• Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qu’ran Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah | Shadaqah Jariyah Donasi Pembebasan Lahan Untuk Pondok Pesantren Nurul Hikmah Terima kasih. Baaraka Allahu fiik!
Minggu, 28 Mei 2023

Bagian 4 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat

Bagikan

Penjelasan Ulama Hadits Bahwa Hadits al-Jariyah

Adalah Hadits Mudltharib

Berikut ini adalah kutipan dari penjelasan para ulama kita dalam berbagai karya mereka dalam menetapkan bahwa hadits al-Jariyah adalah hadits mudltharib. Dan hadits mudltharib adalah salah satu varian dari hadits dla’if. Hadits dla’if tidak dapat dijadikan hujjah/dalil dalam masalah hukum-hukum syara’ (Furu’iyyah), terlebih lagi untuk menetapkan masalah-masalah aqidah (Ushuliyyah).

﴾ 1 ﴿

(Penjelasan al-Imam Taqiyuddin as-Subki)

Al-Imam al-Hujjah al-Lughawiy al-Mujtahid Abul Hasan Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi as-Subki (as-Subki al-Kabir), (w 756 H), –seorang Imam terkemuka yang telah mencapai derajat Mujtahid Mutlaq–, dalam kitab as-Sayf ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala Ibn Zafil[1], menuliskan:

قال: “ورابع عشرها أين الله في كلام النبي صلى الله عليه وسلم في حديث معاوية بن الحكم وفي تقريره لمن سأله رواه أبو رزين”. أقول: أما القول فقوله صلى الله عليه وسلم للجارية أين الله؟ قالت في السماء، وقد تكلم الناس عليه قديما وحديثا والكلام عليه معروف، ولا يقبله ذهن هذا الرجل لأنه مشاء على بدعه لا يقبل غيرها.

[Maknanya]: “Ia (Ibnul Qayyim) berkata: “Yang ke empat belas adalah “Aina Allah?” dalam hadits Nabi dalam hadits Mu’awiyah ibn al-Hakam, dan dalam ketetapannya bagi orang yang bertanya kepadanya; telah meriwayatkannya oleh Abu Razin”. Aku (al-Imam Taqiyyuddin as-Subki) katakan: “Perkataan Rasulullah bagi budak perempuan “Aina Allah?”, lalu budak tersebut menjawab “Fis-Sama’” adalah hadits yang telah lama dibicarakan oleh para ulama dari dahulu hingga sekarang. Dan pembahasan di dalamnya sudah diketehui (sangat jelas)[2], tetapi penjelasan tersebut tidak dapat diterima oleh hati orang ini (yang dimaksud; Ibnul Qayyim), karena orang ini memegang erat bid’ah-bid’ahnya, tidak akan mau menerima selain itu”[3].

﴾ 2 ﴿

(Penjelasan Muhammad Zahid al-Kawtsari)

Al-Muhaddits Syekh Muhammad Zahid al-Kawtsari dalam Takmilah ar-Radd ‘Ala Nuniyyah Ibnul Qayyim menuliskan catatan yang sangat panjang dalam menjelaskan hadits al-Jariyah sebagai bantahan terhadap Ibnul Qayyim al-Jawziyyah. Kesimpulan catatan beliau adalah[4]:

(Satu): Hadits al-Jariyah diriwayatkan oleh Atha’ ibn Yasar dari Mu’awiyah ibn al-Hakam. Diriwayatkan dengan redaksi berbeda-beda. Ada riwayat menyebutkan bahwa budak tersebut berisyarat dengan tangannya ke langit, karena ia seorang yang bisu; –sehingga sangat dimungkinkan– kemudian kondisi ini dipahami dan diungkapkan oleh salah seorang perawinya sesuai dengan pemahaman si-perawi itu sendiri.

(Dua); Imam Muslim meriwayatkan hadits al-Jariyah dalam kitab Shahih dengan meletakannya pada bab; “Diharamkan berbicara dalam shalat” (Bab Tahrim al-Kalam Fis-Shalat);[5] bukan diletakan dalam “Kitab al-Iman”. Ini artinya bahwa periwayatan hadits seperti ini (walaupun diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda, –lihat no. 1–) dapat ditoleransi, karena terkait masalah furu’iyyah. Sementara dalam masalah aqidah hadits seperti ini tidak boleh dijadikan sandaran.

