man Rabbuki?”, lalu si budak menjawab: “Allah”. Dan ada pula dengan redakasi “Aina Allah?”, lalu si budak tersebut menunjuk ke arah langit”. Serta ada pula dengan redaksi: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?, si budak menjawab: “Iya”, lalu Rasulullah berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku Rasulullah?”, si budak menjawab: “Iya”[3].
(Ke Dua): Bahwa riwayat dengan redaksi “Aina Allah?” bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syara’ (Ushul asy-Syari’ah). Karena di antara prinsip-prinsip dasar syara’ adalah bahwa seseorang tidak dihukumi muslim dengan mengatakan “Allah fis-sama’” (Allah di langit). Karena perkataan tersebut sama-sama dikatakan oleh orang-orang Yahudi, Nasrani dan lainnya. Prinsip dasar yang populer dalam syara’ adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits mutawatir;
أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لا إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله
[Maknanya]: “Aku (Muhammad) diperintah untuk memerangi manusia (yang kafir) hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa aku adalah utusan Allah”.
Dari beberapa riwayat hadits al-Jariyah riwayat Imam Malik dengan redaksi “Atasyhadina…” adalah hadits yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at[4].
[Kritik Ulama Terhadap Beberapa Hadits Riwayat Muslim]
(Soal): Jika dipertanyakan: “Bagaimana mungkin riwayat Muslim dengan redaksi “Aina Allah?”, lalu si budak menjawab: “fis-sama’” sampai akhir hadits sebagai hadits tertolak, padahal hadits itu diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabnya, dan semua hadits yang diriwayatkan olehnya dihukumi sahih?”.
(Jawab): Ada beberapa hadits riwayat Muslim yang ditolak oleh oleh para ulama hadits, dan mereka telah sebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka. Seperti [1] hadits bahwa Rasulullah berkata kepada seorang laki-laki: “Inna Abi Wa Abaka Fin-nar” [makna zahirnya; “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka]. Juga [2] hadits bahwa setiap Muslim pada hari kiamat kelak akan diberi tebusan untuknya dari kalangan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Demikian pula dengan [3] hadits Anas, yang mengatakan: “Aku melakukan shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakr dan ‘Umar dan adalah mereka tidak membaca Bismillahirrahmanirrahim”.
Hadits pertama dinilai lemah (dla’if) oleh al-Hafizh as-Suyuthi[5]. Hadits kedua ditolak oleh al-Bukhari[6]. Dan hadits ke tiga dinilai lemah (dla’if) oleh asy-Syafi’i dan beberapa hafizh hadits lainnya[7].
Maka hadits al-Jariyah (riwayat Imam Muslim) ini pada zahirnya adalah batil karena bertentangan dengan hadits mutawatir yang telah disebutkan di atas. Dan riwayat yang bertentangan dengan hadits mutawatir maka ia adalah batil jika tidak menerima takwil. Kaedah ini telah disepakati oleh para ulama ahli hadits dan para ahli Ushul.
[Sebagian Ulama Menerima Hadits Riwayat Muslim Dengan Takwil]
Hanya saja sebagian ulama telah mentakwil hadits al-Jariyah tersebut dengan pemahaman sebagai berikut. Mereka berkata bahwa makna “Aina Allah?” adalah bagaimana ia (si budak) mengagungkan Allah? Lalu perkataan si budak “fis-sama’” adalah dalam makna bahwa Allah sangat tinggi derajat-Nya. Adapun memahami hadits al-Jariyah ini dalam makna zahirnya, yaitu bahwa Allah bertempat di langit; adalah batil dan tertolak. Karena ada kaedah yang sudah baku dalam Ilmu Musthalah al-Hadits bahwa bila ada riwayat yang menyalahi hadits mutawatir maka ia batil, jika tidak dapat menerima takwil. Zahir hadits tersebut jelas rusak. Karena zahirnya mengatakan jika ada orang kafir mengatakan “Allah di langit” maka ia dihukumi sebagai mukmin.
