Bagian 6 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat
Penjelasan Ulama Bahwa Kata “Aina” Dalam Bahasa Arab Tidak Hanya Dipakai Untuk Menanyakan Tempat, Tetapi Juga Biasa Dipergunakan Untuk Menanyakan Kedudukan
Berikut ini adalah penjelasan para Ulama bahwa kata “Aina” dalam bahasa Arab tidak hanya berlaku untuk menanyakan tempat dan arah. Tetapi uga biasa dipergunakan untuk menetapkan derajat dan kedudukan. Apa yang kita kutip ini hanya sebagian kecil saja; dari sekian banyak penjelasan para ulama dalam tema terkait.
﴾ 1 ﴿
(Penjelasan Ibn Furak Dalam Musykil al-Hadits)
Kesimpulan Imam Ibn Furak dalam kitab Musykil al-Hadits Wa Bayanuh adalah bahwa dalam bahasa Arab penggunaan kata “Aina” tidak hanya berlaku untuk menanyakan tempat saja, tetapi juga biasa dipergunakan untuk menanyakan derajat dan kedudukan.
Beliau membuat catatan yang sangat berharga sebagai berikut (lihat teks arab pada lapiran):
إن معنى قوله صلى الله عليه وسلم أين الله استعلام لمنزلته وقدره عندها وفي قلبها، وأشارت إلى السماء ودلت بإشارتها على أنه في السماء على قول القائل إذا أراد أن يخبر عن رفعة وعلو منزلة فلان في السماء؛ أي هو رفيع الشأن عظيم المقدار. كذلك قولها في السماء على طريق الإشارة إليها تنبيها عن محله في قلبها ومعرفتها به. وإنما أشارت إلى السماء لأنها كانت خرساء، فدلت بإشارتها على مثل دلالة العبارة، على نحو هذا المعنى، وإذا كان كذلك لم يجز أن يحمل على غيره مما يقتضي الحد والتشبيه والتمكين في المكان والتكييف. اهـ
[Maknanya]: “Sesungguhnya makna sabda Rasulullah; “Aina Allah?” adalah untuk mencari tahu/bertanya tentang derajat/kedudukan Allah menurut budak perempuan tersebut dalam apa yang dalam hatinya. Lalu budak tersebut berisyarat ke langit adalah sebagai penggunaan kata demikian dalam bahasa; bahwa jika seseorang hendak mengungkapkan ketinggian derajat adalah dengan mengatakan “Fulan Fis-sama’”. Artinya; “Sangat tinggi sekali kedudukan dan derajatnya. –“Bukan artinya si fulan bertempat di langit–”. Maka demikian pula dengan budak tersebut, ia mengungkapkan dengan jalan isyarat ke langit adalah sebagai ungkapan hatinya dalam cara mengagungkan Allah. Hanya saja bahwa budak tersebut berisyarat karena dia seorang yang bisu. Dengan demikian maka isyaratnya adalah untuk menunjukan ungkapan kata-katanya. Inilah maknanya. Dan jika demikian maka hadits al-Jariyah ini tidak boleh dipahami kepda selain makna tersebut di atas; dari pemahaman –sesat– yang menetapkan adanya batasan/bentuk bagi Allah, adanya keserupaan, dan berada pada tempat, dan bersifat dengan sifat-sifat benda”[1].
﴾ 2 ﴿
(Penjelasan Fakhruddin ar-Razi Dalam Kitab Asas at-Taqdis)
Al-Imam al-Mutakallim Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Asas at-Taqdis Fi ‘Ilm al-Kalam menuliskan sebagai berikut (lihat teks arab pada lapiran):
وأما الخبر الثالث؛ فجوابه أن لفظ أين كما يجعل سؤالا عن المكان فقد يجعل سؤالا عن المنزلة والدرجة، يقال أن فلان من فلان، فلعل السؤال كان عن المنزلة، وأشار بها إلى السماء أي هو رفيع القدر جدا، وإنما اكتفى منها بتلك الإشارة لقصور عقلها وقلة فهمها. اهـ
[Maknanya]: “Adapun khabar ke tiga maka jawabnya; Bahwa lafazh Aina sebagaimana biasa dipergunakan untuk menanyakan tempat; demikian pula biasa dipergunakan untuk menanyakan tentang kedudukan dan derajat. Dalam bahasa Arab biasa dikatakan “Aina Fulan min fulan?” (Artinya; di mana kedudukan fulan dari si fulan?). Maka kemungkinannya bahwa pertanyaan (kepada budak) itu adalah tentang kedudukan dan derajat. Lalu si budak berisyarat ke langit; pengertiannya adalah bahwa Allah sangat tinggi sekali derajat-Nya dan kedudukan-Nya. Bahwa si budak tersebut hanya berisyarat ke langit oleh karena lemah akalnya dan sedikit pemahamannya (tetapi itu bukan untuk menetapkan Allah bertempat di langit)”[2].
