• Pondok Pesantren Nurul Hikmah Untuk Menghafal al-Qu’ran Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah Maturidiyyah | Shadaqah Jariyah Donasi Pembebasan Lahan Untuk Pondok Pesantren Nurul Hikmah Terima kasih. Baaraka Allahu fiik!
Minggu, 28 Mei 2023

Biografi Ibn ‘Arabi

Biografi Ibn ‘Arabi
Bagikan

1. Nama dan Kelahiran Ibn ‘Arabi

Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn Hatim al-Tha’i al-Andalusi. ‘Abdullah yang disebut terakhir adalah saudara kandung dari ‘Adi ibn Hatim al-Tha’i; salah seorang sufi kenamaan. Kunyah Ibn ‘Arabi dikenal dengan sebutan Abu Bakar, atau Abu Muhammad atau Abu ‘Abdillah. Garis keturunan beliau yang berasal dari kabilah Thai’, satu kabilah yang sangat mashur, dapat kita ketahui bahwa beliau benar-benar seorang yang berasal dari keturunan Arab[1].

Orang-orang di belahan timur lebih mengenalnya dengan nama Ibn ‘Arabi, atau Muhyiddin, atau al-Hatimi. Sementara orang-orang di belahan barat, seperti daratan Spanyol, lebih mengenalnya dengan nama Ibn Suraqah. Penulisan nama Ibn ‘Arabi tidak menggunakan al ta’rif. Hal ini untuk membedakan beliau dari Ibn al-‘Arabi -dengan al ta’rif-. Yang disebut terakhir yang dimaksud adalah Abu Bakr Muhammad ibn ‘Abdillah ibn ‘Arabi al-Isybili al-Maliki, salah seorang ulama besar di kalangan madzhab Maliki, dikenal sebagai ahli tafsir yang multi disipliner.

Gelar Muhyiddin, yang berarti “yang menghidupkan agama” disematkan kepada Ibn ‘Arabi karena usaha yang telah ia lakukan dalam menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islam. Gelar-gelar semacam ini di masa hidup beliau sangat dikenal dan cukup memberikan pengaruh besar dalam penilaian kapasitas keilmuan seseorang dan pengamalan-pengamalannya. Seperti gelar Dliya’uddin, Taqiyuddin, Saifuddin dan lainnya. Selain gelar Muhyiddin Ibn ‘Arabi juga dikenal dengan gelar al-Syaikh al-Akbar yang berarti “Syaikh yang paling agung”.

Gelar al-Syaikh al-Akbar ini disematkan kepada Ibn ‘Arabi tidak lain karena kompetensi beliau dalam berbagai disiplin ilmu. Hampir semua bidang ilmu beliau kuasai, seperti fikih, ushul fikih, tafir, hadits, tasawuf, teologi dan lainnya. Al-Sya’rani dalam permulaan penulisan biografi beliau berkata: “al-‘Arif al-Kamil al-Muhaqqiq al-Mudaqqiq Ahad Kibar al-‘Arifin…”.

Ibn ‘Arabi lahir hari senin 17 Ramadlan tahun 650 H bertepatan dengan tanggal 28 tahun 1165 M di suatu daerah bernama Marsih di daratan Andalusia (Spanyol). Kemudian pindah ke Isybilia, masih di daratan yang sama. Seterusnya beliau berpindah-pindah dari satu daearah ke daerah yang lain, seperti Mesir, daratan Syam (sekarang Libanon, Siria, Palestina dan Yordania) dan negara-negara lainnya dalam rangka menuntut ilmu.

2. Keluarga Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi berasal dari keluarga yang memiliki tradisi kuat dalam kehidupan ilmiah dan tasawuf. Keluarga ini dikenal mengutamakan kehidupan zuhud dari pada kehidupan duniawi yang materialis. Tradisi saleh inilah yang kemudian membentuk pribadi dan karakter psikologis Ibn ‘Arabi di kemudian hari.

Ayah beliau bernama ‘Ali ibn Muhammad dikenal sebagai seorang syekh ahli ibadah dan seorang yang sangat saleh. Ia penuhi hidupnya bersama al-Qur’an dan istiqamah dalam membaca surat Yasin hingga menjelang wafatnya. Dalam keadaan ini Allah telah membukakan mata hatinya hingga ia mengetahui beberapa rahasia, termasuk hari kematiannya. Tentang hal ini Ibn ‘Arabi berkata: “Ayahku telah mendapat kabar bahwa wafatnya adalah pada hari rabu, dan ternyata demikian adanya. Pada hari wafatnya tersebut ia dalam keadaan sakit parah, ia duduk seraya berkata kepadaku: Wahai anakku hari ini adalah hari keberangkatan dan pertemuanku. Aku berkata kepadanya: Semoga Allah memberikan keselamatan dalam perjalananmu dan memberikan berkah dalam pertemuanmu. Setelah itu kemudian nampak pada keningnya seberkas cahaya putih yang sangat kontras dengan warna kulitnya. Cahaya tersebut kemudian menyebar ke seluruh wajahnya hingga menyebar ke sekujur tubuhnya”[2].

Ibunda Ibn ‘Arabi juga dikenal sebagai perempuan yang salehah dan sangat bertakwa. Beliau bernama Nur al-Anshariyyah; adalah seorang perempuan yang memiliki garis keturunan dari kaum Anshar Madinah yang telah membuka pintu rumah dan pintu hati saat Rasulullah dan para sahabatnya datang dari kota Mekah. Sifat kasih sayang dan lemah lembut serta ketakwaan yang kuat adalah di antara karakteristik para sahabat Anshar, baik kaum pria maupun wanitanya. Dan sifat itulah yang diwarisi ibunda Ibn ‘Arabi dari para leluhurnya tersebut.