(Tiga); Imam al-Bukhari tidak meriwayatkan hadits al-Jariyah ini dalam kitab Shahih-nya; menunjukan bahwa hadits ini bermasalah. Al-Bukhari hanya meriwayatkan hadits ini dalam kitab Khalq Af’al al-‘Ibad. Diriwayatkan oleh Atha’ ibn Yasar dari Mu’awiyah ibn al-Hakam pada bahasan jawaban bagi orang yang bersin (Tasymit al-‘Athis) dengan tanpa ada penyebutan “fis-sama’” dari budak terebut.

(Empat); Hadits al-Jariyah ini tidak boleh dijadikan dalil (hujjah) untuk menetapkan tempat bagi Allah di langit. Karena telah tetap (sahih) dengan berbagi dalil —Naqliyyah dan ‘Aqliyyah— bahwa Allah maha suci dari tempat dan arah, suci dari sifat-sifat benda, suci dari ruang dan waktu.

(Lima); Hadits al-Jariyah adalah hadits Mudltharib pada sanad dan matn-nya. Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan matn (redaksi) dan atau dengan sanad yang berbeda-beda, saling bertentangan; sehingga tidak dapat disatukan satu dengan lainnya dalam pemahamannya. Hadits Mudltharib adalah termasuk hadits dla’if. Walaupun hadits al-Jariyah ini disahihkan oleh adz-Dzahabi; tetapi itu tidak berpengaruh apapun terhadap keadaannya tetap sebagai hadits Mudltharib. Untuk paham lebih detail betapa hadits ini Mudltharib; silahkan anda periksa al-‘Uluww karya adz-Dzahabi[6], kitab-kitab Syarh al-Muwatha’, dan kitab Tauhid karya Ibnu Khuzaimah.

(Enam): Bahwa penggunaan kata “Aina” dalam bahasa Arab tidak hanya berlaku untuk menetapkan tempat saja. Tetapi biasa pula dipergunakan untuk menetapkan derajat dan kedudukan. Sebagaimana demikian dinyatakan oleh para ahli bahasa seperti Abu Bakr ibn al-Arabi, dan lainnya. Maka makna “Aina Allah”? adalah “Bagaimana derajat / kedudukan Allah menurutmu?” (Ma hiya makanah Allah ‘idaki?). Lalu makna jawaban si budak: “Fis-sama’” adalah “Dalam derajat / kedudukan yang sangat tinngi” (Fi ghayah min ‘ulww asy-sya’ni).

(Tujuh): Jika hendak mengambil hadits al-Jariyah riwayat Imam Muslim maka wajib menyelaraskan pemahamannya dengan riwayat hadits Mutawatir yang menyebutkan bahwa sah-nya imam seseorang adalah hanya dengan apa bila ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Oleh karena itu dalam memahami hadits al-Jariyah riwayat Imam Muslim di atas wajib dengan takwil (lihat nomor 6).

(Delapan): Seluruh ulama sepakat bahwa Allah tidak diliputi oleh langit, oleh bumi, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Adapun perkataan budak perempuan tersebut “Fis-sama” adalah untuk tujuan mengagungkan Allah dan mengungkapkan ketinggian kedudukan dan derajat-Nya sesuai pemahamannya sendiri.

﴾ 3 ﴿

(Hadits Riwayat al-Bukhari Dari Atha’ ibn Yasar Dari Mu’awiyah ibn al-Hakam)

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits Atha’ ibn Yasar dari Mu’awiyah ibn al-Hakam ini dalam kitab Khalq Af’al al-‘Ibad. Tidak diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya. Sebagaimana al-Imam Muslim, al-Imam al-Bukhari-pun meletakan hadits ini dalam bahasan keharaman berbicara kepada sesama manusia dalam shalat.

Riwayat al-Bukhari dalam Khalq Af’al al-‘Ibad adalah sebagai berikut:

حدثنا عبد الله بن محمد الجعفي، حدثنا أبو حفص التنسي، حدثنا الأوزاعي، حدثنا يحيى بن أبي كثير، حدثني هلال بن ميمونة، حدثني عطاء بن يسار، حدثني معاوية بن الحكم رضي الله عنه قال؛ قلت: يا رسول الله إنا كنا حديث عهد بجاهلية فجاء الله بالإسلام، وبينا أنا مع النبي صلى الله عليه وسلم دعاني وقال؛ صلاتنا هذه لا يصلح فيها شيء من كلام الناس وإنما هي التسبيح والتكبير وقراءة القرءان.