﴾ 3 ﴿
(Penjelasan Abu Bakr Ibnul Arabi Dalam Kitab al-Qabas)
Dalam Kitab al-Qabas Fi Syarh Mawath-tha’ Malik ibn Anas, Abu Bakr ibnul Arabi al-Ma’afiri menjelaskan bahwa perkataan budak “Fis-sama’” bukan untuk menetapkan bahwa Allah bertempat di langit. Beliau menegaskan bahwa ketetapan iman adalah seperti yang jelaskan oleh Rasulullah, yaitu mengucakan dua kalimat syahadat.
Simak tulisan beliau pada j. 3, hlm. 967 dari Kitab al-Qabas:
فإن قيل: فقد قال لها أين الله؟ وأنتم لا تقولون بالأينية والمكان، قلنا: أما المكان فلا نقول به وأما السؤال عن الله بأين فنقول بها، لأنها سؤال عن المكان وعن المكانة، والنبي صلى الله عليه وسلم قد أطلق اللفظ وقصد به الواجب لله وهو شرف المكانة التي يسأل عنها بأين، ولم يجز أن يريد المكان لأنه محال عليه. اهـ
[Maknanya]: “Jika dikatakan: “Rasulullah berkata kepada budak “Aina Allah?”, sementara kalian tidak menetapkan sifat-sifat kebendaan/di mana, dan tidak menetapkan tempat?!”. (Jawab) Kita katakan: “Kita tidak menetapkan tampat –bagi Allah–. Adapun bila kita mengatakan “Aina Allah?”; itu tidak mengapa. Dan kata “Aina”, kadang dipergunakan untuk mengungkapkan tempat, juga untuk mengunkapkan kedudukan. Dalam hal ini Rasulullah menggunakan kata “Aina” dengan mutlak. Tentu yang dimaksud adalah perkara yang wajib bagi-Nya –bukan untuk menanyakan tempat–; yaitu untuk menanyakan kemuliaan kedudukan dan keagungan. Itulah tujuan yang ditanyakan kepada budak tersbut. –Redaksi hadits ini– tidak boleh dipahami dalam makna pertanyaan tempat. Karena tempat itu mustahil atas Allah”[3].
﴾ 4 ﴿
(Penjelasan Abu Bakr Ibnul Arabi Dalam Kitab Syarh Shahih at-Tirmidzi)
Dalam kitab Syarh Shahih at-Tirmidzi; al-Imam Abu Bakr Ibnul Arabi al-Maliki menuliskan dalam Abwab at-Tafsir sebagai berikut:
قوله (أين كان ربنا) فأقره النبي صلى الله عليه وسلم على السؤال عن الله سبحانه وتعالى بأين وهي كلمة موضوعة للسؤال عن المكان في عرف السؤال ومشهورة، وقد سأل بها النبي السوداء في الصحيح من الصحيح وغيره، فقال لها أين الله، والمراد بالسؤال بها عنه تعالى المكانة فإن المكان يستحيل عليه. اهـ
[Maknanya]: “Perkataan (perawi) “Aina Kana Rabbuna?”; yang kemudian pertanyaan tersebut disetujui (tidak diinkari) oleh Rasulullah. Redaksinya menggunakan kata “aina”, yang itu adalah kata yang biasa dan populer dipakai untuk menanyakan tempat. Dan Rasulullah telah ditanya dengan kata “aina” –seperti ini– dalam hadits al-Jariyah as-Sawda’ (hamba sahaya perempuan hitam), hadits sahih, dalam kitab Shahih dan lainnya. Rasulullah berkata kepada budak perempuan tersebut “Aina Allah?”. Dan yang dimaksud dengan pertanyaan tersebut kepadanya adalah untuk menanyakan kedudukan (Artinya; “bagaimana ia mengagungkan Allah?”). Oleh karena mustahil Allah bertempat”[4].