Di antara paman Ibn ‘Arabi dari jalur ibunyanya ini adalah Yahya ibn Waighan. Beliau adalah seorang sufi dan ahli ibadah yang sangat terkenal. Awalnya ia seorang penguasa pada daerah Tilmisan. Suatu hari ia bertemu dengan seorang sufi kenamaan di masanya bernama Abu ‘Abdillah al-Tunusi. Setelah mengucapkan salam sang paman bertanya kepadanya: Wahai Syekh apakah shalatku dengan pakaian semacam ini boleh? Ibn Waighan saat itu memakai pakaian yang indah layaknya seorang penguasa. Syekh al-Tunusi tidak menjawab, tetapi malah tertawa. Sang paman berkata: Apa yang membuatmu tertawa? Syekh al-Tunusi menjawab: Aku tertawa karena kebodohan otakmu hingga tidak tahu keadaan diri sendiri! Aku tidak mendapati yang lebih serupa denganmu kecuali anjing dengan mulut yang berlumuran darah memakan bangkai, namun ketika kencing ia mengangkat salah satu kakinya supaya tidak terkena air kencing. Seluruh tubuhmu adalah penuh dengan hal yang haram, adakah engkau hanya bertanya masalah baju? Ibn Waighan saat itu langsung menangis dan turun dari kendaraannya. Kemudian menjadi pengikut syekh al-Tilmisani, berkhidmah kepadanya dan menjalani kehidupan zuhud hingga kemudian mencapai derajat yang telah ia raih.

Masih paman dari jalur ibunya, seorang sufi terkemuka di masanya, bernama Abu Muslim al-Khaulani. Orang terakhir ini dari sangat kuatnya dalam beribadah kepada Allah diriwayatkan bahwa malam harinya ia penuhi dengan shalat. Dan bila di datangi rasa bosan ia akan memukul kedua kakinya dengan seutas cambuk, seraya berkata: Kalian berdua lebih berhak untuk dipukul dari pada hewan tungganganku!

3. Perjalanan Ilmiah Ibn ‘Arabi

Seperti umumnya para ulama besar, sejarah selalu mencatat bahwa setiap pribadi mereka memiliki pengalaman rihlah ilmiah. Perjalanan ilmiah ini secara garis besar terfokus dalam dua hal.

Pertama, perjalanan ilmiah dalam rangka mencari ilmu itu sendiri dengan banyak mencari guru yang kompeten dalam berbagai disiplin ilmu hingga mendapatkan mata rantai keilmuan (sanad) dari mereka yang bersambung hingga Rasulullah. Dalam ilmu-ilmu keislaman mata rantai (sanad) keilmuan semacam ini sangat penting karena akan memeberikan kontribusi yang sangat kuat dalam pertanggung jawaban kompetensi keilmuan seseorang. Sebaliknya seorang yang tidak memiliki sanad dalam keilmuan maka kepercayaan orang-orang Islam terhadapnya kurang apresiatif, setidaknya ia akan dinilai tidak sekuat seorang yang memiliki sanad keilmuan[3]. Fase perjalanan ilmiah yang pertama ini adalah fase penerimaan ilmu, atau dalam istilah ilmu hadits disebut fase al-tahammul. Adalah fase yang akan memberikan paling banyak pengaruh dalam orientasi pemikirannya di masa mendatang. Kecuali seorang yang telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seseorang akan memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk memilih salah satu dari madzhab yang empat sesuai fase tahammul-nya.

Kedua, perjalanan ilmiah dalam rangka menyampaikan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dan diterimanya. Fase menyampaikan ini dalam istilah ilmu hadits disebut dengan al-ada’. Dengan demikian perputaran keilmuan dalam Islam kita mendapati antara murid dengan guru dalam posisi sama-sama mencari. Karena ini pula dalam istilah kaum sufi dikenal sebutan murid dan murad. Murid adalah seorang yang dengan kesadaran dan keinginan penuhnya datang dan duduk untuk menerima pesan-pesan kebaikan dari mursyid-nya. Sementara murad adalah seorang yang memiliki keistimewaan tersendiri dan memiliki kesiapan penuh untuk menaiki tangga-tangga maqamat dan ahwal. Orang kedua ini adalah orang-orang yang dicari oleh para mursyid.

Ibn ‘Arabi memiliki perjalan ilmiah yang cukup pesat. Lebih dari separuh dari kehidupannya ia pergunakan dalam perjalanan ilmiah, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Paling tidak, sebagian besar kota-kota di wilayah Romawi (wilayah Eropa sekarang), daratan Syam (sekarang negara Siria, Lebanon, Palestina dan Yordania) dan daratan Afrika dari Mulai Mesir, Tunisia hingga wilayan Maghrib (Maroko sekarang) telah disinggahi oleh Ibn ‘Arabi, terutama daratan Spanyol[4].

Di daratan Eropa sekarang bermula dari Sevilla, hampir seluruh daratan Spanyol disinggahi Ibn ‘Arabi dalam pencariannya terhadapa kaum sufi dan kaum ‘arif di masanya. Dari Sevilla beliau masuk ke Cordova pada tahun 580 H, bertemu dengan salah seorang sufi agung di masanya di wilayah tersebut, bernama Abu Bakr Muhammad ibn Mahluf al-Qabayili. Orang terakhir ini memiliki kharisma yang sangat kuat, hingga tersebar pernyataan di antara kaum muslimin saat itu jika hendak bertemu dengannya maka “al-hal[5] akan manimpamu sebelum engkau memasuki rumahnya”. Masih di wilayah Cordova, Ibn ‘Arabi juga bertemu dengan Imam agung wilayah tersebut yang bernama Syekh Abu ‘Abdillah al-Farran, juga dengan Syekh Abu Muhammad ‘Abdullah al-Qaththan yang dikenal sebagai “shahib al-futuh dan seorang pemberani yang tidak pernah gentar dalam menegakkan kebenaran[6].