Golongan Musyabbihah memahami riwayat Muslim tersebut secara zahirnya sehingga mereka tersesat. Perkataan mereka; “Kami memaknai kata “fis-sama’” dengan makna bahwa Allah berada di atas Arsy” tidak dapat menyelamatkan mereka dari kesesatan. Karena dengan perkataan tersebut mereka telah menetapkan adanya keserupaan bagi Allah. Yaitu kitab yang berada di atas Arsy bertuliskan: “Inna Rahmati sabaqat ghadlabi” [maknanya; Sesungguhnya tanda-tanda rahmat-Ku lebih banyak dari tanda-tanda murka-Ku]. Mereka telah menetapkan keserupaan antara Allah dengan kitab tersebut. karena mereka telah menjadikan Allah dan kitab tersebut keduanya menetap di atas Arsy. Dengan demikian maka mereka telah mendustakan firman Allah: “Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun, (baik pada satu segi atau semua segi)”. (QS. asy-Sura: 11).
[Di Atas Arsy Ada Kitab]
Hadits tentang adanya kitab di atas Arsy telah diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dengan redaksi: “Marfu’ Fawq al-‘Arsy” (-bahwa kitab tersebut- terangkat di atas Arsy). Sementara riwayat al-Bukhari dengan redaksi: “Mawdlu’ Fawq al-‘Arsy” (terletak di atas Arsy).
Adapun sebagian orang yang memaknai kata “fawq”, –dalam hadits ini– dalam makna “taht” (di bawah) adalah pemaknaan yang tertolak dengan riwayat Ibnu Hibban tersebut di atas yang menyebutkan “Marfu’ Fawq al-‘Arsy” (–kitab tersebut– terangkat di atas Arsy). Karena tidak dibenarkan (tidak sah, dan tidak dapat diterima) mentakwil kata “fawq” dalam redaksi riwayat Ibnu Hibban ini dengan makna “taht” (di bawah).
Kemudian konsekuensi dari keyakinan mereka yang menetapkan bahwa Allah bertempat di Arsy tidak lepas dari; bahwa Allah menempel dengan Arsy, atau Allah berada di atas Arsy tanpa menempel dengannya, –juga berarti, menurut mereka– bahwa Allah seukuran Arsy, atau lebih besar dari Arsy, atau lebih kecil dari Arsy. Padahal, setiap yang berlaku padanya ukuran (bentuk) maka ia baharu, dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut.
Arsy tidak ada baginya keserupaan apapun (munasabah) dengan Allah, sebagaimana juga Allah tidak ada bagi-Nya keserupaan apapun (munasabah) dengan makhluk lainnya. Allah tidak mengambil kemuliaan dengan sebab suatu makhluk-Nya. Dan Dia juga tidak mengambil manfaat sedikitpun dari makhluk-Nya.
Perkataan kaum Musyabbihah bahwa Allah duduk di atas Arsy adalah cacian terhadap Allah. Karena duduk adalah di antara sifat manusia, binatang, jin, dan serangga. Setiap sifat makhluk, apapun itu, bila disifatkan kepada Allah maka itu adalah adalah cacian terhadap Allah. Al-Hafizh al-Faqih al-Lughawi Murtadla az-Zabidi berkata:
مَنْ جَعَلَ اللهَ تعَالَى مُقَدَّرًا بِمِقْدَارٍ كَفَرَ
[Maknanya]: “Barangsiapa menjadikan Allah memiliki ukuran (bentuk) dengan suatu ukuran (bentuk) apapun maka ia telah kafir”.
Demikian itu, ia dihukumi kafir oleh karena ia telah menjadikan Allah mempunyai ukuran (bentuk), padahal ukuran adalah sesuatu yang menunjukan kebaharuan. Bukankah kita mengetahui secara akal bahwa matahari itu baharu (makhluk) hanya karena ia memiliki ukuran (bentuk)?! Seandainya Allah memiliki ukuran maka berarti Allah menyerupai matahari dari segi sama-sama memiliki ukuran (bentuk). Dan seandainya demikian maka berarti Allah tidak berhak untuk menjadi Tuhan sebagaimana matahari tidak berhak menjadi Tuhan.
[Debat Kaum Musyabbihah Dengan Penyembah Matahari]
Maka seandainya penyembah matahari meminta dalil akal kepada kelompok Musyabbihah bahwa Allah berhak dituhankan, dan matahari tidak berhak dituhankan maka mereka tidak akan memiliki dalil akal untuk itu. Maksimal yang akan mereka katakan adalah –mengutip firman Allah– bahwa Allah telah berfirman: “Allah adalah pencipta segala sesuatu” (QS. az-Zumar: 62). Dan apa bila kaum Musyabbihah itu mengutip firman Allah tersebut kepada penyembah matahari maka penyembah matahari akan berkata kepada mereka: “Aku tidak percaya dengan kitab kalian. Berikan aku dalil akal bahwa matahari tidak berhak dituhankan!!”. Di posisi ini kaum Musyabbihah akan terdiam, dan terbungkam, –tidak memiliki kata-kata–.
