Bagian 8 | Hadits Budak Perempuan Hitam (Hadîts al-Jâriyah as-Sawdâ’) Dan Penjelasan Allah Ada Tanpa Tempat
Penjelasan Bahwa Langit Adalah Kiblat Doa Bukan Tempat Bagi Allah
Berikut ini kita kutip beberapa pendapat ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam menjelaskan bahwa ketika kita berdoa dengan menghadapkan telapak tangan ke arah langit adalah karena langit kiblat doa, bukan karena langit sebagai tempat bagi Allah.
﴾ 1 ﴿
(Penjelasan Abu Manshur al-Maturidi dalam Kitab al-Tauhid)
Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi; Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, dalam salah satu karyanya berjudul Kitab al-Tauhid menuliskan sebagai berikut:
وأما رفع الأيدي إلى السماء فعلى العبادة، ولله أن يَتعبَّد عبادَه بما شاء، ويوجههم إلى حيث شاء، وإن ظَنَّ من يظن أن رفع الأبصار إلى السماء لأن الله من ذلك الوجه إنما هو كظن من يزعم أنه إلى جهة أسفل الأرض بما يضع عليها وجهه متوجهًا في الصلاة ونحوها، وكظن من يزعم أنه في شرق الأرض وغربها بما يتوجه إلى ذلك في الصلاة، أو نحو مكة لخروجه إلى الحج”
[Maknanya]: “Adapun menghadapkan telapak tangan ke arah langit dalam berdoa adalah perintah ibadah. Dan Allah memerintah para hamba untuk beribadah kepada-Nya dengan jalan apapun yang Dia kehendaki, juga memerintah mereka untuk menghadap ke arah manapun yang Dia kehendaki. Jika seseorang berprasangka bahwa Allah di arah atas dengan alasan karena seseorang saat berdoa menghadapkan wajah dan tangannya ke arah atas, maka orang semacam ini tidak berbeda dengan kesesatan orang yang berprasangka bahwa Allah berada di arah bawah dengan alasan karena seseorang yang sedang sujud menghadapkan wajahnya ke arah bawah lebih dekat kepada Allah. Orang-orang semacam itu sama sesatnya dengan yang berkeyakinan bahwa Allah di berbagai penjuru; di timur atau di barat sesuai seseorang menghadap di dalam shalatnya. Juga sama sesatnya dengan yang berkeyakinan Allah di Mekah karena Dia dituju dalam ibadah haji”[1].
﴾ 2 ﴿
(Penjelasan an-Nawawi Dalam Syarh Shahih Muslim)
Al-Imam al-Hafizh Abu Zakariya Muhyiddin ibn Syaraf an-Nawawi, salah seorang pemuka madzhab Syafi’i (w 676 H) dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn al-Hajjaj menjelaskan:
والثاني تأويله بما يليق به، فمن قال بهذا قال؛ كان المراد امنتحانها هل هي موحدة، تقرّ بأن الخالق المدبر الفعال هو الله وحده، وهو الذي إذا دعاه الداعي استقبل السماء كما إذا صلى المصلي استقبل الكعبة، وليس ذلك لأنه منحصر في السماء كما أنه ليس منحصرا في جهة الكعبة، بل ذلك لأن السماء قبلة الداعين كما أن الكعبة قبلة المصلين
[Maknanya]: Pendapat ke dua; mentakwilnya dengan makna yang sesuai dengannya. Ulama yang mengambil metode takwil ini mengatakan bahwa maksud dari Rasulullah dengan pertanyaannya tersebut adalah untuk mengujinya; apakah dia mentauhidkan Allah? Apakah dia mengakui bahwa sang Pencipta, Yang maha mengatur, dan maha berbuat adalah hanya Allah? Bahwa Dia Allah yang memohon kepadanya oleh seorang yang berdoa maka ia menghadap ke langit; sebagaimana seorang yang shalat dalam shalatnya ia menghadap ke arah ka’bah?! Bukan artinya bahwa Allah bertempat (diliputi/di dalam) di langit, sebagaimana bukan berarti bahwa Allah bertempat di dalam Ka’bah; tetapi karena langit adalah kiblat bagi orang yang bedoa, sebagaimana ka’bah adalah kiblat bagi orang-orang yang shalat.