Di Cordova, Ibn ‘Arabi cukup lama sebelum kemudian pada tahun 586 H kembali Sevilla dan menetap beberapa saat mengambil pelajaran dari Fursyanah al-Zaitunah[7]. Dari sufi perempuan ini Ibn ‘Arabi mendapatkan banyak pelajaran yang cukup berpengaruh dalam karir tasawufnya. Pada saat yang sama di wilayah Cordova tersebut Ibn ‘Arabi juga mengambil banyak pelajaran dari Syekh Muhammad al-Randi. Kemudian pada tahun 587 H di wilayah Sabtah Ibn ‘Arabi bertemu dengan para masyaikh di masanya dan berkhidmah kepada mereka seperti Syekh Abu Ishaq Ibrahim Ahmad al-‘Abasi, Syekh Abu Muhammad ‘Abdullah al-Maluqi, Syekh Abu al-Husain ibn al-Sha’igh dan lainnya.

Setelah melewati waktu yang cukup panjang dalam perjalanan ilmiah di tambah dengan berkhidmah kepada beberapa masyayikh dan sikap zuhud serta berbagai riyadlah yang telah ia lewati, akhirnya pada tahun 591 H Ibn ‘Arabi keluar dari wilayah Andalusia menuju sebelah utara Afrika. Dalam perjalanan ini Ibn ‘Arabi mendapatkan karunia yang sangat penomenal dan bersejarah dalam hidupnya. Beliau bertemu dengan Nabi Khadlir yang seakan menyerupai sinar rembulan, sedang berjalan di atas air tanpa terkena basah sedikitpun[8].

Di Tunisia Ibn ‘Arabi mendapatkan sambutan yang cukup hangat dari beberapa orang penguasa wilayah tersebut saat itu. Dalam pada ini beliau juga mendapat kesempatan untuk membaca karya Abu al-Qasim ibn  Qassa yang berjudul Khala’ al-Na’lain dan menambahkan beberapa syarah tentangnya. Dalam perjalanannya ini pula, sebagaimana digambarkanya ibn ‘Arabi sendiri dalam al-Futuhat al-Makkiyyah, ia sangat merindukan untuk bertemu dengan sufi terbesar dan seorang qutb di masanya, yaitu Syekh Abu Madyan al-Maghribi[9]. Tentang orang terakhir ini Ibn ‘Arabi menggambarkan bahwa Allah telah memberikan rasa cinta kepada seluruh penduduk bumi hingga mereka semua mengenal Syekh Abu Madyan, bahkan seluruh binatang-binatangpun mengenalnya, dan tidak ada seorangpun -saat itu- yang membencinya. Demikian pula penduduk langit; para malaikat, tidak satupun dari mereka yang tidak mengenal Abu Madyan[10].

Suatu waktu selepas shalat maghrib Ibn ‘Arabi mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Syekh Abu Madyan. Saat itu Syekh Abu ‘Imran al-Sadarani berkata kepada Ibn ‘Arabi: Aku baru saja bertemu dengan Syekh Abu Madyan, ia berkata kepadaku: Pada saat ini Muhammad ibn ‘Arabi memiliki keinginan bertemu denganku, maka temuilah ia saat ini juga dan katakan kepadanya: Pertemuan diriku dengan dirimu di alam ruh telah benar-benar terjadi, adapun pertemuan secara fisik di dunia ini Allah tidak menghendaki itu[11]. Sebagai pengakuan Abu Madyan terhadap derajat Ibn ‘Arabi, di kemudian hari ia menyebut Ibn ‘Arabi dengan gelar Sulthan al-‘Arifin[12].

Pada tahun 593 H, Ibn ‘Arabi bertemu dengan Syekh al-Mauzuri. Orang yang disebut terakhir ini adalah salah seorang wali Quthb dalam sifat tawakal kepada Allah pada masanya. Ia mendapat petunjuk dari Syekh Abu Madyan untuk menetap di satu gua dan tidak meninggalkannya samapi ia wafat. Petunjuk ini kemudian dilaksanakannya dengan penuh tawakal dan kayakinan bahwa apa yang diperintahkan Syekh Abu Madyan adalah kebenaran yang akan meningkatkan derajatnya[13].

Masih pada tahun 593 H, Ibn ‘Arabi kemudian keluar dari wilayah Moro dan berjalan menuju wilayah Fas. Dalam perjalanan fisik ini, sebagaimana diceritakannya dalam al-Futuhat al-Makkiyyah ia mengalami berbagai peristiwa penomenal dalam perjalanan ruhani dalam melalui tingkatan-tingkatan kewalian. Namun kemudian rasa rindunya membawanya kembali ke Andalusia. Dalam perjalanan pulangnya, beliau melewati kota al-Miryah dan singgah di madrasah-madrasah kaum sufi, seperti madrasah ibn al-‘Arif, madrasah al-Hakam ibn Barjan dan madrasah Abu al-Qasim ibn Qassa.. Kemudian pada tahun 595 H melewati Granada (Gharnathah) dan bertemu dengan salah seorang ahli tarekat terkemuka di masanya; Syekh Abu Muhammad ‘Abdullah al-Syakkaz. Selanjutnya beliau berkeliling di berbagai kota wilayah Andalusia, seperti Mursih, Qabrafiq, Salla dan Sabtah.

Tidak lama tinggal di beberapa kota di wilayah Andalusia, Ibn ‘Arabi kemudian bertolak ke wilayah Marakisy. Dari wilayah ini kemudian menuju wilayah Mesir dan sampai di sana pada tahun 597 H. Tidak lama berada di Mesir sebelum kemudian beliau merasa rindu untuk berangkat menuju Bait al-Maqdis, Palestina. Di Bait al-Maqdis juga tidak tinggal lama, pada tahun yang sama kemudian beliau berangkat ke Mekah. Di sana beliau disambut oleh para pemuka ulama dan orang-orang saleh, di antaranya Syekh Muhyiddin Abu Syuja’ Zahir ibn Rustum al-Ashbahani.