Dengan demikian di atas Arsy tidak ada suatu apapun yang hidup, yang tinggal dan bertempat padanya. Di atas Arsy hanya ada kitab bertuliskan: “Inna Rahmati sabaqat ghadlabi”. Maknanya; bahwa tanda-tanda rahmat Allah lebih banyak dari tanda-tanda murka-Nya. Para Malaikat adalah di antara tanda-tanda rahmat Allah; jumlah mereka lebih banyak dari tetasan air hujan, dan lebih banyak dari daun-daun pepohonan. Surga juga termasuk tanda-tanda rahmat Allah, dan surga jauh lebih besar dari neraka ribuan kali lipat.
Keberadaan kitab tersebut di atas Arsy adalah benar adanya (tsabit/shahih) dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra, dan selain keduanya. Redaksi riwayat Ibnu Hibban adalah:
لَمَّا خَلَقَ اللهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ يَكْتُبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ اْلعَرْشِ إنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُ غَضَبِي
[Maknanya]: “Ketika Allah menciptakan makhluk, Allah perintahkan al-Qalam al-A’la untuk menulis di sebuah kitab, tulisan yang merupakan janji Allah, kitab tersebut terangkat di atas Arsy: “Sesungguhnya tanda-tanda rahmat-Ku lebih banyak dari tanda-tanda murka-Ku”. (HR. Ibnu Hibban).
Apa bila ada orang yang berusaha mentakwil “fawq” (terj. “di atas”) –dalam redaksi hadits tersebut– dengan makna “duna” (terj. “di bawah”); maka katakan kepadanya: Mentakwil nash (teks) itu tidak boleh dilakukan, kecuali berdasarkan dalil naqly yang tsabit atau dalil ‘aqly yang qath’i (pasti; tidak terbantahkan). Sementara mentakwil kata “fawq” dengan makna “duna” bagi hadits tersebut adalah tidak ada kebutuhan bagi dua perkara tersebut (dalil naqly yang tsabit atau dalil ‘aqly yang qath’i). Tidak ada dalil apapun yang mengharuskan dilakukan takwil terhadap hadits ini.
[al-Lauh al-Mahfuzh Menurut Sebagian Ulama Berada Di Atas Arsy]
Selain dari pada itu, sebagian ulama mengatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh berada –tempatnya– di atas Arsy. Karena memang tidak ada nash yang tegas menetapkan apakah ia berada di atas Arsy atau di bawah Arsy. Sehingga masalah tempat al-Lauh al-Mahfuzh ini hanya masih dalam kemungkinan. Yakni kemungkinan tempat al-Lauh al-Mahfuzh di atas Arsy, atau kemungkinan tempatnya di bawah Arsy.
Dengan demikian di atas pendapat ulama yang mengatakan bahwa al-Lauh al-Mahfuzh di atas Arsy maka berarti orang tersebut (yakni orang Musyabbih yang berkeyakinan Allah bertempat di atas Arsy) telah manjadikan al-Lauh al-Mahfuzh sebagai keserupaan bagi Allah. Artinya, –dalam keyakinan orang Musyabbih ini– Allah berada di atas satu bagian dari Arsy dengan jarak di atasnya, dan al-Lauh al-Mahfuzh berada di atas bagian lain dari Arsy juga dengan jarak di atas. Ini adalah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Karena berada (bertempat) di atas sesuatu yang lain dengan jarak di atasnya (terj. atau menempel dengan sesuatu tersebut) adalah salah satu dari sifat makhluk.
Di antara dalil yang menunjukan bahwa kitab [yang bertuliskan: “Inna Rahmati sabaqat ghadlabi”] tersebut benar berada di atas Arsy, yang tidak mungkin dalil ini untuk ditakwil; adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra:
إنَّ اللهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ بألْفَيْ سَنَةٍ فَهُوَ عِنْدَهُ عَلَى العَرْشِ وَإِنّهُ أنْزَلَ مِنْ ذَلِكَ الْكِتَابِ ءَايَتَيْنِ خَتَمَ بِهِمَا سُوْرَةَ البَقَرَة
[Maknanya]: “Sesungguhnya Allah telah perintahkan al-Qalam al-A’la untuk menulis pada sebuah kitab dua ribu tahun sebelum penciptaan alngit dan bumi. Kitab tersebut dimuliakan oleh Allah (dan ditempatkan) di atas Arsy. Dan Allah menurunkan dari kitab tersebut dua ayat yang mengakhiri surat al-Baqarah”.
