Bagian 5 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat
Penjelasan Bahwa Ulama Empat Madzhab
Mentakwil Hadits al-Jariyah
Dan Sepakat Meyakini Allah Ada Tanpa Tempat
Pada bab ini berisi kutipan-kutipan penjelasan para Ulama empat madzhab dalam menetapkan bahwa hadits al-Jariyah tidak boleh dipahami dalam makna zahirnya. Tetapi untuk memehamainya secara benar wajib dengan takwil. Pada bab ini juga sekaligus penjelasan dari Ulama kita tentang bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.
﴾ 1 ﴿
(Penjelasan Ibnul Jawzi Dalam al-Baz al-Asy-hab)
Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi, salah seorang pemuka madzhab Hanbali, (w 597 H) dalam kitab al-Baz al-Asy-hab al-Munaqqidl ‘Ala Mukhalif al-Madzhab, setelah mengutip hadits al-Jariyah riwayat Imam Muslim, menuliskan sebagai berikut:
قلت: قد ثبت عند العلماء أن الله تعالى لا يحويه السماء والأرض ولا تضمه الأقطار، وإنما عرف بإشارتها تعظيم الخالق عندها. اهـ
[Maknanya]: Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah [artinya Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah; karena tempat dan arah adalah makhluk-Nya]. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan Allah[1].
Artinya bahwa Allah sangat tinggi derajat-Nya. Dan pertanyaan Rasulullah dengan redaksi “Aina” adalah dalam makna “Ma Mada Tadzimiki Lillah?”; artinya “Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”, oleh karena kata “Aina” digunakan tidak hanya untuk menanyakan tempat, tapi juga biasa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat.
﴾ 2 ﴿
(Penjelasan al-Qurthubi Dalam at-Tidzkar)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Farah al-Qurthubi al-Andalusi (w 671 H) dalam kitab at-Tidzkar Fi Afdlal al-Adzkar menuliskan bahwa langit dan bumi, dan segala apa yang ada di dalamnya, serta segala apa yang ada di antara keduanya; semua itu adalah milik Allah dan ciptaan-Nya. Sebagaimana tersurat dalam QS. al-Baqarah: 284.
Simak tulisan al-Qurthubi berikut ini:
لأن كل من في السموات والأرض وما فيهما وما بينهما خلق الله تعالى وملك له، وإذا كان ذلك كذلك يستحيل على الله أن يكزن في السماء أو في الأرض، إذ لو كان في شيء لكان محصورا أو محدودا، ولو كان ذلك لكان محدثا، وهذا مذهب أهل الحق والتحقيق، وعلى هذه القاعدة قوله تعالى (أأمنتم من في السماء) الملك: 16-17، وقوله صلى الله عليه وسلم للجارية: أين الله؟ قالت: في السماء، ولم ينكر عليها، وما كان مثله ليس على ظاهره بل هو مؤول تأويلات صحيحة قد أبداها كثير من أهل العلم في كتبهم. اهـ
[Maknanya]: “Karena sesuangguhnya setiap apa yang ada di langit dan di bumi, dan segala apa yang ada dalam keduanya, serta segala segala apa yang ada di antara keduanya adalah ciptaan Allah dan milik bagi-Nya. Dan bila demikian adanya maka mustahil Allah berada (bertempat) di langit atau berada (bertempat) di bumi. Karena jika Allah berada di dalam sesuatu maka berarti Dia dibatasi (memiliki bentuk dan ukuran), dan jika demikian adanya maka berarti Dia baharu. Inilah pendapat Ahlul Haq dan Ahlut-Tahqiq. Dan di atas kaedah ini pemahaman firman Allah: “A-amintum man Fis-sama’” (QS. al-Mulk: 16). Demikian pula pemahaman sabda Rasulullah bagi budak perempuan “Aina Allah?”, lalu budak tersebut menjawab: “Fis-sama’”, dan Rasulullah tidak mengingkari atasnya; serta beberapa nash (teks) yang seperti ini; maka itu bukan dalam makna zahirnya. Tetapi dia ditakwil dengan takwil-takwil yang benar, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka”[2].