﴾ 3 ﴿
(Penjelasan Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin)
Al-Imam al-Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam menjelaskan perkataan al-Imam al-Ghazali di atas dalam karya fenomenalnya berjudul Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin menuliskan:
فإن قيل: إذا كان الحقُّ سبحانه ليس في جهةٍ، فما معنى رفع الأيدي بالدعاء نحو السماء؟ فالجواب: من وجهين ذكرهما الطُّرْطُوشي: أحدهما: أنه محلُّ التعبُّد، كاستقبالِ الكعبةِ في الصلاة، وإلصاق الجبهةِ بالأرضِ في السجود، مع تنزُّهه سبحانه عن محلِّ البيت ومحلِّ السجود، فكأنَّ السماءَ قبلةُ الدعاء. وثانيهما: أنها لما كانَتْ مهبِط الرزقِ والوحيِ وموضعَ الرحمةِ والبركةِ، على معنى أن المطرَ يَنزِلُ منها إلى الأرضِ فيخرج نباتًا، وهي مَسكنُ الملإ الأعلى، فإذا قَضَى اللهُ أمرًا ألقاه إليهم، فيُلقونه إلى أهلِ الأرض، وكذلك الأعمال تُرفَع، وفيها غيرُ واحد من الأنبياء، وفيها الجنةُ التي هي غايةُ الأماني، فلما كانت مَعْدِنًا لهذه الأمور العِظام ومَعرِفةَ القضاءِ والقَدَر، تَصرَّفَت الهِممُ إليها، وتوفَّرَت الدواعي عليها
[Maknanya]: “Jika dikatakan bahwa Allah ada tanpa arah, maka apakah makna mengangkat telapak tangan ke arah langit ketika berdoa? Jawab: Terdapat dua segi dalam hal ini sebagaimana dituturkan oleh al-Thurthusi.
Pertama: Bahwa hal tersebut untuk tujuan ibadah. Seperti halnya menghadap ke arah Ka’bah dalam shalat, atau meletakan kening di atas bumi saat sujud, padahal Allah Maha Suci dari bertempat di dalam Ka’bah, juga Maha Suci dari bertempat di tempat sujud. Dengan demikian langit adalah kiblat dalam berdoa.
Kedua: Bahwa langit adalah tempat darinya turun rizki, wahyu, rahmat dan berkah. Artinya dari langit turun hujan yang dengannya bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhan. Langit juga tempat yang agung bagi para Malaikat (al-Mala’ al-A’la). Segala ketentuan yang Allah tentukan disampaikannya kepada para Malaikat, lalu kemudian para Malaikat tersebut menyampaikannya kepada penduduk bumi. Demikian pula arah langit adalah tempat diangkatnya amalan-amalan yang saleh. Sebagaimana di langit tersebut terdapat beberapa Nabi dan tempat bagi surga (yang berada di atas langit ke tujuh) yang merupakan puncak harapan. Maka oleh karena langit itu sebagai tempat bagi hal-hal yang diagungkan tersebut di atas, termasuk pengetahuan Qadla dan Qadar, maka titik konsen dalam praktek ibadah di arahkan kepadanya”[2].
Pada bagian lain dalam kitab yang sama, al-Hafizh al-Zabidi menuliskan:
وإنما اختُصَّت السماء برفع الأيدي إليها عند الدعاء لأنها جُعِلَت قِبْلة الأدعية كما أن الكعبة جُعِلَت قِبْلة للمصلي يستقبلها في الصلاة، ولا يقال إن الله تعالى في جهة الكعبة
[Maknanya]: “Langit dikhusukan dalam berdoa agar tangan diarahkan kepadanya karena langit-langit adalah kiblat dalam berdoa, sebagaimana ka’bah dijadikan kiblat bagi orang yang shalat di dalam shalatnya. Tidak boleh dikatakan bahwa Allah berada di arah Ka’bah”[3].
Masih dalam kitab yang sama al-Hafizh al-Zabidi juga menuliskan:
فأما رفع الأيدي عند السؤال والدعاء إلى جهة السماء فهو لأنها قِبلة الدعاء كما أن البيت قِبلة الصلاة يُسْتقبَل بالصدر والوجه، والمعبودُ بالصلاة والمقصودُ بالدعاء ـ وهو الله تعالى ـ منزه عن الحلول بالبيت والسماء؛ وقد أشار النسفي أيضًا فقال: ورفع الأيدي والوجوه عند الدعاء تعبُّد محض كالتوجّه إلى الكعبة في الصلاة، فالسماء قِبْلة الدعاء كالبيت قِبْلة الصلاة
[Maknanya]: “Adapun mengangkat tangan ketika meminta dan berdoa kepada Allah ke arah langit karena ia adalah kiblat dalam berdoa, sebagaimana ka’bah merupakan kiblat shalat dengan menghadapkan badan dan wajah kepadanya. Yang dituju dalam ibadah shalat dan yang diminta dalam berdoa adalah Allah, Dia Maha suci dari bertempat dalam ka’bah dan langit. Tentang hal ini an-Nasafi berkata: Mengangkat tangan dan menghadapkan wajah ketika berdoa adalah murni merupakan ibadah, sebagaimana menghadap ke arah ka’bah di dalam shalat, maka langit adalah kiblat dalam berdoa sebagaimana ka’bah adalah kiblat dalam shalat”[4].