Dalam riwayat Muslim dengan redaksi: “Fa huwa mawdlu’ ‘indahu” (Kitab tersebut diletakan dan dimuliakan oleh-Nya). Riwayat ini sangat jelas menunjukan bahwa kitab tersebut benar-benar berada di atas Arsy, dan tidak mungkin redaksi-redaksi ini ditakwil.
[Makna Kata ‘Inda Dalam Bahasa Arab]
Kata “inda” dalam hadits di atas [redaksi; “Fa huwa mawdlu’ ‘indahu”] bermakna at-tasyrif; artinya untuk memuliakan. Bukan maknanya untuk menetapkan tempat bagi Allah di atas Arsy. Karena kata “inda” di sini dipergunakan untuk selain makna tempat. Contoh seperti ini dalam firman Allah:
فَلَمَّاجَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ (82)، مُّسَوَّمَةً عِندَ رَبِّكَ (سورة هود: 83)
[Makna literal ayat ini]; “Dan ketika keputusan Kami (Allah) datang, Kami menjungkirbalikan negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar (82); yang (batu-batu tersebut) diberi tanda oleh Tuhan-mu” (QS. Hud: 82-83)
Kata “inda” dalam ayat ini maknanya tidak lain kecuali dalam pengertian bahwa peristiwa itu terjadi dengan Ilmu Allah (artinya; diketahui oleh-Nya). Bukanlah makna ayat tersebut bahwa batu-batu itu bersampingan dengan Allah pada suatu tempat. Barangsiapa berdalil dengan kata “inda” untuk menetapkan tempat bagi Allah dan menetapkan kedekatan (secara fisik) antara Allah dengan makhluk maka orang ini adalah orang paling bodoh di antara orang-orang bodoh. Adakah orang berakal mengatakan bahwa batu-batu yang diturunkan oleh Allah –sebagai siksaan– terhadap orang-orang kafir itu berasal dari arah Arsy kepada mereka, dan bahwa batu-batu itu semula bertumpuk di atas Arsy bersampingan dengan Allah?!
[Hadits Riwayat al-Bukhari Lebih Kuat Dibanding Hadits al-Jariyah Riwayat Muslim]
Al-Bukhari telah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
إذَا كَانَ أحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَإنّهُ يُنَاجِيْ رَبَّهُ، فَلاَ يَبْصُقَنَّ فِي قِبْلَتِهِ وَلاَ عَنْ يَمِيْنِهِ فَإِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ (رواه البخاري)
[Maknanya]: “Apabila seorang dari kaian sedang berada dalam shalatnya maka sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya. Maka janganlah sekali-kali ia meludah di arah kiblatnya dan di arah kanannya karena rahmat Allah (rahmat yang khusus) antara dirinya dan kiblatnya”. (HR. al-Bukhari)
Hadits ini lebih kuat sanad-nya dibanding hadits al-Jariyah.
Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Rasulullah bersabda:
ارْبَعُوْا عَلَى أنْفُسِكُمْ فَإنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إنّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا، وَالَّذِيْنَ تَدْعُوْنَهُ أقْرَبُ إلَى أحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ (رواه البخاري)
[Maknanya]: “Ringankanlah terhadap diri kalian[8], sesungguhnya kalian tidak memohon kepada Dzat yang tuli dan tidak memohon kepada Dzat yang tersembunyi bagi-Nya sesuatu. Sungguh kalian memohon kepada Dzat yang maha mendengar dan maha dekat (rahmat-Nya). Dan Dzat yang kailan memohon kepada-Nya itu lebih mengetahui tentang diri kalian dari kalian sendiri”[9]. (HR. al-Bukhari)
Dari sini katakan kepada orang yang menentang: Apabila engkau mengambil hadits al-Jariyah secara zahirnya, dan kedua hadits di atas juga diambil secara zahirnya maka batal-lah klaim kailan bahwa Allah berada di langit. Dan apabila engkau mentakwil dua hadits ini dan tidak mentakwil hadits al-Jariyah maka itu berarti engkau berkata-kata semaumu tanpa dalil (tahakkum). Dan bila demikian maka kalian sama dengan orang-orang Yahudi yang difirmankan oleh Allah:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ (سورة البقرة : 85)
[Maknanya]: “Adakah kalian beriman dengan sebagian al-Kitab (Taurat) dan kalian inkar terhadap sebagian yang lain” (QS. al-Baqarah: 85).