﴾ 3 ﴿
(Penjelasan an-Nawawi Dalam Syarh Shahih Muslim)
Al-Imam al-Hafizh Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf an-Nawawi, salah seorang pemuka madzhab Syafi’i (w 676 H) dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj menjelaskan:
قوله صلى الله عليه وسلم : أين الله؟ قالت: في السماء، قال: من أنا، قالت: أنت رسول الله، قال: أعتقها فإنها مؤمنة، هذا الحديث من أحاديث الصفات، وفيها مذهبان تقدم ذكرهما مرات في كتاب الإيمان، أحدهما؛ الإيمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيهه عن سمات المخلوقات، والثاني تأويله بما يليق به، فمن قال بهذا قال؛ كان المراد امنتحانها هل هي موحدة، تقرّ بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده، وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة، وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة، بل ذلك لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين؛ أو هي من عبدة الأوثان، العابدين للأوثان التي بين أيديهم، فلما قالت: في السماء، علم أنها موحدة وليست عابدة الأوثان. اهـ
“Sabda Rasulullah: “Aina Allah?”, si budak menjawab: “Fis-sama’”. Rasulullah berkata: Siapa aku?, si budak menajwab: “Engkau Rasulullah”. Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia karena dia seorang yang beriman”. Ini hadits dari hadits-hadits tentang sifat Allah. Di dalamnya terdapat dua pendapat ulama; telah lalu penjelasan dua pendapat tersebut berulang-ulang pada kitab al-Iman.
Pendapat pertama; Beriman dengannya dari tanpa tenggelam dalam memahami maknanya; bersama meyakini bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun, Dia maha suci dari segala sifat-saifat makhluk.
Pendapat ke dua; Mentakwilnya dengan makna yang sesuai dengannya. Ulama yang mengambil metode takwil ini mengatakan bahwa maksud dari Rasulullah dengan pertanyaannya tersebut adalah untuk mengujinya; apakah dia mentauhidkan Allah? Apakah dia mengakui bahwa sang Pencipta, Yang maha mengatur, dan maha berbuat adalah hanya Allah? Bahwa Dia Allah yang memohon kepadanya oleh seorang yang berdoa maka ia menghadap ke langit; sebagaimana seorang yang shalat dalam shalatnya ia menghadap ke arah ka’bah?! Bukan artinya bahwa Allah bertempat (diliputi/di dalam) di langit, sebagaimana bukan berarti bahwa Allah bertempat di dalam Ka’bah; tetapi karena langit adalah kiblat bagi orang yang bedoa, sebagaimana ka’bah adalah kiblat bagi orang-orang yang shalat. Ataukah si budak tersebut seorang penyembah berhala? Dari para penyembah berhala-berhala yang ada di hadapan mereka?! Maka ketika si budak tersebut mengatakan “fis-sama’” diketahuilah bahwa ia seorang yang mentauhidkan Allah, bukan penyembah berhala.
Al-Qadli Iyadl berkata: Tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang Islam seluruhnya; para ahli fiqh mereka, para ahli hadits, para teolog (ulama Kalam), para ulama dan hingga orang-orang awamnya; bahwa zahir nash (teks-teks) yang menyebutkan bahwa Allah berada di langit, seperti firman Allah: “A-amintum man fis-sama’” (QS. al-Mulk: 16) dan semacam ayat ini; maka itu semua itu bukan dalam makna zahirnya, tetapi itu semua ditakwil menurut ulama tersebut”[3].