[Maknanya]: “Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah ibn Muhammad al-Ju’fi; Telah mengkabarkan kepada kami Abu Hafsh at-Tunsi; Telah mengkhabarkan kepada kami al-Awza’i; Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn Abi Katsir; Telah mengkhabarkan kepadaku Hilal ibn Abi Maymunah; Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Atha ibn Yasar; Telah mengkhabarkan kepadaku Mu’awiyah ibn al-Hakam, –semoga ridla Allah tercurah baginya–, berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami orang-orang yang dekat dengan masa jahiliyah. Maka Allah mendatangkan Islam. Dan ketika aku bersama Rasulullah, beliau memanggilkku, berkata: “Shalat kita ini tidak dibenarkan di dalamnya berbicara suatu apapun kepada manusia, kecuali shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan al-Qur’an”[7].

Dalam riwayat al-Bukhari ini, –terkait hadits tasymit al-athis, dari riwayat Atha’ ibn Yasar dari Mu’awiyah ibn al-Hakam– tidak ada penyebutan tentang budak perempuan (al-Jariyah) yang bertanya “Aina Allah?” kepada Rasulullah. Berbeda dengan riwayat Muslim yang menetapkan keberadaannya. Ini salah satu tanda bahwa hadits al-Jariyah ini mudltharib, yang karena itu al-Bukhari tidak meletakannya dalam kitab Shahih.

﴾ 4 ﴿

(Penjelasan al-Bayhaqi Dalam Kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat)

Dalam kitab al-Asma’ wa ash-Shifat, al-Hafizh al-Bayhaqi meriwayatkan hadits al-Jariyah dengan dua jalur yang berbeda. Setelah mengutip dua jalur hadits al-Jariyah tersebut al-Hafizh al-Bayhaqi memberikan isyarat bahwa hadits tersebut Mudltharib. Al-Bayhaqi menuliskan:

وأظنه إنما تركها من الحديث لاختلاف الرواة في لفظه، وقد ذكرت في كتاب الظهار من السنن مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث. اهـ

[Maknanya]: “… dan aku kira mengapa ia (Muslim) meninggalkan hadits al-Jariyah tersebut, (–tidak dikutip redaksinya secara lengkap–) karena adanya perbadaan para perawinya dalam redaksi hadits itu. Dan telah aku sebutkan dalam Kitab azh-Zhihar dari kitab as-Sunan al-Kubra perbedaan yang menyalahi redaksi hadits riwayat Mu’awiyah ibn al-Hakam”[8].

Al-‘Allamah al-Muhaddits Syekh Muhammad Zahid al-Kawtsari dalam ta’liq-nya terhadap kitab al-Asma wa ash-Shifat karya al-Bayhaqi di atas menuliskan:

وقد أشار المصنف إلى اضطراب الحديث بقوله (وقد ذكرت في كتاب الظهار مخالفة من خالف معاوية بن الحكم في لفظ الحديث)، وقد ذكر في السنن الكبرى اختلاف الرواة في لفظ الحديث مع أسانيد كل لفظ من ألفاظهم. اهـ

[Maknanya]: “Dan telah memberikan isyarat oleh penyusun kitab (yaitu al-Bayhaqi) bahwa hadits tersebut (hadits al-Jariyah) adalah hadits mudltharib, dengan paerkataannya: “Dan telah aku sebutkan dalam Kitab azh-Zhihar dari kitab as-Sunan al-Kubra perbedaan yang menyalahi redaksi hadits riwayat Mu’awiyah ibn al-Hakam”. Dan telah menyebutkan (oleh al-Bayhaqi) dalam as-Sunan al-Kubra perbedaan para perawi hadits al-Jariyah dengan sanad-sanad setiap redaksi dari seluruh redaksi hadits yang ada.

Perhatikan dengan teliti tulisan al-Bayhaqi; “Dan telah aku sebutkan dalam Kitab azh-Zhihar dari kitab as-Sunan al-Kubra perbedaan yang menyalahi redaksi hadits riwayat Mu’awiyah ibn al-Hakam”; ini adalah isyarat kepada bahwa hadits al-Jariyah riwayat Mu’awiyah ibn al-Hakam adalah mudltharib, sebagaimana dinyatakan oleh al-Kawtsari di atas.

﴾ 5 ﴿

(Riwayat al-Bayhaqi Dalam Kitab as-Sunan al-Kubra)

Dalam catatan di atas telah kita kutip perkataan al-Bayhaqi yang menyebutkan bahwa dalam kitab as-Sunan al-Kubra beliau telah meriwayatkan berbagai riwayat hadits al-Jariyah yang saling bertentangan satu dengan lainnya, baik dalam sanad-nya maupun matn-nya (redaksi). Sehingga perbedaan-perbedaan yang saling bertentangan tersebut menjadikan hadits al-Jariyah sebagai hadits mudltharib; yang merupakan salah satu varian hadits dla’if.