Demikian pula, –katakan kepada penentang– apa yang akan engkau katakan tentang firman Allah:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (سورة البقرة: 115)
Apabila engkau mentakwil ayat ini maka mengapa engkau tidak mentakwil hadits al-Jariyah?! Terkait ayat ini, Mujahid, murid Ibnu Abbas menafsirkannya dengan “kiblat Allah”. Beliau menafsirkan kata “al-Wajh” dalam ayat ini dengan makna kiblat. Yakni untuk shalat sunnah dalam perjalanan di atas binatang tunggangan[10].
[Makna Hadits “Yarhamkum Man Fis-Sama’]
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, yaitu:
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
[Maknanya]: “Orang-orang yang penyayang maka Allah menyayangi (merahmati) mereka. Sayangilah orang yang ada di bumi maka akan menyayangi kalian oleh yang ada di langit”.
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
يَرْحَمْكُمْ أَهْلُ السَّمَاءِ
[Maknanya]: “… maka akan menyayangi kalian oleh penduduk langit”.
Riwayat ke dua ini menafsirkan riwayat yang pertama. Karena penafsiran terbaik adalah penafsiran suatu riwayat adalah dengan riwayat yang lain (tafsir al-warid bil warid). Sebagaimana ditegaskan demikian oleh al-Hafizh al-Iraqi dalam Alfiyah-nya:
وَخَيْرُ مَا فَسَّرْتَهُ بِالوَارِدِ
[Maknanya]: “Sebaik-baik apa yang engkau tafsirkan adalah tafsir al-warid bil warid”.
Dan yang dimaksud dengan “penduduk langit” dalam riwayat ke dua di atas adalah para Malaikat. Sebagaimana dinyatakan demikian oleh al-Hafizh al-Iraqi dalam karyanya al-Amaliy setelah menyebutkan hadits tersebut. al-Iraqi berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِقَوْلِهِ أَهْلُ السَّمَاءِ عَلَى أَنَّ المرَادَ بقَولِهِ (مَنْ فِي السَّمَاءِ) الملاَئكَةُ. اهـ
[Maknanya]: “Diambil dalil dengan hadits Nabi “Ahlus-sama’” bahwa yang dimaksud dengan firman Allah “Man Fis-sama’” adalah para Malaikat”. Karena tidak boleh dikatakan bagi Allah “Ahlus-sama’” (artinya para penduduk langit; yaitu para Malaikat). Dan kata “man” bisa digunakan untuk arti tunggal, juga bisa digunakan dalam arti jamak (plural). Dengan demikian tidak ada hujjah (dalil) bagi mereka (kaum Musyabbihah) dengan ayat ini.
Demikian pula pemahaman seperti ini dalam ayat sesudahnya, yaitu:
أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا (سورة الملك: 17)
Kata “Man fis-sama’” dalam ayat ini juga bermakna “Ahlus-sama’” (artinya para penduduk langit, yaitu para Malaikat). Karena Allah memberikan kekuasaan kepada para Malaikat terhadap orang-orang kafir jika Allah berkehendak menimpakan siksa-Nya terhadap mereka di dunia. Sebagaimana pula para Malaikat yang ditugaskan oleh Allah di akhirat untuk menimpakan siksa terhadap orang-orang kafir, karena –di antara mereka– adalah para penjaga neraka. Para Malaikat pula yang akan menyeret sebagian dari neraka ke padang Mahsyar agar orang-orang kafir ketakutan dengan melihat sebagian dari neraka tersebut.