﴾ 4 ﴿
(Penjelasan ath-Thibiy Dalam Kitab Syarh al-Misykat)
Al-Imam Husain ibn Muhammad ath-Thibiy (w 743 H) dalam menjelaskan hadits tentang budak perempuan yang dibawa oleh salah seorang sahabat Anshar ke hadapan Rasulullah (Hadits al-Jariyah) menuliskan sebagai berikut:
قوله لها: أين الله؟ وفي رواية: أين ربك؟ لم يُرِد السؤال عن مكانهفإنه منزه عنه، والرسول صلوات الله عليه أعلى من أن يسأل أمثال ذلك، بل أراد أن يتعرف أتها موحدة أو مشركة، لأن كفار العرب كانوا يعبدون الأصنام، فكان لكل قوم منهم صنم مخصوص يكون فيما بينهم يعبدونه ويعظمونه، ولعل سفهاؤهم وجهالهم كانوا لا يعرفون معبودا غيره، فأراد أ يتعرف أنها ما تعبد، فلما قالت: في السماء، وفي رواية: أشارت إلى السماء فهم منها أنها موحدة؛ تريد بذلك نفي الآلهة الأرضية التي هي الأصنام، لا إثبات السماء مكانا له، تعالى عما يقول الظالمون علوا كبيرا. اهـ
[Maknanya]: “Dan perkataan Rasulullah baginya (budak perempuan); “Aina Allah?”, dan satu riwayat “Aina Rabbuki?”; bukan untuk bermaksud menanyakan tempat Allah, karena sesungguhnya Allah maha suci darinya. Sesungguhnya Rasulullah tidak akan bertanya untuk tujuan semacam itu. Tetapi tujuan untuk mengetahui apakah budak tersebut seorang yang beriman atau seorang musyrik. Karena orang-orang kafir Arab ketika itu adalah orang-orang penyembah berhala. Saat itu setiap kaum dari mereka memiliki berhala masing-masing yang mereka sembah dan mereka agungkan (tuhankan). Bisa saja orang yang paling bodoh sekalipun dari mereka tidak mengetahui tuhan apapun kecuali berhala yang ada pada mereka itu. Maka Rasulullah bermaksud untuk mengetahui bahwa budak tersebut tidak menyembah berhala-berhala. Dan ketika budak tersebut berkata: “Fis-sama’”, dalam satu riwayat “Asyarat Ilas-sama’” dipahami darinya bahwa dia seorang yang bertauhid. Beudak tersebut bertujuan menafikan (mengingkari) sesembahan orang-orang kafir di bumi dari berhala-berhala. Bukan untuk menetapkan bahwa langit sebagai tempat bagi Allah. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang kafir dengan kesucian yang agung”[4].
﴾ 5 ﴿
(Penjelasan Ali al-Qari Dalam Kitab Mirqat al-Mafatih)
Syekh Ali al-Qari dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih menuliskan sebagai berikut:
“… (فقال لها) أي للجارية (رسول الله صلى الله عليه وسلم: أين الله؟) وفي رواية: أين ربك؟ أي أين مكان حكمه وأمره وظهور ملكه وقدرته (فقالت: في السماء). قال القاضي هو على معنى الذي جاء أمره ونهيه من قبل السماء لم يرد به السؤال عن المكان فإنه منزه عنه كما هو منزه عن الزمان”. اهـ
[Maknanya]: “… maka ia (Rasulullah) berkata baginya (artinya bagi budak perempuan); “Aina Allah?”, dalam satu riwayat “Aina Rabbuki?”; [–maknanya bukan untuk menanyakan tembat bagi Allah, tetapi–] yang dimaksud: “Di mana tempat ketetapan hukmu-Nya, dan perintah-Nya, serta penampakan [tanda-tanda] kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya?”, lalu si budak menjawab: “Fis-sama’”. Al-Qadli ‘Iyadl berkata bahwa yang dimaksud [perkataan Rasulullah] adalah datangnya perintah-Nya dan larangan-Nya dari arah langit. Bukan tujuannya untuk menanyakan tampat bagi Allah, karena Allah suci dari tempat, sebagaimana suci dari zaman”[5].