Berikut ini adalah kesimpulan riwayat-riwayat dalam as-Sunan al-Kubra tersebut[9];

(Riwayat pertama): Di akhir hadits tidak ada penyebutan redaksi “Fa innaha mu’minah” (Sesungguhnya budak perempuan tersebut seorang yang beriman)[10].

(Riwayat ke dua): Di akhir hadits terdapat penyebutan redaksi “Fa innaha mu’minah”. Yaitu riwayat Yahya ibn Yahya dari Malik ibn Anas[11].

(Riwayat ke tiga): Dengan redaksi “Aina Allah?”. Lalu si budak berisyarat dengan jari tangannya ke langit. Kemudian Rasulullah bertanya lagi kepadanya: “Man Ana? (siapa aku?)”; maka si budak berisyarat kepada Rasulullah dan ke langit. Maksud budak tersebut adalah: “Engkau Rasulullah”. Dalam riwayat ke tiga ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu[12].

Riwayat ke empat: Dengan redaksi “Man Rabbuki?” (siapa Tuhanmu?). Lalu si budak menjawab: “Allah Rabbi” (Allah Tuhanku). Kemudian Rasulullah bertanya: “Ma Dinuki?” (Apa agamamu?). Si budak menjawab: “Islam”. Rasulullah bertanya kembali: “Fa-man ana?” (Maka siapakah aku?). Si budak menjawab: “Anta Rasulullah” (Engkau Rasulullah)[13].

(Riwayat ke lima): Dengan redaksi: “Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Maka Apa bila mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan mereka beriman denganku (sebagai Rasul-Nya) maka mereka terpelihara dariku akan darah mereka…”[14].

(Riwayat ke enam): Dengan redaksi: “A-tasyhadin an la ilahah Illallah?” (Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?”. “Qalat: Na’am” (Si budak menjawab: “Iya”). Rasulullah bertanya: “A-tasyhadina anni Rasulullah?” (Apakah engkau bersaksi bahwa aku Rasul Allah?). “Qalat: Na’am” (Si budak menjawab: “Iya”). Rasulullah bertanya: “A-tuqinina bi al-ba’tsi ba’da al-mut?” (Apakah meyakini engkau dengan adanya peristiwa kebangkitan setelah kematian?). “Qalat: Na’am” (Si budak menjawab: “Iya”)[15].

(Riwayat ke tujuh): Dengan sanad-nya dari asy-Syuraid ibn Suwaid ats-Tsaqafi, –bukan dari Mu’awiyah ibn al-Hakam–. Dengan redaksi pertanyaan Rasulullah kepada budak tersebut: “Man Rabbuki?” (Siapa Tuhanmu?)[16].

﴾ 6 ﴿

(Riwayat ad-Darimi Dalam Kitab as-Sunan)

Dalam riwayat ad-Darimi dalam kitab Sunan dengan redaksi pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut: “A-tasyhadin an la ilahah Illallah?” (Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?”. “Qalat: Na’am” (Si budak menjawab: “Iya”). Lalu Rasulullah memerintah pemiliknya untuk memerdekakannya, karena budak tersebut seorang yang beriman[17].

[1] Kitab ini adalah bantahan terhadap berbagai faham ekstrim Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Ibnul Qayyim  adalah Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibnul Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah. Murid dari Ibnu Taimiyah. Bahkan hampir setiap jengkal faham ekstrim gurunyaselalu diikuti. Dalam salah satu karyanya berjudul Bada-i’ al-Fawa-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybih, yang dengan kedustaannya ia mengatakan bahwa bait-bait syair tersebut adalah hasil tulisan al-Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan: “Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia (Allah) duduk di atas Arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas Arsy tersebut bersama-Nya”. Lihat Bada-i’ al-Fawa-id, j. 4, h. 39-40

Tentu tulisan Ibn Qayyim ini jelas merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya al-Imam ad-Daraquthni adalah salah seorang yang sangat mengagungkan al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Jika seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybih, seperti anggapan Ibn Qayyim, maka tentunya ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.

Pada bagian lain dalam kitab yang sama Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan: ”Mereka yang berpendapat bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat kuat untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi adalah karena Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan Arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya”. Bada-i’ al-Fawa-id, j. 4, h. 24

Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zad al-Ma’ad. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi mengatakan bahwa bila seandainya langit tidak memiliki keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih dekat kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.

Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Bara-ah al-Asy’ariyyin dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibnul Qayyim di atas berkata: “Orang ini (Ibnul Qayyim) meyakini seperti apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan Arsy adalah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi maka tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya jika dibanding dengan besarnya Arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya mirip batu kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada saat yang sama berkeyakinan sama persis dengan keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di Arsy dan berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyabih, baik  dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi yang menurut Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut adalah dalam pengertian hakekat, bukan majaz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyabih tersebut tidak boleh ditakwil”. Lihat Bara-ah al-Asy’ariyyin, j. 2, h. 259-260

[2] Bahwa (1); riwayat Hadits al-Jariyah dengan redaksi “Aina Allah?” bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at (Ushul asy-Syari’ah). Karena prinsip dasar syari’at adalah bahwa seseorang tidak dihukumi muslim dengan hanya mengatakan “Allah bertempat di langit”. (2) Hadits al-Jariyah di atas oleh sebagian ulama hadits disebut sebagai hadits mudltharib. Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan beberapa versi yang saling bertentangan satu atas lainnya, dan tidak dapat dipadukan. (3) bahwa walaupun ada sebagian ulama yang tetap mengambil hadits riwayat Imam Muslim ini; namun mereka memahaminya dengan takwil. Mereka tidak memahami hadits al-Jariyah ini dalam makna literal (harfiah). Makna “Aina Allah?” artinya “Ma Mada Ta’zhimiki Lillah?” (Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Lalu jawaban si budak “Fis-sama’” artinya “Allah ‘Ali al-Qadr Jiddan” (Allah maha tinggi sekali pada derajat-Nya dan kedudukan-Nya).

[3] As-Sayf ash-Shaqil, h. 94-96

[4] As-Sayf ash-Shaqil, h. 94-96

[5] Sebab datangnya hadits ini adalah bahwa Mu’awiyah ibn al-Hakam suatu ketika di dalam shalat berjama’ah mendengar orang bersin. Maka ia mengatakan bagi orang tersebut “Yarhamukallah” (tasymit al-athis). Selesai shalat Rasulullah memanggilnya, berkata kepadanya: “Shalat kita ini tidak dibenarkan di dalamnya berbicara suatu apapun kepada manusia, kecuali shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan al-Qur’an”. Lihat Shahih Muslim, Bab; Tahrim al-Kalam Fis-shalat.

[6] Dalam aqidah adz-Dzahabi banyak dipengaruhi oleh aqidah gurunya; yaitu Ibnu Taimiyah. Karena itu dalam beberapa tulisannya ia bersikap nyinyir /mencemooh para ulama dari kaum Asy’ariyah, dan bahkan ia tidak bersikap baik dalam tulisannya kepada Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah; al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya karyanya berjudul Qam’u al-Mu’aridl Bi Nushrah Ibn Faridl menuliskan sebagai berikut:  “Anda jangan merasa heran dengan sikap sinis adz-Dzahabi. Sungguh adz-Dzahabi ini memiliki sikap benci dan sangat sinis terhadap al-Imam Fakhruddin ar-Razi, padalah ar-Razi adalah seorang Imam yang agung. Bahkan ia juga sangat sinis terhadap Imam yang lebih agung dari pada Fakhruddin ar-Razi, yaitu kepada al-Imam Abu Thalib al-Makki; penulis kitab Qut al-Qulub. Bahkan lebih dari pada itu, ia juga sangat sinis dan sangat benci terhadap al-Imam yang lebih tinggi lagi derajatnya dari pada Abu Thalib al-Makki, yaitu kepada al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Padahal siapa yang tidak kenal al-Asy’ari?! Namanya harum semerbak di seluruh penjuru bumi. Sikap buruk adz-Dzahabi ini ia tulis sendiri dalam karya-karyanya, seperti al-Mizan, at-Tarikh, dan Siyar A’lam an-Nubala’. Adakah anda akan menerima penilaian buruk adz-Dzahabi ini terhadap para ulama agung tersebut?! Demi Allah sekali-kali jangan, anda jangan pernah menerima penilaian adz-Dzahabi ini. Sebaliknya anda harus menempatkan derajat para Imam agung tersebut secara proporsional sesuai dengan derajat mereka masing-masing”[6]. Lihat ar-Raf’u Wa at-Takmil Fi al-Jarh Wa at-Ta’dil, h. 319-320 karya asy-Syaikh Abd al-Hayy al-Laknawi mengutip dari risalah Qam’u al-Mu’aridl karya al-Hafizh as-Suyuthi.