Pada tahun 601 H, Ibn ‘Arabi keluar dari Mekah menuju Maushil, Irak untuk berziarah kepada Syekh ‘Ali ‘Abdullah ibn Jami’. Sufi besar ini, sebagaimana disebutkan Ibn ‘Arabi, adalah seorang ahil tarekat terkemuka. Ia mendapatkan karunia untuk memakai khirqah yang langsung dipakaikan kepadanya oleh Nabi Khadlir. Dari Syekh Ibn Jami’ inilah kemudian Ibn ‘Arabi mendapatkan nasab khirqah[14].

Pada tahun 603 H, Ibn ‘Arabi kemudian kembali menuju Mesir. Di sana beliau mengutus seseorang untuk bertemu dengan Ibn al-Faridl untuk meminta izin membuat syarah bagi tulisannya yang dikenal dengan Ta’iyyah Ibn al-Faridl. Sebuah karya dalam bentuk syair tentang tarekat dan segala yang terkait dengannya. Namun kemudian Ibn al-Faridl menjawab permintaan Ibn ‘Arabi: “Karyamu yang berjudul al-Futuhat al-Makkiyyah merupakan syarah baginya”[15].

Pada tahu 604 H, dari Mesir Ibn ‘Arabi kemudian kembali ke Mekah dan menetap di sana beberapa saat. Pada tahun 606 H kemudian keluar dari Mekah menuju Halab, Siria (Aleppo). Dari Siria pada tahun 608 H kemudian menuju Baghdad, Irak, tempat tinggalnya Syekh Syihabuddin al-Suhrawardi. Di Baghdad inilah kedua orang ini bertemu muka hanya dalam beberapa saat saja, kemudian berpisah. Ketika Ibn ‘Arabi ditanya tentang al-Suhrawardi, beliau menjawab: “Dari ujung kepalanya hingga ujung kakinya penuh dengan ajaran Rasulullah”. Dan ketika al-Suhrawardi ditanya tentang Ibn ‘Arabi, Ia menjawab: “Ia adalah lautan hakikat (bahr al-haqa’iq)[16].

Dari Baghdad, Ibn ‘Arabi kembali ke Halab pada sekitar tahun 610 H. Kemudian pada tahun 612 H beliau ke pergi Quniyah. Selanjutnya di antara kota-kota di daratan Syam Ibn ‘Arabi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, antara Halab, Himsh dan lainnya. Terakhir pada tahun 629 H beliau singgah di Damaskus dan menetap di kota tersebut hingga datang hari wafatnya.

4. Tahun Wafat Ibn ‘Arabi.

Perjalanan panjang Ibn ‘Arabi berakhir di Damaskus Siria. Setelah beliau sampai di kota ini, ia tidak lagi mengadakan perjalanan secara fisik. Sementara itu dalam hampir semua kondisi rihlah yang sangat panjang tersebut telah banyak orang yang berkhidmah kepada Ibn ‘Arabi. Salah satunya pemimpin para qadli madzhab Syafi’i di masanya; Syekh Syamsuddin Ahmad al-Khauli, yang berkhidmah sepenuh hati kepadanya laksana seorang budak terhadapap majikannya. Sementara itu pemimpin para qadli madzhab Maliki di masa itu mendapatkan kemuliaan untuk menikah dengan salah seorang putrinya. Orang terakhir ini kemudian turun dari jabatannya karena memuliakan Ibn ‘Arabi.

Ibn ‘Arabi wafat pada malam jum’at 28 Rabi’ al-tsani tahun 638 hijriah bertepatan dengan 26 Nopember tahun 1240 M, dalam umur 80 tahun. Beliau wafat di Damaskus Siria di rumah Ibn al-Dzakiyy. Saat itu seluruh lapisan kaum sufi berkumpul di rumah tersebut. Beliau dimandikan oleh Ibn al-Dzakiyy dan kemudian jenazahnya dibawa oleh dua orang muridnya; ‘Abd al-Khaliq dan Ibn al-Nahhas dan dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Ibn al-Dzakiyy di Safh Qasiyun daerah al-Shalihiyyah, sebelah utara kota Damaskus. Hingga sekarang makam beliau ramai diziarahi kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia.

Ibn ‘Arabi meninggalkan dua orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan. Anak laki-laki pertama bernama Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-‘Arabi al-Hatimi dikenal dengan Sa’duddin, wafat pada tahun 656 hijriah. Yang kedua bernama ‘Imaduddin yang dilahirkan di Malthiyah tahun 686 hijriah. Dan yang ke tiga perempuan bernama Zainab.

5. Karya-karya Ibn ‘Arabi

Ibn ‘Arabi adalah seorang ulama sufi yang sangat produktif. Tidak seperti kebanyakan kaum sufi yang dianggap sedikit menghasilkan karya, Ibn ‘Arabi menghasilkan beratus-ratus judul kitab dari berbagai disiplin ilmu. Ini sekaligus menunjukkan kapasitas beliau yang tidak hanya seorang sufi, tapi juga sebagai seorang intelek yang multidisipliner. Tentang produktifitas Ibn ‘Arabi ini, Ibn Katsir dalam karyanya al-Bidayah Wa al-Nihayah berkomentar: “Beliau seorang yang sangat alim, penulis karya yang sangat banyak, Abu Bakr Muhammad ibn ‘Ali…”.

Tentang karya-karya yang telah dihasilkannya Ibn ‘Arabi telah menulis sebuah risalah khusus yang memuat nama-nama dari judul kitab yang telah ditulisnya tersebut, terutama yang terkait dengan ilmu tasawuf. Dalam pengakuannya, beliau menyatakan bahwa banyak sekali tulisan yang telah ia hasilkan. Risalah ini ditulis Ibn ‘Arabi pada sekitar tahun 632 hijriah, atau sekitar enam tahun sebelum beliau wafat[17].