[Langit Adalah Tempat Para Malaikat]
Riwayat yang disebutkan oleh al-Hafizh al-Iraqi dalam karyanya al-Amaliy tersebut redaksinya adalah:
الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحِيْمُ ارْحَمُوا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أَهْلُ السَّمَاءِ
Kemudian seandainya Allah bertempat di langit seperti yang diklaim oleh sebagian orang (yaitu kaum Musyabbihah) maka berati Allah berdesak-desakan dengan para Malaikat. Tentu ini mustahil. Karena ada hadits sahih menyebutkan:
مَا فِي السَّمواتِ مَوْضِعُ أَرْبَعِ أصَابِعَ، وَفِي لَفْظٍ “شِبْرٍ” إلاَّ وَفِيْهِ مَلَكٌ قَائِمٌ أوْ رَاكِعٌ أوْ سَاجِدٌ (رواه الترمذي)
[Maknanya]: “Di seluruh langit tidak ada tempat kosong seukuran empat jari, –dalam satu riwayat–; “seukuran sejenggkal”, kecuali padanya terdapat Malaikat yang sedang berdiri, sedang ruku’, atau sedang sujud” (HR. at-Tirmidzi)
Demikian pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِيْنِي خَبَرُ مَنْ فِي السَّمَاءِ صَبَاحَ مَسَاءَ (رواه البخاري)
[Maknanya]: “Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah kepercayaan yang ada di langit, datang kepadaku berita dari yang di langit, setiap pagi dan sore”. Yang dimaksud dengan “yang ada di langit” dalam hadits ini adalah para Malaikat. Dan bila maknanya hendak dimaksud “Allah” maka artinya adalah “yang Maha Tinggi derajat-Nya”.
[Makna Hadits Zaynab binti Jahsy]
Sedangkan hadits Zaynab binti Jahsy; salah seorang istri Rasulullah, bahwa ia berkata kepada istri-istri Nabi yang lain:
زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيْكُنَّ وَزَوَّجَنِيَ اللهُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ
[Maknanya]: “Kalian telah dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan pernikahanku terlaksana dengan tercatat secara khusus di al-Lauh al-Mahfuzh (yaitu tanpa wali dan tanpa dua orang saksi)”.
Makna hadits ini bahwa pernikahan Rasulullah dengan Zainab tercatat di al-Lauh al-Mahfuzh (bukan maknanya bahwa Allah bertempat di atas langit ke tujuh) yang catatan ini adalah catatan khusus (istimewa) bagi Zainab, bukan seperti catatan pada umumnya. Adapun catatan yang secara umum berlaku bagi setiap orang. Artinya, bahwa setiap pernikahan yang terjadi sampai akhir dunia; semuanya tercatat di al-Lauh al-Mahfuzh yang memang letaknya di atas tujuh langit.
Adapun hadits yang redaksinya menyebutkan:
وَالّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاّ كَانَ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا
[Maknanya]: “Demi Dzat yang menguasi diriku, tidaklah seorang laki-laki mengajak istrinya bersetubuh kemudian ia menolak kecuali yang ada di langit marah kepadanya”; maka yang dimaksud “yang ada di langit” dalam hadits ini adalah “Malaikat”. Dengan dalil riwayat ke dua yang sahih dan lebih populer (masyhur) dibanding riwayat di atas, yaitu:
… لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
[Maknanya]: “…maka para Malaikat melaknatnya hingga ia (perempuan tersebut berada di waktu pagi” (HR. Ibnu Hibban dan lainnya).
[Beberapa Hadits Tidak Sahih Sehingga Tidak Boleh Dijadikan Dalil Dalam Aqidah]
Adapun hadits Abu Darda’ bahwa Rasulullah bersabda:
رَبُّنَا الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ تَقَدَّسَ اسْمُكَ
maka hadits ini tidak sahih. Tetapi ia hadits dla’if. Sebagaimana dinilai demikian oleh al-Hafizh Ibnul Jawzi. Dan seandainya hadits ini sahih maka maknanya sama seperti yang sudah lewat dalam pembahasan hadits al-Jariyah.
Sedangkan hadits Jubair ibn Muth’im dari Rasulullah:
إنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ وَسَمَوَاتُهُ فَوْقَ أرَاضِيْهِ مِثْلُ الْقُبَّةِ
maka al-Bukhari tidak memasukan hadits ini dalam kitab Shahih-nya. Sehingga ini hadits ini tidak mengandung hujjah (dalil). Juga dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi dla’if yang tidak boleh dijadikan hujjah, sebagaimana telah disebutkan demikian oleh al-Hafizh Ibnul Jawzi dan lainnya.