Kemudian Syekh Ali al-Qari mengutip perkataan al-Qadli Iyadl al-Maliki, –seperti yang telah dikutip oleh al-Imam an-Nawawi dan ath-Thibiy di atas– bahwa perkataan Rasulullah bagi budak perempuan tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah budak tersebut seorang yang beriman atau seorang musyrik?! Karena orang-orang kafir Arab ketika itu adalah orang-orang penyembah berhala. Lihat lampiran.
﴾ 6 ﴿
(Penjelasan al-Bajiy Dalam Kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwaththa’)
Al-Qadli Abu al-Walid Sulaiman ibn Khalaf al-Bajiy al-Maliki al-Andalusi (w 494 H) dalam Kitab al-Muntaqa Syarh al-Muwath-tha’ berkata:
(فصل) وقوله للجارية أين الله فقالت في السماء لعلها تريد وصفه بالعلو وبذلك يوصف كل من شأنه العلو فيقال مكان فلان في السماء بمعنى علو حاله ورفعته وشرفه. اهـ
[Maknanya]: “(Pasal); Dan perkataan Rasulullah bagi budak perempuan “Aina Allah?”, lalu si budak menjawab: “Fis-sama’”, kemungkinan yang dimaksud olehnya (si budak) adalah untuk mensifati Allah dengan ketinggian derajat. Dan [diungkapkan] dengan seperti itulah bagi setiap yang memiliki derajat yang tinggi. Maka dalam [bahasa Arab] dikatakan: “Makan fulan fis-sama’”; artinya “si fulan memiliki kedudukan dan derajat serta kemuliaan yang sangat tinggi”[6].
﴾ 7 ﴿
(Penjelasan as-Suyuthi Dalam Tanwir al-Hawalik)
Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab Tanwir al-Hawalik Syarh ‘Ala Muwath-tha’ Malik menuliskan sebagai berikut:
(أين الله؟ فقالت في السماء) قال ابن عبد البر هو على حد قوله تعالى (أأمنتم من في السماء) الملك: 16، (إليه يصعد الكلم الطيب) فاطر: 10، وقال الباجي: لعلها تريد وصفه بالعلو وبذلك يوصف كل من شأنه العلو فيقال مكان فلان في السماء بمعنى علو حاله ورفعته وشرفه.اهـ
[Maknanya]: “[Makna hadits] “Aina Allah?, fa Qalat: Fis-sama’”; berkata Ibnu Abdil Barr; itu serupa dengan pemahaman firman Allah: “A-amintum Man Fis-sama’ (QS. al-Mulk: 16), dan firman Allah “Ilayhi Yash’ad al-Kalim ath-Thayyib” (QS. Fathir: 10). Al-Bajiy berkata: “Kemungkinan yang dimaksud olehnya (si budak) adalah untuk mensifati Allah dengan ketinggian derajat. Dan [diungkapkan] dengan seperti itulah bagi setiap yang memiliki derajat yang tinggi. Maka dalam [bahasa Arab] dikatakan: “Makan fulan fis-sama’”; artinya “si fulan memiliki kedudukan dan derajat serta kemuliaan yang sangat tinggi”[7].
[1] Al-Baz al-Asy-hab, hadits ke 17, h. 93
[2] At-Tidzkar Fi Afdlal al-Adzkar, h. 22-23
[3] Syarh Shahih Muslim, j. 5, h. 27. Tulisan an-Nawawi ini dikutip dengan lengkap oleh as-Sindiy dalam Hasyiyah Sunan an-Nasa’i Bi Syarh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi. Lihat kitab, j. 3, h. 20-21
[4] Syarh ath-Thibiy ‘Ala Misykat al-Mashabih, j. 6, h. 340-341
[5] Mirqat al-Mafatih, j. 6, h. 454
[6] Al-Muntaqa Syarh al-Muwath-tha’, j. 6, h. 274
[7] Tanwir al-Hawalik, j. 3, h. 6