﴾ 4 ﴿
(Penjelasan Ibnu Hajar al-Asqalani Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari)
Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (w 852 H) dalam kitab Fath al-Bari Bi Syarh Shahih al-Bukhari menuliskan:
السماء قِبْلة الدعاء كما أن الكعبة قِبْلة الصلاة
[Maknanya]: “Langit adalah kiblat di dalam berdoa sebagaimana Ka’bah merupakan kiblat di dalam shalat”[5].
﴾ 5 ﴿
(Penjelasan Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar)
Syekh Mulla Ali al-Qari (w 1014 H) dalam Syarh al-Fiqh al-Akbar, salah satu kitab yang cukup urgen dalam untuk memahami risalah al-Fiqh al-Akbar karya al-Imam Abu Hanifah, menuliskan sebagai berikut:
السماء قِبْلة الدعاء بمعنى أنها محل نزول الرحمة التي هي سبب أنواع النعمة، وهو مُوجِب دفع أصناف النقمة، وذكر الشيخ أبو معين النسفي إمام هذا الفن في “التمهيد” له من أن المحقّقين قرّروا أن رفع الأيدي إلى السماء في حال الدعاء تعبّد محض. اهـ
[Maknanya]: “Langit adalah kiblat dalam berdoa dalam pengertian bahwa langit merupakan tempat bagi turunnya rahmat yang merupakan sebab bagi meraih berbagai macam kenikmatan dan mencegah berbagai keburukan. Syekh Abu Mu’ain al-Nasafi dalam kitab at-Tamhid tentang hal ini menyebutkan bahwa para Muhaqqiq telah menetapkan bahwa mengangkat tangan ke arah langit dalam berdoa adalah murni karena merupakan ibadah”[6].
﴾ 6 ﴿
(Penjelasan al-Bayyadli al-Hanafi dalam Isyarat al-Maram)
Syekh Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram berkata:
رفع الأيدي عند الدعاء إلى جهة السماء ليس لكونه تعالى فوق السموات العُلى بل لكونها قِبلة الدعاء، إذ منها يتوقع الخيرات ويستنـزل البركات لقوله تعالى (وفي السماء رزقكم وما توعدون) الذاريات: 22، مع الإشارة إلى اتصافه تعالى بنعوت الجلال وصفات الكبرياء، وكونه تعالى فوق عباده بالقهر والاستيلاء”. اهـ
[Maknanya]: “Mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit bukan untuk menunjukkan bahwa Allah berada di arah langit-langit yang tinggi, akan tetapi karena lngit adalah kiblat dalam berdoa. Karena darinya diminta turun berbagai kebaikan dan rahmat, karena Allah berfirman: “Dan di langit terdapat rizki kalian dan apa yang dijanjikan kepada kalian”. (QS. Al-Dzariyat: 22), dan hal itu untuk mengisayratkan bahwa Allah maha memiliki sifat agung dan kuasa, juga untuk memahamkan bahwa Allah maha menguasai dan maha menundukan atas seluruh hamba-Nya”[7].
﴾ 7 ﴿
(Penjelasan Abdullah al-Harari dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah)
Al-Imam al-Hafizh Syekh Abdullah al-Harari dalam kitab Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah menuliskan sebagai berikut:
ورفعُ الأيدي والوجوه إلى السماء عند الدعاء تعبُّدٌ مَحْضٌ كالتوجّه إلى الكعبة في الصلاة، فالسماء قِبْلة الدعاء كالبيت الذي هو قِبْلة الصلاة. اهـ
[Maknanya]: “Adapun mengangkat tangan dan wajah saat berdoa ke arah langit adalah murni merupakan ibadah, seperti halnya menghadap ke arah Ka’bah di dalam shalat. Artinya bahwa langit sebagai kiblat dalam berdoa, sebagaimana Ka’bah sebagai kiblat dalam shalat”[8].
Ini menunjukan bahwa Syekh Abdullah al-Harari sejalan dengan ulama Ahlussunnah dalam menetapkan keyakinan Ahlul Haq, sedikitpun beliau tidak keluar dari konsensus ulama mujtahid, baik dalam Ushul maupun dalam Furu’. Berbeda dengan orang-orang yang hanya “mengaku ahli ilmu”; mereka tidak memiliki kehati-hatian dalam berfatwa, yang bahkan fatwa mereka tidak didasarkan kepada ilmu, seperti kaum Wahabi yang mengkafirkan orang-orang Islam yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang saleh. Ada banyak sekali kesesatan ajaran wahabi yang dengan itu mereka telah melenceng dari jalan para sahabat nabi yang merupakan jalan kaum Ahlussunnah; mayoritas umat Islam hingga hari ini.
[1] Kitab al-Tauhid, h. 75-76
[2] Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 5, h. 34-35
[3] Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 25
[4] Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 104
[5] Fath al-Bari, j. 2, h. 233
[6] Syarh al-Fiqh al-Akbar, h. 199
[7] Isyarat al-Maram, h. 198
[8] Izh-har al-’Aqidah as-Sunniyyah, h. 128