Demikian juga apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Khalq Af’al al-‘Ibad, dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata:
لَمَّا كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى كَانَ نِدَاؤُهُ فِي السَّمَاءِ وَكَانَ اللهُ فِي السَّمَاءِ
ini juga tidak benar. Maka ia tidak dapat dijadikan hujjah.
Sedangkan perkataan yang disandarkan kepada Imam Malik, yaitu:
اللهُ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ لاَ يَخْلُو مِنْهُ شَيءٌ
maka ia juga tidak tsabit (tidak sahih) dari Malik. Abu Dawud tidak meriwayatkannya dengan sanad yang bersambung kepada Malik dengan sanad yang sahih. Abu Dawud menyebutkannya dalam kitab al-Masa-il, dan hanya sekedar meriwayatkan saja tidak berarti untuk menetapkan bahwa riwayat tersebut benar (tsabit).
[1] Berikut ini adalah terjemahan dari kitab karya al-Imam al-Hafizh al-Habasyi berjudul ash-Shirath al-Mustaqim dengan beberapa penyesuaian. Tanda [..] adalah tambahan dari penerjemah, bukan sebagai terjemahan dari teks aslinya. Untuk lebih detail dan menyeluruh silahkan merujuk kepada penjelasan (Syarh) kitab tersebut; –yang juga karya al-Imam al-Habasyi– berjudul asy-Syarh al-Qawim Fi Hall Alfazh ash-Shirath al-Mustaqim, pada tema penjelasan kesucian Allah dari tempat dan pembenaran keberadaan-Nya dengan tanpa tempat secara akal, h. 139-167
[2] Hadits ini tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Karena memahaminya dalam makna zahir akan menjadikan teks-teks al-Qur’an dan hadits saling bertentangan satu dengan lainnya. Misalkan; firman Allah QS. Thaha: 5, dan hadits al-Jariyah ini makna zahirnya seakan Allah berada di arah atas, sementara firman Allah QS. al-Baqarah: 115 “Fa Aynama Tuwallu Fa Tsamma Wajhullah” makna zahirnya seakan Allah berada menyebar di bumi. Tetapi dalam memahamainya membutuhkan kepada takwil.
Hadits al-Jariyah ini –dengan sanad dan matan di atas– adalah hadits yang diriwayatkan menyendiri oleh Imam Muslim, tanpa lainnya (mimma infarada bihi Muslim). Dan hadits al-Jariyah adalah hadits mudltharib –sebagaimana akan dibahas dalam buku ini– yang tidak dapat dijadikan dalil (hujjah) dalam masalah akidah.
[3] Lihat bab penjelasan para ulama hadits bahwa hadits al-Jariyah ini adalah hadits mudltharib dari buku ini.
[4] Dalam redaksi riwayat Imam Malik disebutkan bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut: “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?”, Ia (budak) menjawab: “Iya”, Rasulullah bertanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?”, ia menjawab: “Iya”. Lihat al-Muwath-tha’, h. 666. Redaksi demikian ini juga telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad, dan al-Bayhaqi dalam Sunan. Lihat Musnad Ahmad, j. 3, h. 451, dan Sunan al-Kubra, j. 7, h. 388
[5] Al-Hawi Li al-Fatawi, as-Suyuthi, j. 2, h. 393
[6] Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani, j. 11, h. 398
[7] As-Sunan al-Kubra, al-Bayhaqi, j. 2, h. 52
[8] Maksudnya tidak perlu mengeraskan suara secara berlebih-lebihan dalam berdoa.
[9] Hadits ini mengandung beberapa pelajaran penting. Di antaranya; kebolehan berdzikir dengan cara berjama’ah. Sebab datang hadits di atas adalah bahwa suatu waktu sekelompok sahabat Rasulullah dalam perjalanan, sampailah mereka di lembah Khaibar. Di tempat tersebut mereka secara bersama-sama membaca tahlil dan takbir dengan suara yang keras. Hingga Rasulullah karena kasih sayangnya berkatalah kepada mereka: “Ringankanlah atas diri kalian…”. Adapun makna “wa ala gha-iban…”; artinya kalian tidak memohon kepada Dzat yang tersembunyi bagi-Nya sesuatu.
[10] Sehingga maksud ayat adalah: “Kemana-pun kalian menghadap dalam shalat sunnah kalian yang dilakukan di atas binatang tunggangan maka disanalah kiblat shalat kalian”. Artinya shalat kalian sah, walaupun dibawa ke arah manapun oleh binatang dalam shalat kalian tersebut.