Nama-nama dari kitab karya Ibn ‘Arabi ini juga disebutkan dalam kitab berjudul ‘Unwan al-Dirayah Fiman ‘Urifa Min al-‘Ulama Fi al-Mi’ah al-Sabi’ah, karya Syekh Abu al-‘Abbas al-Ghabrini (L 644-W 714 H). Kitab disebut terakhir ini, sebagaimana tertulis dengan judulnya, memuat biografi beberapa ulama terkemuka yang hidup di abad 7 hijriah. Salah satunya biografi Ibn ‘Arabi dengan berbagai karya yang telah dihasilkannya[18].

Hal yang sama ditulis oleh Haji Khalifah dalam karyanya yang cukup terkenal; Kasf al-Zhunun ‘An Asami al-Kutub Wa al-Funun. Walau tidak menuliskan biografi Ibn ‘Arabi dengan sangat panjang, namun hampir seluruh karya-karyanya disebutkan dengan setiap judul masing-masing. Tidak kurang dari sekitar tiga ratus judul kitab karya Ibn ‘Arabi disebutkan Haji Khalifah dalam karyanya tersebut[19].

Nama-nama kitab karya Ibn ‘Arabi ini demikian pula dikutip dalam kitab Jami’ Karamat al-Auliya karya Syekh Yusuf ibn Isma’il al-Nabhani (L 1265-W 1350 H). Karya al-Nabhani ini semacam kitab penyebutan biografi para wali Allah, hanya dengan pembahasan yang sangat luas hingga mencakup berbagai segi dari setiap biografi orang yang disebutkannya. Salah satunya adalah Imam Muhyiddin Ibn ‘Arabi dengan karya-karyanya[20].

Dalam kitab al-Nabhani ini disebutkan bahwa Ibn ‘Arabi telah menulis sebuah risalah yang mencakup nama-nama kitab hasil karyanya. Kitab-kitab tersebut oleh Ibn ‘Arabi, ditambah seluruh periwayatan yang beliau terima dari guru-gurunya, di-ijazah-kan kepada Raja al-Muzhaffar Bahauddin Ghazi ibn al-Malik al-‘Adil. Disebutkan bahwa Ibn ‘Arabi memberikan ijazah kepadanya dalam segala qira’ah, sama’, munawalah, kitab-kitab, seluruh ijazah yang ia milikinya, seluruh hasil karya yang telah ia tulis dalam berbagai disiplin ilmu dan segala tulisan Ibn ‘Arabi sendiri, baik yang berupa nazham (bait-bait) maupun yang dalam bentuk prosa (natsr)[21].

Dalam risalah nama-nama kitab tersebut, Ibn ‘Arabi mengakui bahwa beberapa di antaranya tidak diketahui keberadaannya. Kitab-kitab yang dianggap “hilang” ini berjumlah sekitar 27 judul. Selain jumlah ini ada pula beberapa judul lainnya yang dianggap sebagai tulisan beliau. Tentang beberapa kitab tersebut Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa karena ada suatu urusan, ia menitipkannya kepada salah seorang kawan. Namun entah karena alasan apa, hingga Ibn ‘Arabi menulis risalahnya ini, orang tersebut kemudian belum mengembalikannya.

Adapun beberapa karya Ibn ‘Arabi yang tersebar dan dikenal di masyarakat sekarang, sebagaimana ditulisnya dalam risalah di atas, seluruhnya berjumlah 224 buah judul buku. Sementara yang disebutkan Syekh al-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Auliya’  seluruhnya sebanyak 235 buah judul buku[22]. Dari beberapa judul kitab yang tersebar dan dikenal masyarakat ini, dalam pengakuan Ibn ‘Arabi, sebagian besar di antaranya telah selasai ditulisnya. Namun ada beberapa di antaranya yang belum ia selesaikan[23].

Dalam menulis karya-karyanya tersebut, Ibn ‘Arabi tidak semata bertujuan membuat sebuah hasil karya seperti umumnya para penulis. Sebagaimana pengakuannya, kitab-kitab tersebut terhasilkan dari pancaran cahaya ilmiah yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Kandungan-kandungan kitab tersebut tercurahkan begitu saja, ada yang dengan lewat pengajaran di tengah-tengah muridnya, ada yang terhasilkan karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atau karena sebab lainnya.

Di antara kitab-kitab karya Ibn ‘Arabi yang oleh beliau sendiri dinyatakan tidak diketahui lagi keberadaannya, sebagai berikut:

  1. Mukhtashar al-Musnad al-Shahih Li Muslim ibn al-Hajjaj.
  2. Mukhtashar Sunan Abi ‘Isa al-Tirmidzi.
  3. al-Mishbah Fi al-Jam’i Bain al-Shihah.
  4. Mukhtashar al-Muhalla Li Ibn Hazm al-Farisi.
  5. al-Ihtifal Fima Kana ‘Alahi Rasulullah Min Sanniyy al-Ahwal.