Tidak sedikit para ulama dalam karya mereka masing-masing menuliskan sikap buruk adz-Dzahabi ini terhadap al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, kaum Asy’ariyyah, dan secara khusus kebenciannya terhadap kaum sufi. Di antaranya salah seorang sufi terkemuka al-Imam Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i al-Yamani dengan karyanya berjudul Mir’ah al-Janan Wa ‘Ibrah al-Yaqzhan, dan al-Imam Abd al-Wahhab asy-Sya’rani dengan karyanya berjudul al-Yawaqit Wa al-Jawahir Fi Bayan ‘Aqa’id al-Akabir, termasuk beberapa karya yang telah kita sebutkan di atas.

Saya; Abu Fateh, penyusun buku yang lemah ini, –sama sekali bukan untuk tujuan mensejajarkan diri dengan para ulama di atas dalam menilai adz-Dzahabi, tapi hanya untuk saling mengingatkan di antara kita–, menambahkan: “Adz-Dzahabi ini adalah murid dari Ibn Taimiyah. Kebanyakan apa yang diajarkan oleh Ibn Taimiyah telah benar-benar diserap olehnya, tidak terkecuali dalam masalah aqidah. Di antara karya adz-Dzahabi yang sekarang ini merupakan salah satu rujukan utama kaum Wahhabiyyah dalam menetapkan akidah tasybih mereka adalah sebuah buku berjudul “al-‘Uluww Li al-‘Aliyy al-‘Azhim”. Buku ini wajib dihindari dan dijauhkan dari orang-orang yang lemah di dalam masalah akidah. Karena tidak sedikit di antara generasi kita sekarang yang sesat karena ajaran-ajaran Ibn Taimiyah dan faham-faham Wahhabiyyah karena menjadikan buku adz-Dzahabi ini sebagai salah satu rujukan dalam menetapkan akidah tasybih mereka. Hasbunallah.

Syekh Zahid al-Kawtsari menuliskan: “Engkau akan mengetahui keadaan sebenarnya adz-Dzahabi di bagian akhir dari kitabnya (al-‘Uluww). Karena itu jangan engkau hiraukan pengrusakannya dan pengkaucauannya dalam bab ini (hadits al-Jariyah)”. Lihat Takmilah as-Sayf ash-Shaqil, h. 95

 

[7] Khalq Af’al al-‘Ibad, h. 58. Lihat lampiran.

[8] al-Asma’ wa ash-Shifat, h. 422. Lihat lampiran.

[9] Lihat lampiran as-Sunan al-Kubra, h. 387

[10] As-Sunan al-Kubra, bab ‘Itq al-mu’minah fi azh-Zhihar, j. 7, h. 387 (Bab memerdekakan seorang budak perempuan dalam zhihar)

[11] As-Sunan al-Kubra, bab ‘Itq al-mu’minah fi azh-Zhihar, j. 7, h. 387

[12] As-Sunan al-Kubra, Bab I’taq al-Kharsa’ Idza Asyarat Bi al-Iman Wa shallat, j. 7, h. 388 (Bab memerdekan seorang budak perempuan bisu jika ia berisyarat dengan iman dan ia shalat)

[13] As-Sunan al-Kubra, Bab I’taq al-Kharsa’ Idza Asyarat Bi al-Iman Wa shallat, j. 7, h. 388

[14] As-Sunan al-Kubra, Bab Washf al-Islam, j. 7, h. 388 (Bab mensifati keislaman seseorang). Hadits ini sejalan dengan hadits mutawatir; yang menetapkan bahwa seseorang dihukumi sebagai Muslim apa bila ia mengucapkan dua kalimat syahadat)

[15] As-Sunan al-Kubra, Bab Washf al-Islam, j. 7, h. 388 (Bab mensifati keislaman seseorang). Inilah redaksi hadits al-Jariyah yang sesuai dengan dasar-dasar akidah, dan sejalan dengan hadits mutawatir sebelumnya; di mana seseorang dihukumi muslim ketika dia bersaksi dengan dua kalimat syahadat. Redaksi hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad.

[16] As-Sunan al-Kubra, Bab Washf al-Islam, j. 7, h. 388

[17] Sunan ad-Darimi, j. 2, h. 187. Lihat lampiran.

SebelumnyaBagian 3 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa TempatSesudahnyaBagian 5 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat
Status LokasiWakaf
Tahun Berdiri2019