﴾ 5 ﴿
(Penjelasan Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini Dalam Kitab at-Tabshir Fid-Din)
Al-Imam al-Mutakallim Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (w 371 H) dalam kitab at-Tabshir Fid-Din Wa Tamyiz al-Firqah an-Najiyah ‘An al-Firaq al-Halikin menegaskan bahwa Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “Di mana” –dalam makna tempat–. Karena Allah maha suci dari sifat-sifat benda, bentuk dan ukuran, serta maha suci dari tempat an arah. Berikut ini di antara catatan beliau tentang itu, mengatakan:
ومن لا مكان له لا يقال فيه أين كان، وقد ذكرنا من كتاب الله تعالى ما يدل على التوحيد ونفي التشبيه ونفي المكان والجهة ونفي الابتداء والأولية، وقد جاء فيه عن أمير المؤمنين علي رضي الله عنه أشفى البيان حين قيل له: أين الله؟ فقال: إن الذي أين الأين لا يقال له أين. فقيل له كيف الله؟ فقال: إن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف. اهـ
[Maknanya]: “Dan Dia (Allah) ada tanpa tempat, maka tidak dikatakan bagi-Nya “Di mana Dia?”. Kita telah menyebutkan dari al-Qur’an apa yang menunjukan kepada keyakinan Tauhid (Bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun), menafikan / meniadakan keserupaan dari-Nya, menafikan tempat dan arah, dan menafikan keberlmulaan dari-Nya. Dan telah datang dari Amir al-Mu’minin Ali –semoga ridla Allah tercurah bagiya—penjelasan yang menyeluruh (sempurna), saat beliau ditanya: “Aina Allah? (Di mana Allah?)”, maka beliau menjawab: “Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak dikatakan bagi-Nya di mana Dia?”. Dan ketika ditanya “Kayfa Allah? (Bagaimana Allah?), beliau menjawab: “Sesungguhnya yang menciptakan sifat-sifat benda tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana Dia?”[5].
﴾ 6 ﴿
(Penjelasan Syekh Muhammad Darwisy al-Hut)
As-Sayyid Syekh Muhammad Darwisy al-Hut al-Bayruti dalam karyanya berjudul Rasa-il Fi Bayan Aqa-id Ahlissunnah wal Jama’ah menegaskan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa zaman. Berikut adalah tulisan beliau dalam karyanya tersebut:
ولا يتصف بمكان ولا زمان ولا هيئة ولا حركة ولا سكون ولا قيام ولا قعود ولا جهة ولا بعلو ولا بسفل ولا بكونه فوق العالم أو تحته ولا يقال كيف هو ولا أين هم. اهـ
[Maknanya]: “Dan Dia (Allah) tidak bersifat dengan tempat dan zaman, tidak memiliki bentuk (ukuran), tidak bergerak, tidak diam, tidak berdiri, tidak duduk, tidak memiliki arah, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di atas alam atau di bawahnya, dan tidak dikatakan bagi-Nya “Bagaimana Dia?”, serta tidak dikatakan bagi-Nya bagaimanakah Dia?”[6].
[1] Musykil al-Hadits Wa Bayanuh, h. 158-160. Lihat lampiran.
[2] Asas at-Taqdis Fi ‘Ilm al-Kalam, h. 126
[3] Kitab al-Qabas, j. 3, h. 967. Lihat lampiran.
[4] Syarh at-Tirmidzi, Abwab at-tafsir; j. 11, h. 273
[5] At-Tabshir Fid-Din, h. 144
[6] Rasa-il Fi Bayan Aqa-id Ahlussunnah Wal Jamah, h. 63