Karya-karya dalam kajian tasawuf yang juga tidak diketahui keberadaannya, di antaranya:

  1. Kitab al-Jama’ Wa al-Tafshil Fi Asrar Ma’ani al-Tanjil[24].
  2. Kitab al-Jadzwah al-Muqtabasah Wa al-Khatharah al-Mukhtalasah.
  3. Kitab Miftah al-Sa’adah Fi Ma’rifat al-Madkhal Ila Thariq al-Iradah.
  4. Kitab al-Mutsallatsat al-Waridah Fi al-Qur’an.
  5. Kitab al-Musabba’at al-Waridah Fi al-Qur’an.
  6. Kitab al-Ajwibah ‘Ala al-Masa’il al-Manshuriyyah.
  7. Kitab Mubaya’ah al-Quthb Fi Hadlrah al-Qurb.
  8. Kitab Manahij al-Irtiqa Ila Iftidladl Abkar al-Biqa al-Mukhaddirat Bi Khaimat al-Liqa.
  9. Kitab Kunhu Ma la Budd Minhu.
  10. Kitab al-Muhkam Fi al-Mawa’izh Wa al-Hikam Wa Adab Rasululillah Shallalahu ‘Alaihi Wa Sallam.
  11. Kitab al-Jala’ Fi Istinzal Ruhaniyyat al-Mala’ al-A’la
  12. Kitab Kasyf al-Ma’na ‘An Sirr Asma Allah al-Husna.
  13. Kitab Syifa al-Ghalil Fi Idlah al-Sabil Ila al-Mauizhah.
  14. Kitab ‘Uqlah al-Mustaufi Fi Ahkam al-Shun’ah al-Insaniyyah Wa Tahsin al-Shifah al-Imaniyyah.
  15. Kitab Jala’ al-Qulub[25].
  16. Kitab al-Tahqiq Fi Sya’n al-Sirr Fi Nafs al-Siddiq.
  17. Kitab al-I’lamBi Isyarati Ahl al-Ilham.
  18. Kitab al-Ifham Fi Syarh al-I’lam.
  19. Kitab al-Siraj al-Wahhaj Fi Syarh Kalam al-Hallaj.
  20. Kitab al-Muntahkab Min Ma’atsir al-‘Arab.
  21. Kitab Nata’ij al-Afkar Wa Hada’iq al-Azhar
  22. Kitab al-Mizan Fi Haqiqat al-Insan.

Adapun karya-karya Ibn ‘Arabi yang hingga kini masih ada dan dikenal di kalangan kaum muslimin, di antaranya sebagai berikut: dalam disiplin hadits;

  1. Kitab al-Mahajjah al-Baidla’
  2. Kitab Miftah al-Sa’adah (kitab yang menghimpun beberapa matan dari al-Bukhari, Muslim dan al-Tirmidzi)
  3. Kitab Kanz al-Abrar Fima Yurawa ‘An al-Nabi Min al-Ad’iyah Wa al-Adzkar.
  4. Kitab Misykat al-Anwar Fima Yurwa ‘An Allah Ta’ala Min al-Akhbar.
  5. Kitab al-Arba’in al-Mutaqabilah.
  6. Kitab al-Arba’in al-Muthawwalat.
  7. Kitab al-Ghain.

Dalam Disiplin Ilmu Tasawuf, sebagai berikut:

  1. Kitab al-Tadbirat al-Ilahiyyah Fi Ishlah al-Mamlakah al-Insaniyyah.
  2. Kitab Sabab Ta’alluq al-Nafs Bi al-Jism.
  3. Kitab Inzal al-Ghuyub ‘Ala Maratib al-Qulub.
  4. Kitab al-Asra Ila Maqam al-Asra.
  5. Kitab Masyahid al-Asrar al-Qudsiyyah Wa Mathali’ al-Anwar al-Ilahiyyah.
  6. Kitab al-Jaliyy.
  7. Kitab al-Manhaj al-Sadid Fi Tartib Ahwal al-Imam al-Busthami Abi Yazid.
  8. Kitab Miftah Aqfal al-Ilham al-Wahid Wa Idlah Isykal I’lam al-Murid Fi Syarh Ahwal al-Imam al-Busthami Abi Yazid.
  9. Kitab Uns al-Munqathi’in Li Rabb al-‘Alamin.
  10. Kitab al-Mauizhah al-Hasanah.
  11. Kitab al-Bughyah Fi Ikhtishar al-Hilyah Li Abi Nu’aim al-Hafizh.
  12. Kitab al-Durrah al-Fakhirah Fi Dzikr Man Intafa’tu Bih Fi Thariq al-Akhirah.
  13. Kitab al-Mabadi’ Wa al-Ghayat Fi Tahwi ‘Alahi Huruf al-Mu’jam Min al-‘Aja’ib Wa al-Ayat.
  14. Kitab Mawaqi’ al-Nujum Wa Mathali’ Ahillah al-Asrar Wa al-‘Ulum.
  15. Kitab al-Inzalat al-Wujudiyyah Min al-Khaza’in al-Judiyyah.
  16. Kitab Hilyah al-Abdal Wa Ma Yazhhar ‘Alaiha Min al-Ma’arif Wa al-Ahwal[26].
  17. Kitab Anwa’ al-Fajr Fi Ma’rifat al-Maqamat Wa al-Amilin ‘Ala al-Ajr.
  18. Kitab al-Futuhat al-Makkiyyah[27].
  19. Kitab Taj al-Rasa’il Wa Minhaj al-Wasa’il.
  20. Kitab Ruh al-Quds Fi Munashaht al-Nafs.
  21. Kitab al-Tanazzulat al-Maushiliyyah Fi Asrar al-Thaharat Wa al-Shalawat al-Khams Wa al-Ayyam al-Muqaddarah al-Ashliah.
  22. Kitab Isyarat al-Qur’an Fi ‘Alam al-Insan.
  23. Dan berbagai kitab lainnya[28].

 

 

[1] Biografi lengkap lihat Haji Khalifah, Kasyf al-Zhanun, j. 6, h. 91. Lihat pula al-Sya’rani, al-Thabaqat al-Kubra, j. 1, 217.

[2] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, j. 2, h. 222

[3] Di antara pernyataan para ulama tentang pentingnya sanad adalah perkataan yang sangat mashur dari salah seorang tabi’in bernama Muhammad ibn Sirin (w 110 H): “Sesungguhnya sanad adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapakah kalian mengambil agamamu”. Lihat Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, j. 1, h. 14. Seorang tabi’in agung lainnya; ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata: “Sanad adalah bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad maka setiap orang akan berkata -dalam masalah agama- apapun yang ia inginkan”.

[4] Lihat al-Sya’rani, al-Thabaqat al-Kubra, j. 1, h. 317-318

[5] Syekh Abu Bakr Muhammad ibn Mahluf al-Qabayili adalah seorang sufi agung di masanya, ia habiskan waktunya dalam ibadah kepada Allah. Lihat Dr. Mahmud Matharji dalam mukadimah al-Futuhat al-Makiyyah, h. 46, mengutif dari Ibn ‘Arabi dalam Ruh al-Quds, h. 76. Al-hal dimaksud di sini adalah keadaan tertentu dari keadaan kejiwaan seorang sufi dalam perjalanannya. Al-Qusyairi mengatakan al-hal adalah suatu keadaaan yang datang pada hati seseorang tanpa disengaja dan tanpa diusahakan. Lihat al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah dalam Musthalahat al-Tashawwuf, h. 57.  Pengertian al-hal secara definitif lihat pula al-Sarraj, al-Luma’ dalam Kitab al-Ahwal Wa al-Maqamat, h. 66.

[6] Ibid, h. 46

[7] Dalam al-Futuhat, Ibn ‘Arabi menggambarkan bahwa perempuan sufi ini adalah seorang yang memiliki keistimewaan agung dalam al-mu’amalat dan al-mukasyafat, memiliki hati teguh dan selalu menghadirkan al-khauf dan al-ridla pada satu waktu dalam setiap keadaannya. Ibn ‘Arabi berkata: “Dapat menghadirkan dua maqam ini (al-khauf dan al-ridla) dalam satu waktu bagi kaum sufi adalah sesuatu yang luar biasa…”. Lihat Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, j. 1, h. 274

[8] Riwayat perjalanan dan pertemuannya dengan Nabi Khadlir ini beliau kisahkan secara lengkap dalam al-Futuhat. Lihat kitab j. 1, 186

[9] Syekh Abu Madyan al-Maghribi adalah salah seorang sufi terkemuka di masanya di daratan Maghrib (Maroko). Nama asli adalah Syu’aib, dan Madyan adalah nama salah seorang dari anaknya. Dimakamkan di Mesir di masjid jami’ Syekh ‘Abd al-Qadir al-Dasythuthi. Biografi lengkap lihat al-Sya’rani, al-Thabaqat al-Kubra, j. 1, h. 261-265

[10] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, j. 3, h. 130. Selain ini banyak pujian yang dilontarkan Ibn ‘Arabi dalam al-Futuhat kepada Syekh Abu Madyan. Di antara perkataan Syekh Abu Madyan yang dikutip Ibn Arabi dalam kitabnya ini adalah: “Di antara tanda-tanda kejujuran seorang murid dalam keinginannya adalah ia menjauhkan dirinya dari para makhluk Allah, dan dari tanda-randa kebenaran bahwa ia menjauhkan diri dari adalah ia selalu mengingat Allah dalam semua keadaannya, dan dari tanda-tanda bahwa ia selalu mengingat Allah dalam setiap keadaannya ia tetap kembali bersama makhluk Allah -secara fisiknya-“. Ibid, j. 2, h. 22.

Pada bagian lain dari al-Futuhat Ibn ‘Arabi menceritakan bahwa ia bersama beberapa orang al-Abdal pergi ke gunung Qaf. Tiba-tiba mereka berhadapan dengan ular gunung tersebut yang sangat besar. Salah seorang Badal berkata kepada Ibn ‘Arabi: “Ucapkanlah salam kepada ular tersebut, karena ia akan menjawab salammu!”. Kemudian Ibn ‘Arabi mengucapkan salam dan dijawab oleh ular tersebut. Lalu ular tersebut bertanya: “Berasal dari manakah kalian?”. Ibn ‘Arabi menjawab: “Dari Bijayah”. Sang ular berkata: “Bagaimana keadaan Abu Madyan bersama kaumnya?”. Ibn ‘Arabi menjawab: “Mereka menuduhnya seorang zindik!”. Kemudian ular tersebut berkata: “Demi Allah memang bangsa manusia itu mengherankan, saya tidak pernah menyangka bahwa Allah menjadikan seorang manusia sebagai wali-Nya namun kemudian dari bangsa manusia pula yang membencinya”. Ibn ‘Arabi berkata: “Dari mana engkau tahu bahwa ia seorang wali Allah?”. Sang ular menjawab: “SubhanAllah…! Adakah binatang di dunia ini yang tidak mengenal Abu Madyan!? Demi Allah ia adalah seorang yang telah dijadikan wali oleh Allah, dan Allah telah mencurahkan bagi setiap makhluk-Nya akan rasa cinta terhadap Abu Madyan kecuali dari seorang yang kafir atau seorang yang munafik”. Ibid. Riwayat Ibn ‘Arabi ini juga dikutip oleh al-Sya’rani dalam al-Thabaqat al-Kubra dalam penyebutan biografi Abu Madyan. Lihat kitab j. 1, h. 261-262

[11] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, j. 1, h. 184

[12] al-Sya’rani, al-Thabaqat al-Kubra, j. 1, h. 318

[13] Lihat Dr. Mahmud Mathraji dalam Mukadimah al-Futuhat al-Makkiyyah mengutip dari al-Mawaqi’, h. 117

[14] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, j. 1, h. 187.

[15] Ibid, j. 2, h. 410

[16] Dr. Mahmud Mathraji, Mukadimah al-Futuhat al-Makkiyyah mengutip dari al-Maqarri, j. 2, h. 379, 382.

[17] Lihat Dr. Mahmud Matharji dalam Fihris Mu’allafat al-Syaikh Muhyiddin Ibn ‘Arabi dalam mukadimah al-Futuhat al-Makkiyyah. J. 1, h. 83. Manuskrif paling tua dari risalah nama-nama kitab karya Ibn ‘Arabi ini ditulis pada tahun 689 hijriah. Penulis manuskrif ini menukilnya secara langsung dari tulisan Ibn ‘Arabi sendiri. Manuskrif risalah ini sekarang berada di al-Maktabah al-Ashifiyyah Haidarabad, pada nomor 140. Manuskrif tertua ini telah dicetak dan di-tahqiq oleh DR. Abu al-‘Ala ‘Afifi dalam lembaran majalah kuliah Adab di Iskandariah tahun 1954 hijriah.

[18] Lihat biografi Ibn ‘Arabi dan karya-karyanya dalam kitab ini, h. 159

[19] Haji Khalifah, Kasyf al-Zhanun, j. 6, h. 91-97

[20] Biografi Ibn ‘Arabi dengan karya-karyanya lihat al-Nabhani, Yusuf ibn Isma’il dalam Jami’ Karamat al-Auliya, h. 202-209

[21] Ibid, h. 202

[22] Sebenarnya ada pendapat ulama lainnya tentang jumlah keseluruhan karya Ibn ‘Arabi. Seperti Syekh ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani yang menyatakan sejumlah 400 lebih judul kitab. Syekh ‘Abd al-Rahman Jami (w 1494 H) menyatakan hingga 500 judul kitab. Hanya saja perbedaan jumlah yang tidak terlalu jauh berbeda, disamping nama-nama judul kitab telah diketahui, adalah jumlah yang ia tulis sendiri dalam risalah (sebanyak 224 judul) dan yang dikutip al-Nabhani dalam Jami’ Karamat al-Auliya (sebanyak 235 judul).

[23] Di antara kitab yang belum diselesaikannya berjudul al-Hujjah al-Baidla’. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa ia telah menyelesaikan kitab ini baru sampai Kitab al-Thaharah dan Kitab al-Shalat dalam dua jilid. Sementara jilid yang ketiga dalam pembahasan shalat jum’at masih berada di tangannya dalam tahap penyelesaian. Lihat al-Ghabrini, ‘Unwan al-Dirayah, h. 164

[24] Tentang kitab tafsirnya ini Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa ia telah menyelesaikannya hinga firman Allah (Wa Idz Qala Musa Li Fatahu La Abrah…) QS. Al-Kahfi: . Dalam pandangannya kitab tafsir ini memiliki keistimewaan dari kitab-kitab tafsir lainnya, terutama dalam konsep bahasannya. Ibn ‘Arabi menyatakan bahwa ia meyusun setiap penafsiran ayat-ayat dalam tiga maqam; Maqam al-Jalal, Maqam al-Jamal dan kemudian maqam al-I’tidal. Maqam yang terakir disebutnya juga dengan Maqam al-Kamal. Dalam maqam yang terakhir ini Ibn ‘Arabi menyentuh rahasiah-rahasiah yang terkandung dalam setiap ayat; kalimat-kalimatnya, huruf-huruf, harakat-harakat, nisbat-nisbat, idlafat hingga isyarat-isyarat. Lihat al-Ghabrini, ‘Unwan al-Dirayah, 164

[25] Tentang hilangnya kitab ini Ibn ‘Arabi menyatakan ada suatu peristiwa yang aneh menimpanya. Beliau menyebutkan bahwa pembukaan kitab ini sekitar 20 halaman, dan kitab tersebut telah selesai ditulis dan disalin oleh beberapa orang muridnya. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa pada suatu malam ia bersama beberapa orang muridnya ke luar daerah, hingga setelah sampai pada suatu tempat beliau dan murid-muridnya membuka kitab tersebut untuk dikaji. Setelah selesai kitab-kitab tersebut kemudian diletakkan di tanah, namun tiba-tiba semua kitab tersebut lenyap entah kemana. Ibn ‘Arabi menyatakan entah siapa yang mengambilnya apakah makhluk sebangsa jin atau manusia yang tidak terlihat. Demikian pula dengan beberapa lembar dari salinan kitab tersebut yang berada di sebagian murid beliau lainnya tidak diketahui keberadaannya, namun ada juga dari lembaran tersebut yang hilang karena rusak.

[26] Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa kitab ini hanya ditulis dalam beberapa saat saja. Ditulis di Tha’if di jalan Abi Umayyah, membahas tentang masalah lapar (al-ju’), diam (al-Shamt), tidak tidur malam (al-Sahr) dan tentang menyendiri (al-khalwah). Lihat al-Ghabrini, ‘Unwan al-Dirayah, h. 167

[27] Tentang kitab ini Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa ia sebuah karya yang sangat besar, Allah memberikan futuh kepadanya untuk dapat menulisnya, ditulis saat beliau menetap di Mekah, terdiri dari beberapa jilid, mencakup 565 bab dalam berbagai rahasiah dalam al-‘ulum, al-ma’arif, al-suluk, al-manazil, al-munazalat, al-aqthab dan lainnya. Lihat Ibid, h. 167

[28] Lebih lengkap nama-nama seluruh karya Ibn ‘Arabi lihat Haji Khalifah, Kasyf al-Zhanun, j. 6, h. 91-97, lihat pula Dr. Mahmud Matharji dalam mukadimah al-Futuhat al-Makkiyyah pada Fihris Mu’allafat Syekh Muhyiddin. J. 1, h. 83-110

SebelumnyaBiografi Ringkas al-Imam al-Hafidz Abdullah al-Harari al-Habasyi (Lahir 1328 H - wafat 1429 H)SesudahnyaPernyataan Para Ulama Empat Madzhab Dan Lainnya Dalam Menetapkan Bahwa Allâh Ada Tanpa Tempat
Status LokasiWakaf
Tahun Berdiri2019